sip

Aliran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah


Secara bahasa Aqîdah berasal dari kata ‘aqd (عقد) yang berarti mengikat dengan kuat. Ia juga bermakna kokoh dan kuat, saling berpegangan dan saling berkaitan erat, permanen dan utuh. [1]
‘Aqd juga bermakna janji dan pengukuhan sumpah.
Segala sesuatu yang diyakini di dalam hati secara pasti juga disebut Aqîdah.
Aqîdah dalam istilah umum berarti keyakinan yang pasti dan keputusan yang final yang tidak ada keraguan di dalam hati. Demikianlah makna aqidah dalam pengertian yang umum, tanpa melihat kepada bentuk keyakinan yang diyakini, apakah haq maupun batil. Disebut aqidah karena sesuatu yang diyakini itu diikat kuat di dalam hati.
Yang dimaksud dengan Aqidah Islam adalah keyakinan yang pasti kepada Allah, kepada uluhiyah, rububiyah dan kepada asma’ dan sifat-sifat-Nya, beriman kepada para malaikat, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, hari kemudian dan taqdir baik maupun yang buruk, juga beriman kepada segala yang diberitakan oleh nash-nash shahih tentang dasar-dasar agama (ushûluddîn), perkara ghaib, dan beriman kepada apa yang telah menjadi konsensus (ijma’) as-Salaf ash-Shalih dan berserah diri kepada Allah di dalam mematuhi hukum, perintah, taqdir dan syari’at-Nya serta berserah diri kepada Rasul-Nya dengan merealisasikan kepatuhan, bertahkim (berhukum) dan ber-ittiba’(mengikuti) kepadanya.
Objek kajian ilmu Aqidah:
Aqidah dilihat dari sudut sebagai ilmu, sesuai dengan konsep Ahlus Sunnah wal Jama’ah, meliputi topik-topik: Tauhid [2], iman, Islam, masalah ghaibiyat (hal-hal ghaib), kenabian, taqdir, berita-berita (tentang hal-hal yang telah lalu dan yang akan datang. pent), dasar-dasar hukum yang qath’i (pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan; dan termasuk pula sanggahan terhadap Ahlul Ahwa’ wal Bida’, semua aliran dan sekte yang menyempal lagi menyesatkan serta sikap terhadap mereka.
Disiplin ilmu Aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dan non Ahlus Sunnah. Di antara nama-namanya menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:
1. ‘Aqidah (I’tiqad dan ‘Aqa’id). Maka sering kita dengar ungkapan: Aqidah kaum salaf, Aqidah Ahlul Atsar. [3]
2. Tauhid [4] karena pembahasannya berkisar seputar tauhid atau pengesaan Allah di dalam Uluhiyah, Rububiyah dan Asma’ serta Sifat-Nya. Jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu aqidah yang paling mulia dan merupakan esensinya. Maka dari itulah ilmu ini disebut ilmu Tauhid menurut salaf.
3. As-Sunnah, [5] as-Sunnah artinya jalan. Aqidah Salaf disebut As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya di dalam masalah aqidah.
4. Ushuluddin [6] dan Ushuluddiyanah. Ushul artinya rukun-rukun Iman, rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta hal-hal yang telah menjadi kesepakatan para tokoh ulama.
5. Al-Fiqh al-Akbar. [7] Ini sinonim Ushuluddin, kebalikan dari al-Fiqh al-Ashghar yang merupakan kumpulan hukum ijtihadi.
6. Asy-Syari’ah. [8] Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan petunjuk, terutama yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah aqidah).
Itulah beberapa nama lain dari Ilmu Aqidah yang paling terkenal, dan adakalanya kelompok selain Ahlus sunnah menamakan aqidah mereka dengan nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asya’irah (Asy’ariyyah), terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.
Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh aliran/ sekte selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari Ilmu Aqidah, yang paling terkenal di antaranya adalah:
1. Ilmu Kalam. Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mutakallimin, seperti aliran Mu’tazilah, Asya’irah [9] dan kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu kalam itu sendiri merupakan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu, dan juga karena bertentangan dengan metodologi ulama salaf di dalam menetapkan masalah-masalah aqidah.
2. Filsafat: Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai di dalam aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.
3. Tashawwuf: Istilah ini dipakai oleh sebahagian kaum sufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini juga merupakan penamaan yang baru lagi diada-adakan karena igauan kaum sufi, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka dijadikan sebagai rujukan di dalam aqidah.
4. Ilahiyyat (Teologi): Nama yang dipakai oleh mutakallimin, para filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan penamaan yang salah, karena yang mereka maksud adalah filsafat kaum filosof dan penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang Allah Subhanahu wa ta'ala menurut persepsi mereka.
5. Kekuatan di balik alam Metafisika. Sebutan ini dipakai oleh para filosof dan para penulis Barat serta mereka yang sejalan dengannya. [10] Nama ini hampir mempunyai kesamaan dengan istilah Ilahiyyat (teologi).
Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai ’aqa’id sekalipun hal itu palsu (batil) atau tidak mempunyai dasar dalil aqli maupun naqli. Sesungguhnya aqidah itu mempunyai pengertian yang benar yaitu aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits-hadits shahih serta Ijma’ generasi salaf ash-shalih. Meskipun demikian, Aqidah juga mempunyai pengertian yang keliru, yaitu seperti keyakinan-keyakinan yang bertentangan atau menyalahi keyakinan yang datang dari Allah Subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya. Jadi, pengertian aqidah itu seperti pengertian ad-dien (agama). Ad-Dien al-haq (agama yang haq) yaitu agama Allah disebut dengan dien (agama), dan begitu pula keyakinan kaum musyrikin pada agama selain agama Allah disebut dien (agama), sebagaimana firman Allah :
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Bagimu agamamu dan bagi kami agama kami”. (al-Kafirun :6).
Orang Komunis menganut ideologi dan keyakinan batil, dan ia menyebutnya aqidah dan agama.
Seorang Budhis menganut keyakinan batil, dan ia menyebutnya aqidah dan agama.
Seorang Yahudi menganut keyakinan dan pemikiran batil, dan ia menyebutnya sebagai aqidah dan agama.
Seorang Nasrani menganut keyakinan dan aqidah batilnya, dan ia menyebutnya sebagai aqidah dan agama.
Adapun aqidah Islam, apabila disebutkan, maka yang dimaksud adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sebab ia adalah Islam yang telah Allah ridhai sebagai agama bagi hamba-hamba-Nya.
