- PENDAHULUAN
Sejarah telah mencatat, bahwa perselisihan serta
perbedaan aqidah di kalangan kaum muslimin yang pada akhirnya menimbulkan
firqah-firqah, golongan-golongan atau aliran-aliran adalah bermula dari
persoalan-persoalan politik pasca wafatnya nabi Muhammad SAW, dan puncaknya
terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib pada tahun 661 M [1].
Dimana pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ini banyak mendapat
tantangan dari pemuka-pemuka yang berambisi menjadi khalifah, diantaranya
adalah Thalhah bin Zubair dan Muawiyah.
Bermula dari persoalan politik tersebut, pada
akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan teologi. Peristiwa arbitrase yang
terjadi pada saat pertentangan Ali dan Mu’awiyah pada akhirnya dibawa kepada
persoalan Teologi. Permasalahan ini terus berkembang hingga akhirnya
memunculkan aliran-aliran. Aliran-aliran yang dilatarbelakangi permasalahan
politik seperti halnya Khawarij, Syi’ah, Murjiah pada akhirnya memunculkan
aliran Teologi seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
Dua aliran yang disebut terakhir inilah yang
sangat besar pengaruhnya dalam dalam dunia teologi. Walaupun kemudian timbul
aliran-aliran lain yang (mungkin) berpengaruh, namun semua itu masih berdasar
kepada pemikiran awal dua aliran ini. Mu’atazilah dalam pembahasannya banyak
menggunakan akal, sehingga mereka mendapatkan nama “kaum rasionalis Islam”,[2]
sedangkan Asy’ariyah yang bersifat tradisional ada yang menyebutnya menggunakan
metode sintesa, karena ia dalam pembahasannya sangat percaya kepada ketentuan
Tuhan, sedangkan akal ada di bawah wahyu.
Dengan melihat bahwa dua aliran ini sangat
dominan menentukan pola pikir manusia dalam hal teologi, maka penulis hendak
membahas perbedaan mendasar yang ada pada dua aliran ini, Mu’tazilah dan
Asy’ariyah.
- Selayang Pandang Tentang Mu'tazilah
- Sejarah Lahirnya Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazila merupakan aliran teologi Islam
yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah
pemikiran dunia Islam.[3]
Pada awal berdirinya, orang-orang yang ada dalam aliran ini enggan disebut
sebagai kaum Mu’tazilah, tetapi ia lebih mempopulerkan dirinya dengan golongan ahl
al-tauhid wa al-adl.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada
permulaan abad pertama hijriyah di Basrah (Irak), sebagai pusat perpaduan
segala macam ilmu pengetahuan, kebudayaan dan agama. Pada waktu itu banyak
orang-orang yang hendak menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik yang berasal
dari dalam Islam sendiri (orang-orang yang baru masuk Islam tetapi masih
membawa aqidah agama lama) atau luar Islam. Di samping itu umat Islam pada saat
itu sudah terpecah menjadi beberapa golongan, yakni Khawarij, Syi’ah dan
Murji’ah. Dan aliran-aliran itu dalam pemikirannya masih dangkal dan sulit
dipersatukan. Sehingga aliran yang pada awalnya menggunakan nama ahlu
al-tauhid wa al-adl ini perlu menyelamatkan muka Islam.
Mu’taazilah timbul sebagai reaksi atas
pertentangan antara aliran Khawarij dan Murji’ah mengenai persoalan dosa besar
seorang muslim. Adalah Waasil bin Atha’ yang kecewa dengan gurunya Hasan
Al-Basri, dan menyatakan bahwa seorang muslim yang berdosa besar menempati
posisi di antara dua posisi (al-manzilu baina manzilatain), artinya,
ia tidak bisa disebut sebagai mu’min tetapi ia juga tidak bisa disebut sebagai
kafir, akan tetapi lebih tepat jika disebut fasiq.[4]
Dalam perkembangan selanjutnya, aliran Mu’tazilah
lebih banyak menggunakan akal sehingga ia sering disebut sebagai aliran
rasionalistik. Dalam pandangannya, akal sebagai karunia terbesar Tuhan
mempunyai fungsi yang luar biasa untuk memahami ayat-ayat Tuhan, sehingga ia
merupakan sumber pengetahuan utama. Oleh akrena itu bagi Mu’taazilah, keraguan
adalah sebagai metode untuk mencari kebenaran. Keraguan yang dipergunakan bukan
keraguan yang sungguh-sungguh, melainkan hanya sebagai suatu metode untuk
menemukan suatu kebenaran.[5]
Pada awal berdirinya, Mu’tazilah tidak banyak
mendapat simpati, karena masyarakat awam sulit menerima dan memahami
ajaran-ajaran yang rasionalistik ini. Mu’tazilah baru menjadi besar dan
mendapat banyak pengikut pada zaman pemerintahan Al-Makmun, bahkan telah
menjadi mazhab resmi negara.[6]
Aliran Mu’taazilah mulai menurun pada masa Al
Mutawakil. Keadaan ini semakin memburuk bagi Mu’tazilah ketika Al Mutawakil
membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah dan digantikan dengan mazhab
Asy’ariyah.[7]
- Pokok-pokok Pikiran Mu’tazilah
Pada prinsipnya Mu’tazilah mempunyai lima hal pokok dalam
pandangannya, yang populer disebut af’al al-ushul al-khamsah, yakni; al-Tauhid,
al-Adl, al-Manzilu baina manzilatain, al-wa’du wa al-wa’id, dan amar ma’ruf
nahi munkar.
- Al Tauhid
Tuhan, menurut Mu’tazilah, tidak mempunyai
sifat-sifat yang mempunyai wujud di luar zatnya. Tuhan tidak mungkin diberikan
sifat-sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat
Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim.[8]
Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat-sifat yang qadim, maka akan menunjukkan
bahwa Allah itu berbilang-bilang atau Tuhan lebih dari satu. Padahal Allah itu
maha Esa, tidak ada yang menyekutuinya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak
seperti apapun zat Tuhan hanyalah satu (Esa) tidak terbilang. Tuhan tidak
berjisim, bersifat, berunsur serta berjauhar (atom).[9]
Dengan demikian apabila ada pandangan bahwa Tuhan bersifat maka orang itu dapat
disebut sebagai syirik.
Kalaupun dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Tuhan
mengetahui, berkehendak, berkuasa dan sebagainya, itu tidak lain tak terlepas
dari zatnya. Abu Huzail memberikan pendapatnya bahwa yang dimaksud Tuhan
mengetahui adalah mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuannya adalah
zat-Nya, Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan-Nya adalah zatnya, Tuhan
itu hidup dengan kehidupan dan kehidupan-Nya adalah zatnya, dan begitu
seterusnya. Al Syahrastani memberikan teks dari pertanyaan tersebut sebagai
berikut:[10]
- Al Adl
Manusia diciptakan Tuhan dengan membawa
kemerdekaan pribadi. Ia mempunyai daya untuk berbuat sesuatu dengan bebas.
Perbuatan-perbuatan yang ia lakukan adalah kehendak dirinya dan bukan kehendak
siapapun, termasuk Tuhan. Manusia dapat berbuat baik ataupun buruk adalah atas
kehendak dan kemauannya sendiri, karena ia mempunyai daya untuk itu. Sedangkan
daya (istita’ah) terdapat dalam diri manusia sebelum ia melakukan
suatu perbuatan.[11]
Sebagaimana diterangkan oleh Abdul Al Jabbar, bahwa yang dimaksud “Tuhan
membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya” adalah bahwa Tuhan menciptakan
daya di dalam diri manusia dan pada daya inilah tergantung wujud perbuatan itu,
dan bukanlah yang dimaksud bahwa Tuhan membuat perbuatan yang telah dibuat
manusia.[12]
Dengan melihat bahwa manusia bebas berbuat baik
artaupun buruk, taat ataupun maksiat, iman ataupun kufur, maka manusia berhak
untuk menerima balasan yang sesuai dengan amalnya. Artinya, Tuhan dituntut
untuk berbuat keadilan, untuk yang berbuat baik, maka Tuhan harus
menganugerahinya dengan pahala dan surga, sedangkan untuk yang berbuat buruk
maka Tuhan harus mengukum,nya dengan siksa dan dosa. Jika Tuhan tidak berbuat
demikian maka Tuhan dikatakan tidak adil.