Klaim sebagian orang dan berbagai sekte (firaq) dengan segala ‘aqidahnya yang bertentangan dengan aqidah kaum salaf bahwa apa yang mereka anut itulah Islam yang sebenarnya tidak bisa mewakili aqidah Islam yang haq. Ia hanyalah keyakinan-keyakinan yang disandarkan kepada para pelopornya, sedangkan al-Haq sangat bersih dan terbebas darinya. Dan apa yang oleh sebahagian para pakar disebut “islami” hanyalah dalam rangka label geografis historis atau sekedar klaim berafiliasi belaka. Dalam artian, bahwa para pemilik dan penganutnya mengklaim sebagai “Islam” dan menyebutnya “Islami”, namun semua itu bila diteliti kembali memerlukan ujian, dan ujiannya adalah disodorkan kepada al-Qur’an dan hadits di dalam masalah Aqidah. Maka apabila sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits dan memang bersumber dari situ, maka itulah yang haq dan termasuk dari bagian Aqidah Islam. Dan jika tidak demikian, maka dikembalikan kepada orangnya dan dinisbatkan kepadanya (tidak boleh dinisbatkan kepada Islam, Pent).
Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah
As-Sunnah menurut bahasa berarti jalan dan perikehidupan. [11]
As-Sunnah menurut makna istilahnya adalah jalan dan petunjuk yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya, baik berupa ilmu, aqidah, ucapan maupun perbuatan. Itulah Sunnah yang wajib dipatuhi, orang yang mengamalkannya terpuji dan orang yang menyalahinya dicela. [12]
As-Sunnah juga kadang bermakna cara-cara ibadah dan cara-cara berkeyakinan, dan juga bermakna kebalikan dari al-bid’ah. [13]
Al-Jama’ah secara bahasa berasal dari kata al-ijtima’ yang berarti perkumpulan, lawan dari perpecahan. Jama’ah adalah kaum yang berkumpul (bersepakat) atas suatu perkara). [14]
Al-Jama’ah dalam makna istilahnya adalah salaful ummah (Generasi Islam yang pertama). Mereka adalah para shahabat Nabi, para tabi’in dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik hingga hari kiamat. Mereka adalah orang-orang yang bersepakat kepada al-Qur’an dan al-Sunnah (Hadits) serta kepada para imam (pemimpin) mereka, mereka menempuh jalan agama yang ditempuh oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, para shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (at-Tabi’in). [15]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, yaitu orang-orang yang bersepakat kepadanya. Mereka secara urut adalah para shahabat, para tabi’in dan para tokoh dan pemimpin agama yang mengikuti jejak mereka dengan baik serta orang yang menempuh jalan hidup keberagamaan mereka, baik di dalam masalah aqidah, ucapan maupun amal hingga hari kiamat kelak. [16] Mereka adalah orang-orang yang teguh istiqamah ber-ittiba’ (mengikuti cara kaum salaf beragama) dan selalu menghindari bid’ah di mana dan kapan saja. Mereka akan selalu ada, tampak dan mendapat pertolongan (dari Allah) hingga hari kiamat kelak.
Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu adalah orang-orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah di dalam beragama.
Jama’ah di sini tidak bermakna sekelompok manusia dan seluruh orang awamnya, dan tidak pula bermakna mayoritas kaum muslimin [17] selagi mereka tidak berkumpul dan bersepakat kepada al-haq (aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah). Sebab Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menyebutkan bahwa golongan yang tertolong (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) itu hanya satu golongan dari 73 tiga golongan yang ada, sebagaimana disebutkan di dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
تَفْتَرِقُ الْيَهُوْدُ عَلىَ إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً أَوِ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَالنَّصَارَى مِثْلُ ذَلِكَ، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً.
“Kaum Yahudi telah pecah belah menjadi 71 golongan atau 72 golongan, dan kaum Nasrani seperti itu juga dan umatku akan pecah menjadi 73 golongan.” [18]
Ahlus Sunnah juga kadang dinamai dengan namanya atau sifatnya yang lain yang berdasarkan kepada hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam atau dengan nama yang diberikan oleh para imam panutan Ahlus Sunnah. Kadang hanya disebut “Ahlus Sunnah” saja tanpa dibumbui “wal jama’ah”, dan ada kalanya disebut “al-Jama’ah” saja sebagai implementasi dari ungkapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana di dalam hadits yang diriwayatkan dari sumber Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ هَذِهِ اْلأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِى النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً هِيَ الْجَمَاعَةُ.
“Sesungguhnya ummat (Islam) ini akan terpecah belah menjadi 71 golongan, semuanya di neraka kecuali satu, yaitu al-Jama’ah.” [19]
Istilah “as-Salaf ash-Shalih” juga sinonim dengan ungkapan “Ahlus Sunnah wal Jama’ah” menurut terminologi para ahli peneliti. Ahlus Sunnah juga disebut “Ahlul Atsar”, yang berarti pengikut sunnah yang berasal dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya.
Mereka juga disebut “Ahlul Hadits”, yaitu orang-orang yang mengamalkan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam baik secara teori maupun praktek. Mereka adalah orang-orang yang konsisten mengikuti petunjuknya lahir dan batin. Maka Ahlus Sunnah, secara keseluruhan dapat disebut Ahlul Hadits.
Ahlus Sunnah dan ath-Tha’ifah al-Manshurah (golongan yang selamat) disebut Ahlul Hadits itu telah menjadi hal yang lumrah dan dikenal semenjak generasi salaf, karena senafas dengan tuntutan nash dan sesuai dengan yang realitas. Hal itu sudah ditemukan secara sah dari Ibnul Mubarak, Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal, Imam al-Bukhari, Ahmad bin Sinan dan para imam lainnya. Semoga Allah meridhai mereka semua. [20]
Banyak juga para ulama yang menamainya dan menjadikannya sebagai judul karya mereka, seperti kitab: ‘Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits” karya Imam Isma’il al-Shabuni, wafat tahun 449 H.
Lihat kitab Majmu’ Dakwah Ibnu Taimiyah, juz 4, halaman 9 dan 95. Beliau menamakan Ahlus Sunnah dengan “Ahlul Hadits”.
Firqah Najiyah adalah golongan yang selamat dari api neraka karena mereka mengikuti dan patuh kepada Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam nyatakan di dalam sabdanya: “Dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 darinya di dalam neraka, dan hanya satu di surga, yaitu al-Jama’ah.” [21]
Dan demikian pula, banyak sekali para ulama salaf dan para imam Ahlus Sunnah menamai Ahlus Sunnah dengan nama “al-Firqah an-Najiyah” (golongan yang selamat). [22] Disebut juga “azh-Zhahirin ‘alal Haq” (orang-orang yang berdiri di atas kebenaran). Mereka adalah golongan yang selamat yang disebut oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam sabdanya,
لاَتَزَالُ طَائِفَةْ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاَعةُ..
“Akan tetap ada segolongan dari umatku yang teguh berdiri di atas kebenaran hingga hari kiamat”. [23]
Mereka juga kadang disebut al-Jama’ah, sebagaimana penulis kemukakan di atas, dan kadang disebut “Ahlul-jama’ah”. [24]
Al-Jama’ah adalah kelompok Ahlus Sunnah yang bersepakat dan berkumpul kepada al-haq. Al-Jama’ah berasal dari makna perkumpulan lawan perpecahan. Al-Jama’ah mengandung makna berkumpul, juga berma’na kesepakatan dan persatuan, lawan dari perselisihan. Ahlus Sunnah itu mempunyai kriteria kesepakatan atas ushuluddin dan berijma’ kepadanya. Mereka juga bersatu dan bersepakat atas para imam atau ulama dan para waliyul amri.
Mereka juga disebut “Ahlul Ittiba’” karena cara mereka di dalam beragama adalah konsisten mengikuti sunnah Nabi secara lahir dan batin, dan mengikuti jejak as-sabiqun al-awwalun (generasi pertama) dari kaum Muhajir dan kaum Anshar. Mereka mengikuti wasiat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika beliau bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin sepeninggalku. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi gerahammu (pertahankanlah). Dan jauhilah perkara-perkara baru (dalam dien), karena setiap bid’ah itu kesesatan...”. [25]
Catatan Kaki :
[1] Lisanul ‘Arab (‘aqd) vol.3 hal. 295-300.
[2] Mencakup Tauhid Rububiyah, Ilahiyah dan asma’ wash shifat.
[3] Seperti : ‘Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, karya Ash-Shabuni (wafat 449 H), dan Syarah Ushuli I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karya al-Lalaka’i (wafat 418H), dan al-I’tiqad, karya al-Baihaqi (wafat 458 H).
[4] Seperti : Kitabut Tauhid, di dalam Shahih Bukhari (wafat 256 H), Kitabut Tauhid wa Itsbat Shifatir Rabb, karya Ibnu Khuzaimah (wafat 311H), Kitab I’tiqadit Tauhid, karya Abu Abdillah Muhammad bin Khafif (wafat 371 H), Kitabut Tauhid, karya Ibnu Mandah (wafat 359) dan Kitabut Tauhid, karya Muhammad bin Abdul Wahhab.
[5] Seperti Kitabus Sunnah, karya Imam Ahmad (241 H), Kitabus Sunnah, karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat 290 H), as-Sunnah, karya al-Khallal (311 H), as-Sunnah, karya al-’Assal (wafat 349 H), as-Sunnah, karya al-Asyram (wafat 273 H), dan as-Sunnah, karya Abi Daud, (wafat 275 H).
[6] Seperti Kitab Ushuluddin, karya al-Baghdadi (wafat 429 H), asy-Syarhu wal Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, karya Ibnu Baththah (wafat 378 H), dan al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, karya al-Asy’ari (wafat 324 H).
[7] Seperti Kitab al-Fiqh al-Akbar, karya Imam Abu Hanifah (wafat 150 H).
[8] Seperti Kitab asy-Syari’ah karya al-Ajurri (wafat 360 H), dan al-Ibanah ‘an Syari’atil Firqah an-Najiyah, karya Ibnu Baththah, (wafat 378 H).
[9] Seperti Syarhul Maqashid fi ‘Ilmil Kalam, karya at-Taftazani (791 H).
[10] al-Mausu’ah al-’Arabiyah al-Muyassarah, hal. 1794.
[11] Mukhtarus Shihah (sanana), hal. 317; dan Lisanul Arab (sanana) juz 13 hal. 220-228.
[12] Al-Washiyah al-Kubra fi ‘Aqidati Ahlus sunnah wal Jama’ah, hal. 23; Syarah al-Aqidah al-Wasithiyyah, karya Muhammad Khalil Harras, hal. 16; dan Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 33.
[13] Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, karya Ibnu Taimiyyah, hal. 77.
[14] Lisanul Arab (jama’a), vol.8, hal. 53-60.
[15] Al-i’tisham, karya al-Syathibi, vol. 1, hal. 28; Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, karya Muhammad Khalil Harras, hal. 16-17; dan Syarah al-Aqidah at Thahawiyah, hal. 33.
[16] Syarah Aqidah Thahawiyah, hal. 330; dan Rasa’il fil Aqidah, karya Muhammad Al-Utsaimin, hal. 53.
[17] Kecuali generasi shahabat Nabi dan tabi’in. Sebab mereka adalah as-sawad al-a’zham (kaum mayoritas) pada saat itu yang berada di dalam al-haq, karena masa mereka berdekatan dengan masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah memberi rekomendasi terhadap mereka, sebagai generasi yang utama. Adapun generasi yang datang berikutnya tidak menjadi ukuran sekalipun jumlahnya lebih banyak. Banyak sekali hadits-hadits yang menjelaskan bahwa pada generasi berikutnya akan dipenuhi oleh berbagai keburukan dan perpecahan hingga menjadi 73 golongan, dan bahwasanya Islam itu akan kembali asing, dst.
[18] Hadits riwayat Abu Daud di dalam Kitabus Sunnah, hadits no. 4596. Ibnu Majah, bab : Iftiraqul umam, hadits no. 3991; at-Turmudzi di dalam Kitabul ‘Iman, bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, hadits no. 2640 dan ia berkomentar: Ini adalah hadits hasan shahih.
[19] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim di dalam kitab “as Sunnah” vol.1, hal. 33. Al-Albani mengatakan: “Hadits shahih karena yang sebelum dan sesudahnya” setelah beliau menyebutkan beberapa sanad lain bagi hadits di atas.
[20] Lihat Silsilatul Ahadits ash Shahihah, jilid I bagian ke tiga, hal. 134-137, hadits no. 270; dan Sunan at-Turmudzi, Kitabul Fitan, hadits no. 2229.
[21] HR. Abu Daud, bab Syarhus Sunnah, hadits no. 4597 jilid V, hal. 5 dan 6 dari sanad Mu’awiyah; dan Imam Ahmad dengan sanad shahih dari Anas bin Malik, (Musnad, 3/120). Hadits di atas mempunyai syahid (hadits lain yang menguatkan dari sisi sanad) di dalam Sunan at-Turmudzi, di dalam Kitabul Iman, hadits no. 2640; dan di dalam kitab al-Mustadrak, karya al-Hakim, kitabul Ilmi jilid I, hal. 128-19. Al-Albani menilai hadits tersebut shahih sebagaimana dimuat di dalam “Silsilah al-Al-Hadits ash-Shahihah” jilid I, hadits no. 204.