Untuk menguatkan pendapatnya itu, mu’tazilah juga
menggunakan dasar al-Qur’an, semisal surat
an-Nisa’ ayat 79:
Artinya: “Apa saja nikmat yang kamu peroleh
adalah dari Tuhan, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari kesalahan
dirimu sendiri”.
- Al Manzilu baina al-Manzilatain
Prinsip ini berlatarbelakang kedudukan orang
mu’min yang melakukan dosa besar. Menurut beberapa aliran sebelumnya, Khawarij,
misalnya, mengatakan bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar maka ia adalah
disebut kafir, karena itu wajib dibunuh. Pendapat ini ditentang oleh kaum
murji’ah yang mengatakan bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar, ia tetap
seorang mu’min. Dari berbagai pendapat ini, Washil bin Atha’ merasa tidak puas,
sehingga ia mengatakan bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar bukanlah
seorang kafir dan bukan pula seorang muslim tetapi adalah fasiq.
- Al Wa’du wa al Wa’id
Bagi Mu’tazilah, kebebasan yang diperoleh manusia
dapat diartikan bahwa kekuasaan Tuhan tidak lagi mutlak. Ketidakmutlakan ini
disebabkan oleh adanya kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia, keadilan
Tuhan serta janji-janji Tuhan serta hukum alam yang tidak berubah-ubah,
sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an.[13]
Kebebasan yang didapat manusia baru akan
mempunyai makna jika Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya. Sebab,
kebebasan menurut mu’taazilah membawa konsekwensi bahwa Tuhan harus membalas
perbuatan manusia atas dasar perbuatan manusia itu sendiri, sebagaimana
janji-janji Tuhan yang dituangkan dalam al Qur’an.
Telah banyak janji-janji Tuhan yang dituangkan
dalam al Qur’an. Semisal bagi orang yang berbuat kebaikan akan mendapatkan
balasan sesuai kebaikannya dan yang melakukan kejahatan akan menerima balasan
sesuai dengan perbuatannya pula. Dengan demikian Tuhan haruslah menepati
janji-janji yang telah disebutkannya sendiri, jika tidak, maka Tuhan tidak
menepati janjinya.
- Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Benar bahwa manusia bebas berkehendak sesuai
dengan keinginannya, namun wajib pula bagi manusia untuk melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar, mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran. Sebagai
khalifah di bumi dan telah diberi anugerah berupa akal dan daya yang tidak
dimiliki makhluk lain, manusia seharusnya berupaya pula untuk mencegah orang
lain berrbuuat kejahatan dan mengajaknya kepada kebaikan-kebaikan, serta
memberikan atau menularkan pikiran-pikirannya kepada orang lain.
Dengan usaha-usahanya tersebut maka tidak mnutup
kemungkinan oranglain akan berbuat kebaikan sebagaimana yang kita anjurkan,
sebab manusia, sekali lagi, mempunyai kebebasan untuk berbuat dan memilih
sesuatu.
- GAMBARAN TENTANG ASY’ARIYAH
- Sejarah Lahirnya Asy’ariyah
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap faham
Mu’tazilah yang dianggap ‘menyeleweng dan menyesatkan’ umat Islam. Mu’tazilah
pada masa al Ma’mun melakukan mihnah yang mendapat tanggapan negatif
dari berbagai golongan, sehingga pengaruhnya sedikit memudar di mata
masyarakat.
Pada saat inilah muncul Al Asy’ari, seorang yang
dididik dan dibesarkan di lingkungan mu’tazilah. Ia menyelami ajaran-ajaran
Mu’tazilah melalui gurunya, Al Jubbai. Dengan ketekunan dan kepandaiannya, maka
ia menjadi murid kesayangan Al Jubbai dan sering diutus untuk mengikuti forum
diskusi dan perdebatan Sehingga tak heran kalau ia kemudian menjadi terampil
dalam berdebat dan beradu argumen, termasuk dengan gurunya sendiri, namun ia
sering merasa kecewa dengan jawaban ataupun penjelasan gurunya. Hingga pada
usia 40 tahun, Al Asy’ari menyatakan keluar dari Mu’tazilah mendirikan golongan
baru, yang akhirnya populer dengan nama Asy’ariyah.
Pemikiran Teologis Asy’ariyah merupakan sintesa
dari pertentangan antara kaum rasional Mu’tazilah dan kaum konservatif
tradisional. Beruntungnya, pemikiran ini banyak diterima di kalangan masyarakat
muslim.[14]
Pokok-pokok pemikiran ini dianggap merupakan jalan keluar dari pertentangan
antara golongan rasionalis dan tekstualis, di samping itu sangat mudah untuk
dipahami karena sederhana dan tidak terlalu filosofis.
Pokok-pokok pemikiran Asy’ariyah terus
berkembang. Bahkan pokok-pokok pemikiran teologi Asy’ariyah telah menjadi
keyakinan seluruh anggota Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.[15]
Aliran ini semakin besar dengan dukungan Khalifah Al Mutawakkil, yang
menjadikannya sebagai mazhab resmi negara.
- Pokok-pokok Pikiran Asy’ariyah
Faham Asy’ariyah dalam ajaran-ajarannya hampir
seluruhnya berseberangan dengan pemikiran Mu’tazilah. Termasuk penggunaan akal,
Asy’ariyah memberikan fungsi strukstural yang lebih rendah daripada wahyu.[16]
Dan dalam pandangannya ada tiga garis besar yang dapat disebutkan, yakni
mengenai sifat dan zat Tuhan, perbuatan-perbuatan manusia, dan kehendak dan
kekuasaan mutlak Tuhan.
- Sifat dan Zat Tuhan
Sifat dan zat Tuhan menurut Asy’ariyah sangat
berbeda dengan pandangan Mu’tazilah. Menurutnya, Tuhan tetap mempunyai sifat di
dalam zat-Nya. Mustahil jika yang disebutkan Mu’tazilah bahwa Tuhan mengetahui
dengan zatNya, karena dengan demikian zatNya adalah pengetahuan, berarti pula
Tuhan adalah pengetahuan.
Sifat-sifat mengetahui, hidup, berkuasa dan lain
sebagainya adalah tetap merupakan sifat Tuhan dan tidak bisa dipisahkan dari
zatNya, tetapi Asy’ariyah juga menyangkal bahwa sifat adalah zat. Artinya,
sifat bukanlah zat dan bukan pula selain zat.[17]
Ada
dua kesulitan yang dihadapi Asy’ariyah, di satu pihak mereka tidak bisa
menyangkal bahwa sifat-sifat Allah itu adalah lain dari Dia, akan tetapi di
lain pihak juga tidak dapat menyatakan bahwa sifat-sifat itu tidak terpisah
dari Dia. Oleh karena itu mereka mengambil jalan tengah dalam menyelesaikan dua
kesulitasn ini.