[22] Lihat Syarah al-Aqidah al-Wasithiyyah karya Muhammad Khalil Harras, hal. 16
[23] Hadits riwayat Muslim, at-Turmudzi, Ibnu Majah dan al-Hakim.
[24] Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, hal. 180.
[25] Hadis riwayat Ibnu Abi Ashim di dalam Kitabus Sunnah, jilid I, hal.19-29 hadits no. 31, 54 dan dinilai shahih oleh Al-Albani. Semua perawinya tsiqat, hadits ini diriwayatkan juga di dalam kitab-kitab as-sunnah dan musnad. Lihat pula Syarah al-Aqidah al-Wasithiyyah, karya Muhammad Khalil Harras, hal. 179-180



1. Sejarah Aqidah Tauhid dan Kapan Mulai Terjadi Penyimpangan
Aqidah Tauhid itu adalah ad-Dien al-Hanif (agama yang suci), agama yang lurus, agama fitrah yang telah difitrahkan Allah kepada manusia. Agama Tauhid ini ada bersama dengan adanya manusia itu sendiri, sebagaimana ditegaskan oleh dalil yang pasti (qath’i), yaitu al-Qur’an al-Karim yang merupakan sumber sejarah yang paling otentik dan paling valid. Allah berfirman,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Ar-Rum: 30)
Nabi Adam ‘alaihis salam itu telah difitrahi aqidah yang lurus dan Allah telah mengajarkan kepadanya hal-hal yang tidak ia ketahui tentang urusan agama dan dunia. Maka Nabi adam ‘alaihis salam adalah seorang yang bertauhid, mengesakan Allah Subhanahu wa ta'ala. Dengan tauhid yang murni, seraya meyakini bagi Allah apa yang wajib bagi-Nya, seperti kewajiban mengagungkan dan mematuhi-Nya, berharap dan takut kepada-Nya. Allah telah memilihnya dari segenap hamba-hamba-Nya yang tulus. Allah berfirman,
إِنَّ اللهَ اصْطَفَى ءَادَمَ وَنُوحًا وَءَالَ إِبْرَاهِيمَ وَءَالَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing).” (Ali ‘Imran: 33)
Dengan hal itu, Allah memuliakannya dan memerintahkan para malaikat sujud kepadanya, sebagaimana firman-Nya:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لأَدَمَ
“Dan ingatlah, ketika Kami berkata kepada malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam”. (al-Baqarah: 34)
Dan Allah Subhanahu wa ta'ala telah mengambil janji dan sumpah setia dari anak-cucu Nabi Adam (manusia) bahwa Allah adalah Rabb (Tuhan) mereka, dan Allah telah mempersaksikannya terhadap diri mereka semenjak awal ciptaan mereka ketika mereka masih berada di dalam tulang sulbi (rusuk) bapak-bapak mereka. Allah berfirman,
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ {172} أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَةً مِّن بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنًا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ
“Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan ketu-runan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukan Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
“Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan mem-binasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu”.
(al-A’raf:172-173)
Semua manusia dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan fitrah (bertauhid) dan ia akan tumbuh dalam keadaan seperti itu selagi tidak ada hal-hal yang memalingkan dan menyesatkannya, seperti terdidik atas kekufuran dan kesesatan, membuntut kepada hawa nafsu dan rayuan setan, syubhat orang zhalim dan syahwat serta kecintaan pada dunia. Sebuah hadits qudsi menjelaskan :
وَأَنِّيْ خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ، وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوْا بِيْ مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا.
“Aku (Allah) telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan bertauhid seluruhnya, namun mereka didatangi syetan, lalu menyeret mereka dari agama yang mereka anut. Syetan pun mengharamkan bagi mereka apa yang Aku halalkan bagi mereka dan syetan memerintah mereka agar mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak pernah Aku berikan pembenaran...”[1]
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memberitakan tentang hal itu, seraya bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يَهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهَ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.
“Tiadalah seorang bayi yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah (bertauhid). Maka kedua ibu-bapak-nyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” [2]
Terhadap hal ini Allah Subhanahu wa ta'ala mengisyaratkan dengan firman-Nya:
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan”. (al-Baqarah: 213)
Maksudnya: Manusia pada awalnya berada di atas al-haq dan petunjuk sebagai satu ummat yang menganut satu agama, namun kemudian mereka berselisih. Demikianlah kebanyakan ulama salaf menafsirkan ayat di atas. [3]
Kemudian, pada masa Nabi Nuh ‘alaihis salam tersebarlah kesyirikan (penyekutuan terhadap Allah-pen.) di tengah-tengah masyarakatnya. Mereka menyembah berhala. Maka dari itu Allah berfirman tentang Nabi Nuh:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُّبِينٌ {25} أَن لاَّتَعْبُدُوا إِلاَّاللهَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah”. (Hud: 25-26)
Dengan demikian sangat jelas sekali bahwa sesungguhnya aqidah yang lurus dan tauhid yang murni itu merupakan dasar di dalam sejarah manusia. Kesyirikan, kesesatan dan penyembahan terhadap berhala itu adalah merupakan hal yang baru datang kemudian, setelah beberapa abad sesudah Nabi Adam ‘alaihis salam* Wallahu a’lam.