Jalan yang ditempuh Asy’ariyah yang nampaknya
membingungkan ini, mereka membedakan antara ‘makna’ dan ‘realitas’. Sejauh
menyangkut maknanya atau konotasinya sifat-sifat Allah itu berbeda dengan
Allah; akan tetapi sejauh menyangkut relitasnya (hakekatnya) sifat-sifat itu
tidak terpisah dengan esensi Allah dan demikian tidak berbeda denganNya.[18]
Oleh karena itu sifat-sifat Tuhan tidak selain zatNya, maka sifat-sifat itu
tidak akan membawa kepada faham adanya banyak qadim.
- Perbuatan-perbuatan Manusia
Dapat dikatakan bahwa faham Asy’ariyah lebih
condong ke faham Jabariyah. Manusia dipandang lemah, sehingga banyak tergantung
pada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Segala perbuatan yang dilakukan manusia
adalah kehendak dari Tuhan. Kita berbuat baik, Tuhanlah yang menggerakkan dan
kalaupun kita berbuat jelek maka itu sudah dikehendaki Tuhan.
Dalam masalah ini Asy’ari menampilkan adanya
teori Al Kasb. Pengertiannya adalah sesuatu yang timbul dari Al Muktasib dengan
perantaraan daya yang diciptakan.[19]
Perbuatan yang dilakukan oleh manusia memnag dikehendaki oleh Tuhan, tetapi
hasil perbuatan itu adalah hasil dari manusia. Tuhan tidak menjadi yang
memperoleh perbuatan, karena al Kasb terjadi hanya dengan daya yang diciptakan
dan Tuhan tidak mungkin mempunyai daya yang diciptakan.
Dalil yang digunakan Asy’ariyah ada pada ayat
berikut:
Dalam memahami ayat itu, Al Asy’ari memaknai ayat
wa ta’malun dengan “apa yang kamu perbuat” bukan apa yang kamu buat”. Dengan
demikian ayat tersebut mempunyai pengertian bahwa Tuhan menciptakan kamu dan
perbuatan-perbuatan kamu.
Ahmad Hanafi menjelaskan bahwa al Kasb adalah
“berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan”, artinya jika manusia
hendak mengadakan perbuatannya, maka pada saat itu pula Tuhan menciptakan
kesanggupan manusia untuk mewujudkan perbuatan. Dengan perbuatan inilah ia
mendapatkan perbuatannya, tetapi tidak menciptakannya.[20]
- Kehendak dan Kekuasaan Mutlak Tuhan
Pada dasarnya Asy’ariyah meyakini bahwa Tuhan
adalah penguasa tertinggi, diatasnya tidak ada zat selain dari padaNya dan Ia
tidak tunduk kepada siapapun. Kekuasaan Tuhan adalah di atas segala-galanya,
dapat berbuata apa saja yang dikehendakiNya, sungguhpun perbuatan itu dipandang
tidak baik dan tidak adil menurut akal manusia.[21]
Dengan demikian tidak salah jika memasukkan
seluruh manusia ke dalam Syurga dan tidaklah bersifat zalim jika Tuhan
memasukkan seluruh umat manusia ke dalam neraka.[22]
Artinya, bahwa Tuhan dengan kekuasannyalah yang menjadikan seseorang baik
ataupun buruk, dan dengan kuasanyalah manusia dimasukkan ke dalam surga ataupun
neraka.
- ANALISIS POKOK PIKIRAN MU’TAZILAH DAN ASY’ARIYAH
Perbedaan paham tidak jarang menimbulkan
perpecahan dan pertikaian. Jangankan yang berbeda agama dan keyakinan, bahkan
dalam satu agama dan keyakinanpun, perbedaan pastilah muncul dan mewarnai
dinamika pemikiran keagamaan. Dua paham terbesar, yakni Aasy’ariyah dan
Mu’tazilah telah memberikan pengertian dan pemahaman teologi yang berbeda.
Walaupun dalam kenyataan yang ada sekarang, aliran-aliran atau
golongan-golongan yang terpecah tidak hanya dua itu, namun pada dasarnya mereka
tetap mengacu pada pokok pikiran dua aliran ini.
Memang, pada awalnya perpecahan umat Islam
menjadi berbagai golongan diawali dengan motif politik, yang kemudian
berkembang pada perbedaan teologi. Namun, perbedaan inipun terkadang dibawa
pula kearah politik, dimana golongan satu menghancurkan golongan yang lain demi
kejayaan dan penguasaan golongannya.
Persaingan dan perang intelektual yang dilakukan
orang-orang yang berbeda pemahaman sebenarnya bukan merupakan sebuah kejelekan.
Bahkan dapat dikatakan kemajuan dan berkembangnya pemikiran tentang keagamaan
dipicu oleh persaingan dan perang ini. Pemikiran-pemikiran baru akan lahir
sedikit demi sedikit atas adanya perdebatan. Namun, sekali lagi, seseorang
tidak dapat menerima perbedaan itu sebagai sebuah anugerah tetapi menimbulkan
kecemasan dan ketakutan kepada pihak lain, sehingga yang ia lakukan adalah
menghancurkan mereka terlebih dahulu sebelum (apabila) mereka menghancurkan
kita. Mereka terkadang lupa tentang siapa yang dihancurkannya, ada siapa
diantara mereka, siapa yang berhak atas kehidupan mereka. Bahkan mereka pun
lupa apa sebenarnya yang menjadi perdebatan awal sehingga mereka berseberangan.
Diantara dua faham, Mu’tazilah dan Asy’ariyah,
paling tidak ada tiga garis besar perbedaan, yakni; tentang ketuhanan,
kekuasaan Tuhan, dan manusia.
- Ketuhanan
Satu hal yang bukan menjadi perbedaan adalah
Tuhan adalah satu, Ia adalah pencipta dan penguasa seluruh alam, dan Ia adalah
ada yang pertama. Baik Mu’tazilah ataupun Asy’ariyah ataupun kelompok-kelompok
lain tidak menafikan hal ini. Pencipta seluruh alam ini tiada lain adalah
Tuhan, Allah. Biarpun seluruh manusia tidak mengakuinya, Ia tetap sebagai
Tuhan, yang telah menciptakan bumi beserta isinya, langit beserta
misteri-misteri yang tersembunyi di dalamnya. Inilah hal yang perlu dipegang
oleh seluruh kaum, sebab siapapun dan bagaimanapun cara kaum-kaum itu
menyembah, yang disembah tetaplah satu, ialah Allah, rabbul ‘alamin.
Perbedaan pengertian keesaan Tuhan pada dasarnya
bukanlah perbedaan dalam segi hakekat, tetapi perbedaan dimensi pandangan.
Mu’tazilah dalam memandang keesaan Tuhan memberikan pengertian tentang keesaan
yang menyeluruh, baik itu sifat, zat, dan lain sebagainya. Sedangkan Asy’ariyah
memandang keesaan Tuhan lebih kepada sebuah zat yang tidak dapat terlepas dari
sifat-sifat yang melekat padaNya.
Kedua pendapat itu sulit untuk tidak diterima
salah satunya. Di satu sisi Tuhan dikatakan Yang Esa, yakni pencipta dari
segala sesuatu, termasuk sifat-sifat yang ‘melekat’ pada dirinya. Apabila ada
sifat Tuhan berarti ada dua qadim, yakni Tuhan (zat) dan sifat Tuhan itu
sendiri. Sedangkan dalam pengertian dan pemahaman kita, sulit untuk memisahkan
antara zat dan sifat. Misalkan, air mempunyai zat berupa cairan dan pula
bersifat cair, api mempunyai unsur api dan sifat panas, dan sebagainya. Dua hal
tersebut tidak mampu disublim, sehingga dapat dipisahkan antara zat dan
sifatnya. Air, biarpun bisa berubah menjadi padat (es) tetapi toh ia tetap
berupa zat cair. Demikian pula api, tak dapat terpisah antara api dan panasnya.
Sama halnya dengan Tuhan, sulit diterima akal jika kita mampu memisahkan antara
Tuhan dengan apa yang melekat pada diriNya (sifat). Kecuali jika berpandangan
bahwa sifat merupakan bagian dari ciptaan, sebagaimana meja yang berbentuk meja
dan air berbentuk cair. Padahal sesungguhnya sifat-sifat yang telah disebutkan
dengan bahasa manusia itu adalah berada pada dimensi manusia, sedangkan Tuhan
berada pada dimensi Tuhan. Wujud, qidam, baqa’ sesungguhnyalah hanya sebuah
bahasa manusia untuk menyebut Tuhan sebagai zat yang ada, awal, kekal dan
maha-maha yang lain, dan bukan bahasa Tuhan, yang siapapun tidak mampu
memasukinya.
- Kekuasaan Tuhan
Tidak jarang kita terbentur dengan
pemikiran-pemikiran yang menyangkut tentang kekuasaan Tuhan. Tuhan dengan
sebutan Sang Penguasa akankah sebagai ‘dalang’ yang menggerakkan seluruh
kegiatan dan gerak ‘wayangnya’ termasuk gerak tangan sang wayang. Ataukah Tuhan
hanya sebagai pencipta manusia dan potensinya saja, dan membiarkan manusia
berbuat sekehendak hatinya, tanpa harus ‘campur tangan’ dan hanya menunggu dan
memberikan balasan yang sesuai ?
Apabila kita meyakini hal yang pertama, maka hal itu
akan menimbulkan rasa pesimisme, yang dengan bahasa Plato disebut Tymos,[23]
bahwa apa yang telah ia peroleh dan dapatkan adalah memang sudah garis Tuhan
dan kita tidak mempunyai daya apapun untuk merubahnya. Sedangkan apabila kita
mempercayai hal yang kedua, maka mungkin ada yang mempertanyakan apakah Tuhan
tidak berkuasa dan tidak peduli terhadap diri manusia? Lalu apa kegunaan Tuhan
memberikan potensi beruapa akal dan daya-daya yang lain?
Benar bahwa Tuhan telah memberikan anugerah
terbesar bagi manusia yakni berupa akal dan hati. Bahkan dengan karunia ini
pula, manusia menjadi berbeda dengan makhluk lain. Namun ini juga tidak berarti
bahwa Tuhan membebaskan manusia berkehendak sesuka hati dengan tanpa campur
tangan Tuhan (takdir). Manusia, alam dan seluruh semesta raya diciptakan Tuhan
sebagaimana digambarkan seorang tukang jam yang membuat jam. Ia tahu dan telah
memprogram bahwa jarum yang ia ciptakan akan bergerak dengan arah demikian,
laju sekian dan melewati angka demi angka seperti yang ia perkirakan waktunya.
Sedangkan jarumnya tidak perlu digerakkan terus menerus oleh tukang jam itu,
karena ia telah memprogramnya dengan baik dan cermat.
Sama halnya dengan manusia. Manusia digambarkan
adalah jam yang digerakkan dan mengikuti laju dan nasib sebagaimana yang telah
diprogram dan digariskan oleh pembuat jam, Tuhan. Ia bebas bergerak dengan
kekuatannya sendiri tetapi ia tetap harus mengikuti arah dan program yang telah
ditetapkan. Ia tidak bisa melawan kehendak penciptanya karena ia lemah dan
kalah oleh kekuasaan Tuhan.
- Manusia
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa manusia
diciptakan menurut aturan dan takdir dari sang pencipta. Ia tidak mempunyai
kehendak dan kekuatan yang diandalkan untuk melawan kehendak Ilahi. Lalu
pertanyaan yang mungkin timbul selanjutnya, apakah fungsi Tuhan menciptakan
akal dan daya-daya yang dianugerahkan kepada manusia, kalau toh ia harus
mengikuti aturan Tuhan?
Dalam bertingkah laku dan menjalani kehidupan,
manusia tetap diberikan kesempatan untuk berbuat sesuka hati karena ia mampu
untuk itu. Namun akal dan daya-daya yang dmiliki manusia itu sesungguhnya tidak
lain adalah pada hakekatnya dipergunakan untuk memenuhi tanggungjawabnya
menjalankan garis kehidupan yang telah ditetapkan Tuhan. Jika kemudian ia tidak
memenuhi tanggungjawabnya, bahkan bertentangan dengan garis yang telah
ditetapkan dan benar-benar tidak dapat diperbaiki, maka ia dapat dikategorikan
sebagai ‘jam yang rusak’ dan perlu masuk tong sampah. Namun apabila kerusakan
yang diderita manusia itu hanya kerusakan-kerusakan ringan, Tuhan tentu tidak
akan membiarkan ia berlarut-larut dalam kebimbangan. Hidayah dan
‘perbaikan-perbaikan seperlunya’ tentu akan diberikan Tuhan dengan jalan yang
tidak terduga-duga.
- KESIMPULAN
Dari pembahasan yang menyangkut pemahaman antara
Mu’tazzilah dan Asy’ariyah di atas, maka dapatlah ditarik beberapa garis besar
sebagai berikut:
- Perkembangan dan munculnya berbagai aliran-aliran disebabkan oleh adanya ketidakpuasan atas ilmu-ilmu yang berkembang saat itu. Mu’tazilah dengan kekuatan rasionalnya dan Asy’ariyah sebagai rivalnya, telah memberikan keberanian berfikir atas ketidakpuasan keilmuan yang sedang berkembang. Di samping itu, aliran-aliran tersebut telah berani membusungkan dada terhadap rongrongan yang berasal dari luar kaum Islam.
- Perbedaan pandangan antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah sebenarnya disebabkan oleh adanya perbedaan dimensi pandangan, yang apabila diteliti lebih jauh akan merupakan buah pemikiran yang sangat luas.
- Prinsip-prinsip yang dipergunakan mereka mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Di satu sisi, mengajak manusia untuk hidup optimis dengan berbagai potensi yang dimiliki, dan di pihak lain, mengajak orang untuk selalu percaya bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap gerak dan nafas kita.
- PENUTUP
Demikianlah sedikit coretan hasil buah pemikiran
seorang yang masih awam dalam hal keilmuan. Tentunya masih banyak kesalahan dan
kekurangan yang ada dalam makalah ini. Untuk itu saran, kritik dan masukan yang
konstruktif kami harapkan selalu demi berkembangnya pemikiran kita bersama. Dan
kami hanya dapat berharap, sedikit coretan ini akan mendatangkan manfaat bagi
kita bersama, amin.
——— m.a.j ———
DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abu Bakar, Prof. Dr. H. Sejarah
Filsafat Islam. Solo: Ramadhani. 1989.
Al Syahrastani, Abi Al Fath Muhammad Abd. Al
Karim Ibn Abi Bakr. Al Milal wa Al Nihal. Beirut: Darl Al Fikr. t.t..
Amin, M. Mansyur, ed.. Teologi Pembangunan. Yogyakarta: LKPS NU. 1989.
Ensiklopedi Islam. Ikhtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 1993.
Fukuyama, Francis. Kemenangan Kapitalisme dan
Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Qalam.
2001.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka
al-Husna. 1992.
—————-. Teologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1988.
Muin, Taib Tahir Abdul. Ilmu Kalam. Jakarta: Wijaya. 1986.
Nasution, Harun. Teologi Islam. Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:
UI Press. 1986.
Qodir, C.A. Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
1989.