2. Aqidah Tauhid di Dalam Misi Dakwah Para Rasul Secara Umum
Jika kita cermati kisah-kisah (da’wah) para rasul yang diceritakan di dalam al-Qur’an dan apa yang terjadi bagi mereka bersama umatnya, kita akan dapatkan bahwasanya mereka semuanya menyeru umatnya pada satu seruan, yaitu menyeru mereka untuk menyembah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dan menyeru mereka agar menjauh dari kesyirikan (penyekutuan terhadap Allah) sekalipun syari’at mereka berbeda-beda. [4]
Bahkan, masalah da’wah atau menyeru kepada tauhid dan mengajak untuk menghindari kesyirikan dengan segala sarananya itu adalah merupakan problem pertama yang diberitakan di dalam al-Qur’an antara para utusan Allah dengan umatnya. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman seraya memberitakan apa yang diserukan oleh para rasul:
وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya Tidak ada tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (al-Anbiya’: 25)
Firman Allah:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ [r/]
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. (an-Nahl: 36)
Firman-Nya juga:
يُنَزِّلُ الْمَلاَئِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنذِرُوا أَنَّهُ لآإِلَهَ إِلآأَنَا فَاتَّقُونِ
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku”. (an-Nahl: 2)
Jadi, seruan dan da’wah yang paling awal yang dilakukan oleh semua Rasul itu adalah da’wah kepada tauhid, yaitu hanya beribadah kepada Allah semata, bertaqwa dan ta’at kepada-Nya serta patuh kepada Rasul-Nya. Selain Allah menjelaskan hal itu secara general (umum) juga Allah memberitakan tentang sebahagian mereka secara rinci, seperti berita tentang Nabi Nuh yang berkata kepada kaumnya, seraya berfirman:
يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلاَهٍ غَيْرُهُ
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain Dia”. (al-A’raf: 59)
Tentang Nabi Hud di kala berkata kepada kaumnya, seraya berfirman:
يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain Dia”. (al-A’raf: 65)
Tentang Nabi Shalih ketika ia berkata kepada kaumnya, seraya berfirman:
يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلاَهٍ غَيْرُهُ
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain Dia”. (al-A’raf: 73)
Begitu pula tentang Nabi Syu’aib yang berkata kepada kaumnya, seraya berfirman:
يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلاَهٍ غَيْرُهُ
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain Dia”. (al-A’raf: 85)
Tentang Nabi Ibrahim yang berkata kepada kaumnya, seraya berfirman:
اعْبُدُوا اللهَ وَاتَّقُوهُ
“Sembahlah Allah dan bertaqwalah kepada-Nya”. (al-Ankabut:16)
Seruan atau berda’wah kepada tauhid, memperingatkan akan bahaya kesyirikan dan seruan kepada perbaikan aqidah adalah merupakan fundamen asasi di dalam dakwah para rasul, mulai dari utusan Allah yang pertama, yaitu Nabi Nuh ‘alaihis salam sampai nabi terakhir, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Inilah misi utama yang dengannya segala urusan dunia dan agama akan menjadi baik. Maka apabila aqidah manusia benar dan lurus, niscaya mereka tunduk hanya kepada Allah semata, ta’at kepada Rasul-Nya dan istiqamah di dalam menjalankan syari’at-Nya berdasarkan petunjuk dan ilmu yang jelas. Maka dengan begitu segala urusan agama dan dunia mereka menjadi baik dan lurus.
Tetapi bukan berarti bahwa para Rasul Allah itu tidak memperhatikan perbaikan pada sendi-sendi lain yang rusak, dan tidak juga bermakna bahwa mereka tidak mengajak kepada keutamaan-keutamaan yang lain. Mereka juga telah datang dengan mengajarkan ajaran-ajaran dan syari’at dari Allah yang harus dijadikan pedoman oleh umat manusia, ajaran dan syari’at yang dapat memperbaiki segala urusan kehidupan dunia mereka. Mereka juga mengajak kepada yang ma’ruf, menyerukan perdamaian dan keadilan, dan mencegah kemunkaran, perbuatan merusak dan kezhaliman. Mereka memerintahkan kepada setiap kebaikan dan keutamaan dan melarang setiap kejahatan, keburukan dan kekejian, baik secara rinci maupun global.
Namun, keutamaan yang paling agung adalah tauhid, mengesakan Allah Subhanahu wa ta'ala dan bertaqwa kepada-Nya, dan kerusakan yang paling besar adalah berbuat syirik terhadap Allah. Dan kesyirikan itulah kezhaliman yang paling besar. Maka dari itu masalah ini menjadi misi paling utama yang diemban oleh para Rasul.
Demikianlah, maka setiap dakwah yang tidak berdiri di atas dasar ini (aqidah tauhid), kapan dan di mana saja, maka sesungguhnya dakwah itu adalah dakwah yang lemah lagi kurang dan dikhawatirkan nasibnya dikemudian hari adalah kegagalan atau penyimpangan dari jalan yang lurus, atau bahkan kedua-duanya. Sebab Aqidah Tauhid merupakan dasar yang paling pokok dari dasar-dasar agama, yang apabila diabaikan oleh umat manusia, maka niscaya mereka terperosok ke dalam lembah bencana syirik dan bid’ah. Kita memohon kepada Allah semoga Dia mengaruniakan keselamatan kepada kita semua dari hal itu.

3. Aqidah TAuhid di Dalam Dakwah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam
Apabila kita renungkan al-Qur’anul Karim dan sejarah perjalanan hidup Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam berdakwah, niscaya kita akan sampai pada suatu kenyataan yang sangat jelas sekali, yaitu:
·         Kebanyakan ayat-ayat al-Qur’anul Karim itu membicarakan dan memantapkan aqidah tauhid, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, tauhid asma’ wa sifat, dan dakwah kepada kemurnian dan ketulusan beribadah dan tunduk hanya kepada Allah shallallahu 'alaihi wasallam semata, tiada sekutu bagi-Nya serta pemantapan dasar-dasar aqidah dan keyakinan (iman dan Islam).
·         Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam setelah diutus menjadi rasul menghabiskan kebanyakan waktunya untuk memantapkan keyakinan dan aqidah serta berdakwah menyeru kaumnya untuk beribadah dan tunduk hanya kepada Allah Subhanahu wa ta'ala semata. Dan ini merupakan konsekuensi dari La Ilaha Illallah, Muhammad Rasulullah.
Jadi, seruan kepada Aqidah, baik dalam rangka pengukuhan (ta’shil) maupun dalam rangka meluruskan itu mencakup bagian yang paling besar dari upaya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan waktunya di saat beliau menjadi nabi.
Untuk lebih jelasnya simak pembahasan berikut ini:
·         Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menghabiskan waktu selama 23 tahun untuk berda’wah kepada Allah –ini adalah masa kenabian beliau- 13 tahun darinya di Mekkah yang beliau habiskan untuk berdakwah dalam rangka merealisasikan “La ilaha illallah wa Muhammad Rasulullah”. Maksudnya berdakwah menyeru kaumnya agar bertauhid kepada Allah Subhanahu wa ta'ala hanya beribadah dan beruluhiyah kepada-Nya semata, tiada sekutu bagi-Nya dan menumpas habis kesyirikan dan penyembahan kepada berhala serta segenap perantara, serta memberantas bid’ah dan segala bentuk keyakinan dan kepercayaan yang rusak.
10 tahun di antaranya beliau habiskan di Madinah. Masa ini dibagi-bagi untuk menetapkan hukum-hukum syar’i, memantapkan aqidah dan iman, mengokohkannya, melindunginya dari berbagai syubhat dan berjihad fisabilillah dalam rangka menebarkan aqidah. Artinya, bahwa kebanyakan masa 10 tahun itu digunakan untuk mengukuhkan aqidah tauhid dan dasar-dasar agama (ushuluddin), yang di antaranya adalah berdebat dengan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), menjelaskan kepalsuan aqidah mereka, membabat syubhat-syubhat mereka dan syubhat-syubhat kaum musyrikin, membendung tipu daya mereka dari Islam dan kaum muslimin. Semua itu dalam rangka menjaga dan memelihara Aqidah. Maka dakwah apapun yang tidak memberikan perhatian kepada masalah aqidah sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberikan perhatian kepadanya, baik secara teori maupun secara praktik, maka dakwah itu adalah dakwah yang pincang.