Oleh: Mahbub Al Junaidi
- PENDAHULUAN
Sejarah telah mencatat, bahwa perselisihan serta
perbedaan aqidah di kalangan kaum muslimin yang pada akhirnya menimbulkan
firqah-firqah, golongan-golongan atau aliran-aliran adalah bermula dari
persoalan-persoalan politik pasca wafatnya nabi Muhammad SAW, dan puncaknya
terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib pada tahun 661 M [1].
Dimana pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ini banyak mendapat
tantangan dari pemuka-pemuka yang berambisi menjadi khalifah, diantaranya
adalah Thalhah bin Zubair dan Muawiyah.
Bermula dari persoalan politik tersebut, pada
akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan teologi. Peristiwa arbitrase yang
terjadi pada saat pertentangan Ali dan Mu’awiyah pada akhirnya dibawa kepada
persoalan Teologi. Permasalahan ini terus berkembang hingga akhirnya
memunculkan aliran-aliran. Aliran-aliran yang dilatarbelakangi permasalahan
politik seperti halnya Khawarij, Syi’ah, Murjiah pada akhirnya memunculkan
aliran Teologi seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
Dua aliran yang disebut terakhir inilah yang
sangat besar pengaruhnya dalam dalam dunia teologi. Walaupun kemudian timbul
aliran-aliran lain yang (mungkin) berpengaruh, namun semua itu masih berdasar
kepada pemikiran awal dua aliran ini. Mu’atazilah dalam pembahasannya banyak
menggunakan akal, sehingga mereka mendapatkan nama “kaum rasionalis Islam”,[2]
sedangkan Asy’ariyah yang bersifat tradisional ada yang menyebutnya menggunakan
metode sintesa, karena ia dalam pembahasannya sangat percaya kepada ketentuan
Tuhan, sedangkan akal ada di bawah wahyu.
Dengan melihat bahwa dua aliran ini sangat
dominan menentukan pola pikir manusia dalam hal teologi, maka penulis hendak
membahas perbedaan mendasar yang ada pada dua aliran ini, Mu’tazilah dan
Asy’ariyah.
- GAMBARAN TENTANG MU’TAZILAH
- Sejarah Lahirnya Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazila merupakan aliran teologi Islam
yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah
pemikiran dunia Islam.[3]
Pada awal berdirinya, orang-orang yang ada dalam aliran ini enggan disebut
sebagai kaum Mu’tazilah, tetapi ia lebih mempopulerkan dirinya dengan golongan ahl
al-tauhid wa al-adl.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada
permulaan abad pertama hijriyah di Basrah (Irak), sebagai pusat perpaduan
segala macam ilmu pengetahuan, kebudayaan dan agama. Pada waktu itu banyak
orang-orang yang hendak menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik yang berasal
dari dalam Islam sendiri (orang-orang yang baru masuk Islam tetapi masih
membawa aqidah agama lama) atau luar Islam. Di samping itu umat Islam pada saat
itu sudah terpecah menjadi beberapa golongan, yakni Khawarij, Syi’ah dan
Murji’ah. Dan aliran-aliran itu dalam pemikirannya masih dangkal dan sulit
dipersatukan. Sehingga aliran yang pada awalnya menggunakan nama ahlu
al-tauhid wa al-adl ini perlu menyelamatkan muka Islam.
Mu’taazilah timbul sebagai reaksi atas
pertentangan antara aliran Khawarij dan Murji’ah mengenai persoalan dosa besar
seorang muslim. Adalah Waasil bin Atha’ yang kecewa dengan gurunya Hasan
Al-Basri, dan menyatakan bahwa seorang muslim yang berdosa besar menempati
posisi di antara dua posisi (al-manzilu baina manzilatain), artinya,
ia tidak bisa disebut sebagai mu’min tetapi ia juga tidak bisa disebut sebagai
kafir, akan tetapi lebih tepat jika disebut fasiq.[4]
Dalam perkembangan selanjutnya, aliran Mu’tazilah
lebih banyak menggunakan akal sehingga ia sering disebut sebagai aliran
rasionalistik. Dalam pandangannya, akal sebagai karunia terbesar Tuhan
mempunyai fungsi yang luar biasa untuk memahami ayat-ayat Tuhan, sehingga ia
merupakan sumber pengetahuan utama. Oleh akrena itu bagi Mu’taazilah, keraguan
adalah sebagai metode untuk mencari kebenaran. Keraguan yang dipergunakan bukan
keraguan yang sungguh-sungguh, melainkan hanya sebagai suatu metode untuk
menemukan suatu kebenaran.[5]
Pada awal berdirinya, Mu’tazilah tidak banyak
mendapat simpati, karena masyarakat awam sulit menerima dan memahami
ajaran-ajaran yang rasionalistik ini. Mu’tazilah baru menjadi besar dan
mendapat banyak pengikut pada zaman pemerintahan Al-Makmun, bahkan telah
menjadi mazhab resmi negara.[6]
Aliran Mu’taazilah mulai menurun pada masa Al
Mutawakil. Keadaan ini semakin memburuk bagi Mu’tazilah ketika Al Mutawakil
membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah dan digantikan dengan mazhab
Asy’ariyah.[7]
- Pokok-pokok Pikiran Mu’tazilah
Pada prinsipnya Mu’tazilah mempunyai lima hal
pokok dalam pandangannya, yang populer disebut af’al al-ushul al-khamsah, yakni;
al-Tauhid, al-Adl, al-Manzilu baina manzilatain, al-wa’du wa al-wa’id, dan
amar ma’ruf nahi munkar.
- Al Tauhid
Tuhan, menurut Mu’tazilah, tidak mempunyai
sifat-sifat yang mempunyai wujud di luar zatnya. Tuhan tidak mungkin diberikan
sifat-sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat
Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim.[8]
Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat-sifat yang qadim, maka akan menunjukkan
bahwa Allah itu berbilang-bilang atau Tuhan lebih dari satu. Padahal Allah itu
maha Esa, tidak ada yang menyekutuinya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak
seperti apapun zat Tuhan hanyalah satu (Esa) tidak terbilang. Tuhan tidak
berjisim, bersifat, berunsur serta berjauhar (atom).[9]
Dengan demikian apabila ada pandangan bahwa Tuhan bersifat maka orang itu dapat
disebut sebagai syirik.
Kalaupun dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Tuhan
mengetahui, berkehendak, berkuasa dan sebagainya, itu tidak lain tak terlepas
dari zatnya. Abu Huzail memberikan pendapatnya bahwa yang dimaksud Tuhan
mengetahui adalah mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuannya adalah
zat-Nya, Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan-Nya adalah zatnya, Tuhan
itu hidup dengan kehidupan dan kehidupan-Nya adalah zatnya, dan begitu
seterusnya. Al Syahrastani memberikan teks dari pertanyaan tersebut sebagai
berikut:[10]
- Al Adl
Manusia diciptakan Tuhan dengan membawa
kemerdekaan pribadi. Ia mempunyai daya untuk berbuat sesuatu dengan bebas.
Perbuatan-perbuatan yang ia lakukan adalah kehendak dirinya dan bukan kehendak
siapapun, termasuk Tuhan. Manusia dapat berbuat baik ataupun buruk adalah atas
kehendak dan kemauannya sendiri, karena ia mempunyai daya untuk itu. Sedangkan
daya (istita’ah) terdapat dalam diri manusia sebelum ia melakukan
suatu perbuatan.[11]
Sebagaimana diterangkan oleh Abdul Al Jabbar, bahwa yang dimaksud “Tuhan
membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya” adalah bahwa Tuhan menciptakan
daya di dalam diri manusia dan pada daya inilah tergantung wujud perbuatan itu,
dan bukanlah yang dimaksud bahwa Tuhan membuat perbuatan yang telah dibuat
manusia.[12]
Dengan melihat bahwa manusia bebas berbuat baik
artaupun buruk, taat ataupun maksiat, iman ataupun kufur, maka manusia berhak
untuk menerima balasan yang sesuai dengan amalnya. Artinya, Tuhan dituntut
untuk berbuat keadilan, untuk yang berbuat baik, maka Tuhan harus
menganugerahinya dengan pahala dan surga, sedangkan untuk yang berbuat buruk
maka Tuhan harus mengukum,nya dengan siksa dan dosa. Jika Tuhan tidak berbuat
demikian maka Tuhan dikatakan tidak adil.
Untuk menguatkan pendapatnya itu, mu’tazilah juga
menggunakan dasar al-Qur’an, semisal surat an-Nisa’ ayat 79:
Artinya: “Apa saja nikmat yang kamu peroleh
adalah dari Tuhan, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari kesalahan
dirimu sendiri”.
- Al Manzilu baina al-Manzilatain
Prinsip ini berlatarbelakang kedudukan orang
mu’min yang melakukan dosa besar. Menurut beberapa aliran sebelumnya, Khawarij,
misalnya, mengatakan bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar maka ia adalah
disebut kafir, karena itu wajib dibunuh. Pendapat ini ditentang oleh kaum
murji’ah yang mengatakan bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar, ia tetap
seorang mu’min. Dari berbagai pendapat ini, Washil bin Atha’ merasa tidak puas,
sehingga ia mengatakan bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar bukanlah
seorang kafir dan bukan pula seorang muslim tetapi adalah fasiq.
- Al Wa’du wa al Wa’id
Bagi Mu’tazilah, kebebasan yang diperoleh manusia
dapat diartikan bahwa kekuasaan Tuhan tidak lagi mutlak. Ketidakmutlakan ini
disebabkan oleh adanya kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia, keadilan
Tuhan serta janji-janji Tuhan serta hukum alam yang tidak berubah-ubah,
sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an.[13]
Kebebasan yang didapat manusia baru akan
mempunyai makna jika Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya. Sebab,
kebebasan menurut mu’taazilah membawa konsekwensi bahwa Tuhan harus membalas
perbuatan manusia atas dasar perbuatan manusia itu sendiri, sebagaimana
janji-janji Tuhan yang dituangkan dalam al Qur’an.
Telah banyak janji-janji Tuhan yang dituangkan
dalam al Qur’an. Semisal bagi orang yang berbuat kebaikan akan mendapatkan
balasan sesuai kebaikannya dan yang melakukan kejahatan akan menerima balasan
sesuai dengan perbuatannya pula. Dengan demikian Tuhan haruslah menepati
janji-janji yang telah disebutkannya sendiri, jika tidak, maka Tuhan tidak
menepati janjinya.
- Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Benar bahwa manusia bebas berkehendak sesuai
dengan keinginannya, namun wajib pula bagi manusia untuk melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar, mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran. Sebagai
khalifah di bumi dan telah diberi anugerah berupa akal dan daya yang tidak
dimiliki makhluk lain, manusia seharusnya berupaya pula untuk mencegah orang
lain berrbuuat kejahatan dan mengajaknya kepada kebaikan-kebaikan, serta
memberikan atau menularkan pikiran-pikirannya kepada orang lain.
Dengan usaha-usahanya tersebut maka tidak mnutup
kemungkinan oranglain akan berbuat kebaikan sebagaimana yang kita anjurkan,
sebab manusia, sekali lagi, mempunyai kebebasan untuk berbuat dan memilih
sesuatu.
- GAMBARAN TENTANG ASY’ARIYAH
- Sejarah Lahirnya Asy’ariyah
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap faham
Mu’tazilah yang dianggap ‘menyeleweng dan menyesatkan’ umat Islam. Mu’tazilah
pada masa al Ma’mun melakukan mihnah yang mendapat tanggapan negatif
dari berbagai golongan, sehingga pengaruhnya sedikit memudar di mata
masyarakat.
Pada saat inilah muncul Al Asy’ari, seorang yang
dididik dan dibesarkan di lingkungan mu’tazilah. Ia menyelami ajaran-ajaran
Mu’tazilah melalui gurunya, Al Jubbai. Dengan ketekunan dan kepandaiannya, maka
ia menjadi murid kesayangan Al Jubbai dan sering diutus untuk mengikuti forum
diskusi dan perdebatan Sehingga tak heran kalau ia kemudian menjadi terampil
dalam berdebat dan beradu argumen, termasuk dengan gurunya sendiri, namun ia
sering merasa kecewa dengan jawaban ataupun penjelasan gurunya. Hingga pada
usia 40 tahun, Al Asy’ari menyatakan keluar dari Mu’tazilah mendirikan golongan
baru, yang akhirnya populer dengan nama Asy’ariyah.
Pemikiran Teologis Asy’ariyah merupakan sintesa
dari pertentangan antara kaum rasional Mu’tazilah dan kaum konservatif
tradisional. Beruntungnya, pemikiran ini banyak diterima di kalangan masyarakat
muslim.[14]
Pokok-pokok pemikiran ini dianggap merupakan jalan keluar dari pertentangan
antara golongan rasionalis dan tekstualis, di samping itu sangat mudah untuk
dipahami karena sederhana dan tidak terlalu filosofis.
Pokok-pokok pemikiran Asy’ariyah terus
berkembang. Bahkan pokok-pokok pemikiran teologi Asy’ariyah telah menjadi
keyakinan seluruh anggota Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah.[15]
Aliran ini semakin besar dengan dukungan Khalifah Al Mutawakkil, yang
menjadikannya sebagai mazhab resmi negara.
- Pokok-pokok Pikiran Asy’ariyah
Faham Asy’ariyah dalam ajaran-ajarannya hampir
seluruhnya berseberangan dengan pemikiran Mu’tazilah. Termasuk penggunaan akal,
Asy’ariyah memberikan fungsi strukstural yang lebih rendah daripada wahyu.[16]
Dan dalam pandangannya ada tiga garis besar yang dapat disebutkan, yakni
mengenai sifat dan zat Tuhan, perbuatan-perbuatan manusia, dan kehendak dan
kekuasaan mutlak Tuhan.
- Sifat dan Zat Tuhan
Sifat dan zat Tuhan menurut Asy’ariyah sangat
berbeda dengan pandangan Mu’tazilah. Menurutnya, Tuhan tetap mempunyai sifat di
dalam zat-Nya. Mustahil jika yang disebutkan Mu’tazilah bahwa Tuhan mengetahui
dengan zatNya, karena dengan demikian zatNya adalah pengetahuan, berarti pula
Tuhan adalah pengetahuan.
Sifat-sifat mengetahui, hidup, berkuasa dan lain
sebagainya adalah tetap merupakan sifat Tuhan dan tidak bisa dipisahkan dari
zatNya, tetapi Asy’ariyah juga menyangkal bahwa sifat adalah zat. Artinya,
sifat bukanlah zat dan bukan pula selain zat.[17]
Ada dua kesulitan yang dihadapi Asy’ariyah, di
satu pihak mereka tidak bisa menyangkal bahwa sifat-sifat Allah itu adalah lain
dari Dia, akan tetapi di lain pihak juga tidak dapat menyatakan bahwa
sifat-sifat itu tidak terpisah dari Dia. Oleh karena itu mereka mengambil jalan
tengah dalam menyelesaikan dua kesulitasn ini.