·         Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berperang adalah dalam rangka tegaknya aqidah, yaitu aqidah tauhid, agar agama (kepatuhan) hanya kepada Allah semata. Itulah Aqidah yang terekspresikan di dalam kesaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Sekalipun pada saat itu berbagai kerusakan dan keburukan mendominasi kehidupan, namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tetap menjadikan tujuan perang adalah merealisasikan tauhid dan rukun-rukun Islam. Beliau telah bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.
“Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga mereka mau bersaksi bahwa ‘tiada tuhan yang haq selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat dan menunaikan zakat’, maka jika mereka melakukan hal itu berarti mereka telah menyelamatkan darah mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, sedangkan urusan batin mereka diserahkan kepada Allah.” [5]
Itu tidak berarti bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengindahkan masalah-masalah lain, seperti berda’wah atau menyeru kepada keutamaan, budi pekerti dan akhlak mulia (seperti: berbuat kebajikan, menjalin hubungan silaturrahmi, tepat janji dan amanah) serta mengajak manusia untuk meninggalkan lawannya, berupa perbuatan dosa kecil dan dosa besar seperti riba, zina, zhalim dan memutus hubungan silaturrahmi. Sama sekali tidak berarti seperti itu. Hanya saja beliau menempatkannya dalam urutan kedua, yaitu sesudah ushul i’tiqad (dasar-dasar aqidah). Sebab beliau sebagai qudwah (teladan, anutan) sadar betul bahwasanya mana-kala manusia ini istiqamah pada dienullah, tulus ikhlas, patuh dan beribadah hanya kepada-Nya semata, niscaya niat dan amal mereka menjadi baik, mereka lakukan berbagai kebajikan, mereka tinggalkan segala bentuk larangan agama, mereka mengajak kepada kebaikan sehingga kebaikan benar-benar mendominasi kehidupan mereka dan niscaya mereka mencegah kemungkaran sehingga tidak mendominasi kehidupan mereka.
Jadi, sumber segala kebajikan dan kebaikan itu sangat tergantung kepada lurusnya Aqidah. Apabila aqidah manusia ini benar, niscaya mereka istiqamah pada al-haq dan kebaikan. Namun, manakala aqidah tidak benar, niscaya kondisi mereka rusak dan yang mendominasi kehidupan mereka adalah nafsu dan perbuatan dosa serta kemungkaran sangat mudah terjadi bagi mereka. Kepada hal ini hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengisyaratkan:
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ.[r/]
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal darah, apabila ia baik, maka baik pulalah seluruh jasad. Dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati.” [6]
Di samping Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyeru dan mengajak kepada ketulusan agama kepada Allah semata (tauhid) dan memerangi manusia agar mereka mengikrarkan Kalimat Tauhid, beliau juga mengajak kepada seluruh akhlak mulia dan budi pekerti yang luhur, secara global dan secara rinci, beliau juga melarang lawannya secara global dan secara rinci pula.
Di samping perhatian beliau kepada ishlahuddin (perbaikan agama), beliau juga berbuat untuk perbaikan dunia mereka, namun beliau lakukan dalam urutan setelah urutan perhatian kepada masalah ‘aqidah dan ketulusan beragama hanya kepada Allah semata. Ini adalah kenyataan yang banyak tidak diketahui atau sengaja dilupakan oleh orang-orang yang tidak setuju dengan masalah ini.
·         Jika kita cermati dan merenung al-Qur’anul Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sebagi rahmat dan jalan kehidupan (the way of life) bagi kaum muslimin hingga hari pembalasan kelak, niscaya kita temukan bahwa mayoritas ayat al-Qur’an itu membicarakan masalah ‘Aqidah dan penegasan akan dasar-dasarnya serta penetapan ibadah, penyembahan dan kepatuhan itu hanya kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dan mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Sesungguhnya perintah pertama yang dibawa al-Qur’an dan perintah Allah dan Rasul-Nya yang harus dilakukan adalah membesarkan dan mengagungkan Allah Subhanahu wa ta'ala semata, memberikan peringatan kepada manusia akan perbuatan syirik (menyekutukan Allah), mensucikan diri dari dosa dan maksiat dan mengasingkan diri dari kebiasaan penyembahan kepada berhala yang dilakukan oleh orang-orang kafir musyrikin serta sabar dan tabah di dalam menjalankan semua itu.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ {1} قُمْ فَأَنذِرْ {2} وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ {3} وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ {4} وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ {5} وَلاَتَمْنُن تَسْتَكْثِرُ {6} وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan. Dan Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhan-mu, bersabarlah.” (al-Muddatstsir: 1-7)
Kemudian al-Qur’an pun terus diturunkan ayat-ayatnya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sepanjang keberadaan beliau di Makkah untuk mengukuhkan dan memantapkan ‘aqidah, berdakwah kepada ketulusan ibadah dan agama hanya kepada Allah semata dan patuh mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Oleh karenanya, kita temukan kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an itu berbicara tentang aqidah, baik dengan ungkapan yang jelas maupun dengan isyarat, dimana kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an itu datang dalam rangka penetapan tauhid uluhiyah dan memurnikan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa ta'ala semata, tauhid rububiyah, asma wa shifat, dasar-dasar iman dan Islam, perkara-perkara ghaib, taqdir (baik dan buruknya), hari kemudian (kiamat), dan surga, penghuni dan kenikmatannya, neraka, penghuni dan adzab di dalamnya (janji dan ancaman). Semua dasar-dasar aqidah itu berkisar seputar hal-hal tersebut.
Para ulama telah menyebutkan bahwa al-Qur’an itu (terdiri dari): sepertiganya adalah hukum, sepertiga lagi adalah berita (akhbar) dan sepertiga yang lain adalah tauhid. [7] Ini meruapakan tafsiran mereka terhadap sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam “Qulhuwallahu ahad itu setara dengan sepertiga isi al-Qur’an.” [8]
Hal itu karena sesungguhnya surat “Qulhuwallahu ahad” itu meliputi ajaran tauhid yang teragung dan mensucikan Allah Subhanahu wa ta'ala.
Ayat-ayat yang membicarakan hokum tidak pernah lepas dari pembicaraan mengenai aqidah dan dasar-dasar agama (ushuluddin). Hal itu melalui nama-nama dan sifat-sifat Allah yang disebutkan, melalui perintah taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya dan penjelasan tentang hikmah (rahasia) di balik tasyri’ (penetapan hukum) dan lain-lainnya.