Jalan yang ditempuh Asy’ariyah yang nampaknya
membingungkan ini, mereka membedakan antara ‘makna’ dan ‘realitas’. Sejauh
menyangkut maknanya atau konotasinya sifat-sifat Allah itu berbeda dengan
Allah; akan tetapi sejauh menyangkut relitasnya (hakekatnya) sifat-sifat itu
tidak terpisah dengan esensi Allah dan demikian tidak berbeda denganNya.[18]
Oleh karena itu sifat-sifat Tuhan tidak selain zatNya, maka sifat-sifat itu
tidak akan membawa kepada faham adanya banyak qadim.
- Perbuatan-perbuatan Manusia
Dapat dikatakan bahwa faham Asy’ariyah lebih
condong ke faham Jabariyah. Manusia dipandang lemah, sehingga banyak tergantung
pada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Segala perbuatan yang dilakukan manusia adalah
kehendak dari Tuhan. Kita berbuat baik, Tuhanlah yang menggerakkan dan kalaupun
kita berbuat jelek maka itu sudah dikehendaki Tuhan.
Dalam masalah ini Asy’ari menampilkan adanya
teori Al Kasb. Pengertiannya adalah sesuatu yang timbul dari Al Muktasib dengan
perantaraan daya yang diciptakan.[19]
Perbuatan yang dilakukan oleh manusia memnag dikehendaki oleh Tuhan, tetapi
hasil perbuatan itu adalah hasil dari manusia. Tuhan tidak menjadi yang
memperoleh perbuatan, karena al Kasb terjadi hanya dengan daya yang diciptakan
dan Tuhan tidak mungkin mempunyai daya yang diciptakan.
Dalil yang digunakan Asy’ariyah ada pada ayat
berikut:
Dalam memahami ayat itu, Al Asy’ari memaknai ayat
wa ta’malun dengan “apa yang kamu perbuat” bukan apa yang kamu buat”. Dengan
demikian ayat tersebut mempunyai pengertian bahwa Tuhan menciptakan kamu dan
perbuatan-perbuatan kamu.
Ahmad Hanafi menjelaskan bahwa al Kasb adalah
“berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan”, artinya jika manusia
hendak mengadakan perbuatannya, maka pada saat itu pula Tuhan menciptakan
kesanggupan manusia untuk mewujudkan perbuatan. Dengan perbuatan inilah ia
mendapatkan perbuatannya, tetapi tidak menciptakannya.[20]
- Kehendak dan Kekuasaan Mutlak Tuhan
Pada dasarnya Asy’ariyah meyakini bahwa Tuhan
adalah penguasa tertinggi, diatasnya tidak ada zat selain dari padaNya dan Ia
tidak tunduk kepada siapapun. Kekuasaan Tuhan adalah di atas segala-galanya,
dapat berbuata apa saja yang dikehendakiNya, sungguhpun perbuatan itu dipandang
tidak baik dan tidak adil menurut akal manusia.[21]
Dengan demikian tidak salah jika memasukkan
seluruh manusia ke dalam Syurga dan tidaklah bersifat zalim jika Tuhan memasukkan
seluruh umat manusia ke dalam neraka.[22]
Artinya, bahwa Tuhan dengan kekuasannyalah yang menjadikan seseorang baik
ataupun buruk, dan dengan kuasanyalah manusia dimasukkan ke dalam surga ataupun
neraka.
- ANALISIS POKOK PIKIRAN MU’TAZILAH DAN ASY’ARIYAH
Perbedaan paham tidak jarang menimbulkan
perpecahan dan pertikaian. Jangankan yang berbeda agama dan keyakinan, bahkan
dalam satu agama dan keyakinanpun, perbedaan pastilah muncul dan mewarnai
dinamika pemikiran keagamaan. Dua paham terbesar, yakni Aasy’ariyah dan
Mu’tazilah telah memberikan pengertian dan pemahaman teologi yang berbeda.
Walaupun dalam kenyataan yang ada sekarang, aliran-aliran atau
golongan-golongan yang terpecah tidak hanya dua itu, namun pada dasarnya mereka
tetap mengacu pada pokok pikiran dua aliran ini.
Memang, pada awalnya perpecahan umat Islam
menjadi berbagai golongan diawali dengan motif politik, yang kemudian
berkembang pada perbedaan teologi. Namun, perbedaan inipun terkadang dibawa
pula kearah politik, dimana golongan satu menghancurkan golongan yang lain demi
kejayaan dan penguasaan golongannya.
Persaingan dan perang intelektual yang dilakukan
orang-orang yang berbeda pemahaman sebenarnya bukan merupakan sebuah kejelekan.
Bahkan dapat dikatakan kemajuan dan berkembangnya pemikiran tentang keagamaan
dipicu oleh persaingan dan perang ini. Pemikiran-pemikiran baru akan lahir
sedikit demi sedikit atas adanya perdebatan. Namun, sekali lagi, seseorang
tidak dapat menerima perbedaan itu sebagai sebuah anugerah tetapi menimbulkan
kecemasan dan ketakutan kepada pihak lain, sehingga yang ia lakukan adalah
menghancurkan mereka terlebih dahulu sebelum (apabila) mereka menghancurkan
kita. Mereka terkadang lupa tentang siapa yang dihancurkannya, ada siapa
diantara mereka, siapa yang berhak atas kehidupan mereka. Bahkan mereka pun
lupa apa sebenarnya yang menjadi perdebatan awal sehingga mereka berseberangan.
Diantara dua faham, Mu’tazilah dan Asy’ariyah,
paling tidak ada tiga garis besar perbedaan, yakni; tentang ketuhanan,
kekuasaan Tuhan, dan manusia.
- Ketuhanan
Satu hal yang bukan menjadi perbedaan adalah
Tuhan adalah satu, Ia adalah pencipta dan penguasa seluruh alam, dan Ia adalah
ada yang pertama. Baik Mu’tazilah ataupun Asy’ariyah ataupun kelompok-kelompok
lain tidak menafikan hal ini. Pencipta seluruh alam ini tiada lain adalah
Tuhan, Allah. Biarpun seluruh manusia tidak mengakuinya, Ia tetap sebagai
Tuhan, yang telah menciptakan bumi beserta isinya, langit beserta
misteri-misteri yang tersembunyi di dalamnya. Inilah hal yang perlu dipegang
oleh seluruh kaum, sebab siapapun dan bagaimanapun cara kaum-kaum itu
menyembah, yang disembah tetaplah satu, ialah Allah, rabbul ‘alamin.
Perbedaan pengertian keesaan Tuhan pada dasarnya
bukanlah perbedaan dalam segi hakekat, tetapi perbedaan dimensi pandangan.
Mu’tazilah dalam memandang keesaan Tuhan memberikan pengertian tentang keesaan
yang menyeluruh, baik itu sifat, zat, dan lain sebagainya. Sedangkan Asy’ariyah
memandang keesaan Tuhan lebih kepada sebuah zat yang tidak dapat terlepas dari
sifat-sifat yang melekat padaNya.
Kedua pendapat itu sulit untuk tidak diterima
salah satunya. Di satu sisi Tuhan dikatakan Yang Esa, yakni pencipta dari
segala sesuatu, termasuk sifat-sifat yang ‘melekat’ pada dirinya. Apabila ada
sifat Tuhan berarti ada dua qadim, yakni Tuhan (zat) dan sifat Tuhan itu
sendiri. Sedangkan dalam pengertian dan pemahaman kita, sulit untuk memisahkan
antara zat dan sifat. Misalkan, air mempunyai zat berupa cairan dan pula
bersifat cair, api mempunyai unsur api dan sifat panas, dan sebagainya. Dua hal
tersebut tidak mampu disublim, sehingga dapat dipisahkan antara zat dan
sifatnya. Air, biarpun bisa berubah menjadi padat (es) tetapi toh ia tetap
berupa zat cair. Demikian pula api, tak dapat terpisah antara api dan panasnya.
Sama halnya dengan Tuhan, sulit diterima akal jika kita mampu memisahkan antara
Tuhan dengan apa yang melekat pada diriNya (sifat). Kecuali jika berpandangan
bahwa sifat merupakan bagian dari ciptaan, sebagaimana meja yang berbentuk meja
dan air berbentuk cair. Padahal sesungguhnya sifat-sifat yang telah disebutkan
dengan bahasa manusia itu adalah berada pada dimensi manusia, sedangkan Tuhan berada
pada dimensi Tuhan. Wujud, qidam, baqa’ sesungguhnyalah hanya sebuah bahasa
manusia untuk menyebut Tuhan sebagai zat yang ada, awal, kekal dan maha-maha
yang lain, dan bukan bahasa Tuhan, yang siapapun tidak mampu memasukinya.
- Kekuasaan Tuhan
Tidak jarang kita terbentur dengan
pemikiran-pemikiran yang menyangkut tentang kekuasaan Tuhan. Tuhan dengan
sebutan Sang Penguasa akankah sebagai ‘dalang’ yang menggerakkan seluruh
kegiatan dan gerak ‘wayangnya’ termasuk gerak tangan sang wayang. Ataukah Tuhan
hanya sebagai pencipta manusia dan potensinya saja, dan membiarkan manusia
berbuat sekehendak hatinya, tanpa harus ‘campur tangan’ dan hanya menunggu dan
memberikan balasan yang sesuai ?
Apabila kita meyakini hal yang pertama, maka hal
itu akan menimbulkan rasa pesimisme, yang dengan bahasa Plato disebut Tymos,[23]
bahwa apa yang telah ia peroleh dan dapatkan adalah memang sudah garis Tuhan dan
kita tidak mempunyai daya apapun untuk merubahnya. Sedangkan apabila kita
mempercayai hal yang kedua, maka mungkin ada yang mempertanyakan apakah Tuhan
tidak berkuasa dan tidak peduli terhadap diri manusia? Lalu apa kegunaan Tuhan
memberikan potensi beruapa akal dan daya-daya yang lain?
Benar bahwa Tuhan telah memberikan anugerah
terbesar bagi manusia yakni berupa akal dan hati. Bahkan dengan karunia ini
pula, manusia menjadi berbeda dengan makhluk lain. Namun ini juga tidak berarti
bahwa Tuhan membebaskan manusia berkehendak sesuka hati dengan tanpa campur
tangan Tuhan (takdir). Manusia, alam dan seluruh semesta raya diciptakan Tuhan
sebagaimana digambarkan seorang tukang jam yang membuat jam. Ia tahu dan telah
memprogram bahwa jarum yang ia ciptakan akan bergerak dengan arah demikian,
laju sekian dan melewati angka demi angka seperti yang ia perkirakan waktunya.
Sedangkan jarumnya tidak perlu digerakkan terus menerus oleh tukang jam itu,
karena ia telah memprogramnya dengan baik dan cermat.
Sama halnya dengan manusia. Manusia digambarkan
adalah jam yang digerakkan dan mengikuti laju dan nasib sebagaimana yang telah
diprogram dan digariskan oleh pembuat jam, Tuhan. Ia bebas bergerak dengan
kekuatannya sendiri tetapi ia tetap harus mengikuti arah dan program yang telah
ditetapkan. Ia tidak bisa melawan kehendak penciptanya karena ia lemah dan
kalah oleh kekuasaan Tuhan.
- Manusia
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa manusia
diciptakan menurut aturan dan takdir dari sang pencipta. Ia tidak mempunyai
kehendak dan kekuatan yang diandalkan untuk melawan kehendak Ilahi. Lalu
pertanyaan yang mungkin timbul selanjutnya, apakah fungsi Tuhan menciptakan
akal dan daya-daya yang dianugerahkan kepada manusia, kalau toh ia harus
mengikuti aturan Tuhan?
Dalam bertingkah laku dan menjalani kehidupan,
manusia tetap diberikan kesempatan untuk berbuat sesuka hati karena ia mampu
untuk itu. Namun akal dan daya-daya yang dmiliki manusia itu sesungguhnya tidak
lain adalah pada hakekatnya dipergunakan untuk memenuhi tanggungjawabnya menjalankan
garis kehidupan yang telah ditetapkan Tuhan. Jika kemudian ia tidak memenuhi
tanggungjawabnya, bahkan bertentangan dengan garis yang telah ditetapkan dan
benar-benar tidak dapat diperbaiki, maka ia dapat dikategorikan sebagai ‘jam
yang rusak’ dan perlu masuk tong sampah. Namun apabila kerusakan yang diderita
manusia itu hanya kerusakan-kerusakan ringan, Tuhan tentu tidak akan membiarkan
ia berlarut-larut dalam kebimbangan. Hidayah dan ‘perbaikan-perbaikan
seperlunya’ tentu akan diberikan Tuhan dengan jalan yang tidak terduga-duga.
- KESIMPULAN
Dari pembahasan yang menyangkut pemahaman antara
Mu’tazzilah dan Asy’ariyah di atas, maka dapatlah ditarik beberapa garis besar
sebagai berikut:
- Perkembangan dan munculnya berbagai aliran-aliran disebabkan oleh adanya ketidakpuasan atas ilmu-ilmu yang berkembang saat itu. Mu’tazilah dengan kekuatan rasionalnya dan Asy’ariyah sebagai rivalnya, telah memberikan keberanian berfikir atas ketidakpuasan keilmuan yang sedang berkembang. Di samping itu, aliran-aliran tersebut telah berani membusungkan dada terhadap rongrongan yang berasal dari luar kaum Islam.
- Perbedaan pandangan antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah sebenarnya disebabkan oleh adanya perbedaan dimensi pandangan, yang apabila diteliti lebih jauh akan merupakan buah pemikiran yang sangat luas.
- Prinsip-prinsip yang dipergunakan mereka mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Di satu sisi, mengajak manusia untuk hidup optimis dengan berbagai potensi yang dimiliki, dan di pihak lain, mengajak orang untuk selalu percaya bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap gerak dan nafas kita.
- PENUTUP
Demikianlah sedikit coretan hasil buah pemikiran
seorang yang masih awam dalam hal keilmuan. Tentunya masih banyak kesalahan dan
kekurangan yang ada dalam makalah ini. Untuk itu saran, kritik dan masukan yang
konstruktif kami harapkan selalu demi berkembangnya pemikiran kita bersama. Dan
kami hanya dapat berharap, sedikit coretan ini akan mendatangkan manfaat bagi
kita bersama, amin.
Sumber Dikutip : Dari Mahbub Junaidi
DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abu Bakar, Prof. Dr. H. Sejarah
Filsafat Islam. Solo: Ramadhani. 1989.
Al Syahrastani, Abi Al Fath Muhammad Abd. Al
Karim Ibn Abi Bakr. Al Milal wa Al Nihal. Beirut: Darl Al Fikr. t.t..
Amin, M. Mansyur, ed.. Teologi Pembangunan. Yogyakarta:
LKPS NU. 1989.
Ensiklopedi Islam. Ikhtiar Baru Van Hoeve.
Jakarta. 1993.
Fukuyama, Francis. Kemenangan Kapitalisme dan
Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Qalam. 2001.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Teologi Islam.
Jakarta: Pustaka al-Husna. 1992.
—————-. Teologi Islam. Jakarta: Bulan
Bintang. 1988.
Muin, Taib Tahir Abdul. Ilmu Kalam. Jakarta:
Wijaya. 1986.
Nasution, Harun. Teologi Islam. Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press. 1986.
Qodir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1989.
SIIP
BalasHapus