Demikian pula, ayat-ayat yang berbicara tentang berita dan kisah-kisah (sejarah) kebanyakannya di dalam rangka membicarakan iman dan aqidah. Hal itu tampak di dalam berita-berita tentang masalah-masalah yang ghaib, ancaman, hari Kiamat dan yang serupa dengannya.
Dengan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa al-Qur’anul Karim, mayoritas ayat-ayatnya membicarakan penetapan aqidah, berdakwah kepadanya, mempertahankannya dan berjihad demi aqidah.
Dan dengan demikian kita sampai pada suatu kesimpulan yang jelas, yaitu bahwa kewajiban para da’i (aktivis dakwah) yang menjadikan al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai pedomannya adalah menyadari dan mengetahui kenyataan ini dari al-Qur’an dan sunnah, lalu mereka mengamalkannya sebagaimana diamalkan oleh Rasulullah n dan para shahabatnya. Allah jualah yang memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus.
4. Sumber (Referensi) Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Aqidah itu mempunyai dua sumber rujukan (referensi), yaitu:
  • Al-Qur’anul Karim dan
  • hadits-hadits shahih Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam itu berbicara tidak berdasarkan hawa nafsu, melainkan wahyu yang diwahyukan.
Adapun Ijma’ ulama salaf juga merupakan sumber yang dasarnya adalah al-Qur’an dan Hadits. [9]
Sedangkan fitrah dan akal sehat, keduanya merupakan pendukung yang sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits. Keduanya (fitrah dan akal) mengetahui dasar-dasar aqidah secara global saja, tidak secara rinci. Maka akal dan fitrah, keduanya mengetahui wujud Allah, keagungan-Nya, keharusan taat dan beribadah hanya kepada-Nya, Allah bersifat Agung lagi Mulia, namun secara global.
Sebagaimana halnya pula, akal sehat dan fitrah yang suci mengetahui keharusan adanya kenabian dan pengutusan para rasul dan keharusan adanya kebangkitan dan pembalasan terhadap amal perbuatan (di hari Kiamat) secara global, tidak secara rinci.
Akan tetapi, semua itu dan semua perkara-perkara ghaib, tidak ada jalan untuk mengetahuinya sedikitpun darinya secara rinci kecuali melalui jalan al-Qur’an dan Hadits (wahyu), sebab jika tidak, maka ia tidak disebut sebagai hal yang ghaib.
Bertolak belakangnya nash sharih (yang jelas) dari al-Qur’an atau Hadits dengan akal sehat itu sama sekali tidak mungkin terjadi dan mustahil. Apabila ada rasa seolah-olah itu ada, maka wahyu atau nash harus diutama-kan dan dijadikan patokan, karena nash itu datang atau bersumber dari orang yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan), yaitu Nabi Muhammad n, sedangkan akal tidak mempunyai jaminan terpelihara dari kesalahan. Akal hanyalah merupakan pandangan manusia yang lemah (tidak sempurna) [10], manusia sangat mudah keliru, salah, lupa, mengikuti nafsu, bodoh dan lemah. Jadi, manusia itu sudah secara pasti merupakan makhluk yang lemah dan tidak sempurna.5. Beberapa Karakteristik Aqidah Islam dan Penganutnya
Sesungguhnya orang yang mau berfikir obyektif, jika ia melakukan perbandingan antara berbagai keyakinan yang ada di antara umat manusia saat ini, niscaya ia menemukan beberapa karakter dan ciri-ciri bagi aqidah Ahlus Sunnah, yang membedakannya dan membedakan para penganutnya dengan jelas dari keyakinan-keyakinan agama-agama, sekte atau aliran-aliran keagamaan lainnya. Karakter dan ciri-ciri itu diantaranya:
·         Keotentikan sumbernya. Hal itu karena Aqidah Ahlus Sunnah bersandarkan kepada al-Qur’an, Hadits dan ijma’ para ulama salaf serta penjelasan dari mereka saja.
Ciri ini tidak terdapat pada aliran-aliran mutakallimin, ahli bid’ah dan kaum sufi yang selalu bersandar kepada akal dan pemikiran atau kepada kasyaf, ilham, wujd dan sumber-sumber lain yang berasal dari manusia yang lemah yang mereka jadikan sebagai patokan atau sandaran di dalam masalah-masalah yang ghaib. Padahal aqidah itu semuanya ghaib.
Sedangkan Ahlus Sunnah selalu berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ijma’ kaum salaf shalih dan penjelasan-penjelasan dari mereka. Jadi, aqidah apa saja yang bersumber dari selain al-Qur’an, hadits, ijma’ salaf dan penjelasan mereka itu maka ia adalah kesesatan dan kebid’ahan.
Orang-orang yang mengklaim bahwasanya mereka merujuk suatu ajaran agama berdasarkan akal dan fikiran atau berdasarkan ilmu kalam dan falsafat atau ilham, kasyaf dan wujd, atau mimpi dan khayalan, atau melalui orang-orang yang dianggap ma’shum (selain nabi) atau beranggapan menguasai ilmu ghaib (dari kalangan tokoh, pemimpin, wali qutub, ghauts dll.) atau mereka beranggapan bahwa boleh bagi mereka mempraktekkan hukum buatan manusia dan undang-undang yang mereka buat. Maka siapa saja yang beranggapan seperti itu, sesungguhnya ia telah melakukan kedustaan yang sangat besar terhadap Allah Subhanahu wa ta'ala. Maka kami katakan kepada orang yang beranggapan (baca: berkeyakinan) seperti itu sebagaimana yang difirmankan Allah shallallahu 'alaihi wasallam kepada orang yang berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu:“Katakanlah: Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (al-Baqarah: 111)
[Bagaimana mungkin ia dapat memberikan argumentasi selain syubhat-syubhat syetan.
Karakter dari ciri ini, yakni bersandar kepada al-Qur’an, Hadits dan metode salaf shalih adalah merupakan salah satu kekhasan Ahlus Sunnah. Nyaris tidak ada perselisihan di kalangan mereka kapan dan di manapun juga. Segala puji hanya milik Allah.
·         Berpegang teguh kepada prinsip berserah diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dan kepada Rasul-Nya. Sebab, Aqidah adalah masalah ghaib, dan hal yang ghaib itu hanya tegak dan bersandar kepada kepasrahan (taslim) dan keyakinan sepenuhnya (mutlak) kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya. (Maksudnya, apa yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya diterima dan diyakini sepenuhnya, pen.). Taslim merupakan ciri dan sifat kaum beriman yang karenanya mereka dipuji oleh Allah, seraya berfirman:“Alif Lam Mim, Kitab al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib.” (al-Baqarah: 1-2)
Perkara ghaib itu tidak dapat diketahui atau dijangkau oleh akal, maka dari itu Ahlus Sunnah membatasi diri di dalam masalah aqidah kepada berita dan wahyu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sangat berbeda dengan para Ahli bid’ah dan Ahli Kalam (mutakallimin). Mereka menyelami masalah yang ghaib itu dengan berbagai dugaan. Tidak mungkin mereka akan mengetahui masalah-masalah ghaib. Mereka tidak melapangkan akal mereka [11] dengan taslim, berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak pula menyelamatkan aqidah mereka dengan ittiba’ dan mereka tidak membiarkan awam kaum muslimin berada pada fitrah yang telah Allah fitrahkan kepada mereka.
·         Sejalan dengan fitrah yang suci dan akal yang sehat. Hal itu karena aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah berdiri di atas prinsip ittiba (mengikuti), Iqtida’ (meneladani) dan berpedoman kepada petunjuk Allah Subhanahu wa ta'ala, bimbingan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan aqidah generasi terdahulu (salaful ummah). Aqidah Ahlus sunnah bersumber dari sumber fitrah yang suci dan akal yang sehat itu sendiri serta pedoman yang lurus. Betapa sejuknya sumber rujukan ini.
Sedangkan aqidah dan keyakinan golongan yang lain itu hanya khayalan dan dugaan-dugaan yang mem-butakan fitrah dan membingungkan akal belaka.
·         Matarantai sanadnya sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, para shahabatnya dan para tabi’in serta para tokoh pemuka agama. Tidak ada –alhamdulillah- satu dasar pun dari dasar-dasar aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang tidak mempunyai dasar atau sanad atas qudwah dari para shahabat nabi, tabi’in dan tokoh pemuka (imam-imam) agama hingga hari Kiamat. Ini sangat berbeda dengan aqidah kaum mubtadi’ah (ahli bid’ah) yang menyalahi kaum salaf di dalam beraqidah. Aqidah mereka adalah merupakan hal yang baru (bid’ah) tidak mempunyai sandaran dari al-Qur’an dan Hadits/Sunnah, ataupun dari para shahabat Nabi dan ulama tabi’in. Oleh karena seperti itu adanya maka ia merupakan bid’ah, dan setiap bid’ah itu kesesatan. [12]
·         Jelas dan gamblang. Aqidah Ahlus Sunnah mempunyai kekhasan, yaitu gamblang dan jelas, bebas dari kontradiksi, ketidakjelasan, falsafat dan kerumitan kata dan maknanya, karena aqidah Ahlus Sunnah bersumber dari firman Allah yang sangat jelas yang tidak datang kepadanya kebatilan (kepalsuan) baik dari depan maupun dari belakangnya, dan (bersumber) dari sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu. Sedangkan aqidah-aqidah dan keyakinan-keyakinan (golongan, kelompok) yang lain itu berasal dari ramuan yang dibuat oleh manusia atau ta’wil dan tahrif mereka (terhadap teks-teks syar’i). Sungguh sangat jauh perbedaan antara dua sumber itu, apalagi (jika dilihat dari kaidah) bahwa aqidah itu tauqifi (sangat terbatas pada nash) dan bersifat ghaib, tidak ada pintu bagi ijtihad sebagaimana yang telah dimaklumi.
·         Bebas dari kerancuan, kontradiksi dan kesamaran: Aqidah Islam yang murni itu tidak ada kerancuan padanya, tidak pula kontradiksi dan kesamaran. Hal itu karena ia ber-sumber dari wahyu, kekuatan hubungan para penganutnya dengan Allah, realisasi ubudiyah (penghambaan) hanya kepada-Nya semata, penuh tawakkal kepada-Nya semata, kekokohan keyakinan mereka terhadap kebenaran (al-haq) yang mereka miliki dan keterbebasan mereka dari kebingungan, kecemasan, keraguan dan syubhat di dalam beragama. Berbeda halnya dengan para ahli bid’ah, tujuan dan sasaran mereka tidak pernah lepas dari salah satu penyakit tersebut.
Sebagai contoh yang sangat jelas sekali adalah keraguan, kegoncangan dan penyesalan yang terjadi pada para tokoh terkemuka mutakallimin (Ahlul Kalam), tokoh filosof dan para tokoh sufi sebagai akibat dari sikap mereka menjauhi aqidah salaf; dan kembalinya kebanyakan mereka kepada taslim dan pengakuan terhadap Aqidah kaum salaf, terutama ketika usia mere-ka makin senja atau ketika mereka akan menghadapi maut (kematian), sebagaimana terjadi pada Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Beliau telah merujuk (kembali) kepada Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (aqidah salaf) sebagaimana dinyatakan di dalam karya monumentalnya “al-Ibanah ‘an Ushuliddiyanah” setelah sebelumnya menganut aqidah mu’tazilah, kemudian talfiq (paduan antara aqidah mu’tazilah dan aqidah salaf, pen.). Juga Imam al-Baqilani, wafat tahun 403 H, sebagaimana di-nyatakan di dalam kitab “at-Tamhid”, Abu Muhammad al-Juwaini, wafat tahun 438 H. (ayah imam al-Haramain) sebagaimana dinyatakan di dalam kitab “Risalatul Istiwa’ wal Fauqiyyah” dan Imam al-Haramain (sendiri), wafat tahun 478 H, sebagaiman dinyatakan di dalam kitabnya: “ar-Risalah an-Nizhamiyyah. Juga seperti Imam asy-Syihristani, wafat tahun 548 H, sebagaimana dinya-takan di dalam kitab “Nihayatul Iqdam”, dan Imam al-Fakhrurrazi, wafat tahun 606 H, sebagaimana dinyatakan di dalam kitab “Aqsamul Ladzdzat”, dan banyak lagi tokoh terkemuka lainnya. [13]
Secara umum, para penganut Aqidah Ahlus Sun-nah wal Jama’ah selamat dari ketidakjelasan terhadap masalah bid’ah, kesyirikan dan dosa-dosa besar. Ahlus Sunnah secara umun merupakan kelompok yang paling selamat, tidak terjerumus ke dalam lembah bid’ah, dan tidak terjadi kemusyrikan (penyekutuan terhadap Allah) pada mereka. Adapun dosa-dosa kecil, perbuatan mak-siat ataupun dosa besar adakalanya sebahagian dari mereka jatuh di dalamnya, namun kuantitasnya lebih sedikit dibandingkan dengan madzhab lainnya. Sedangkan selain Ahlus Sunnah tidak ada yang selamat dari salah satu virus bid’ah-bid’ah dan kesyirikan, sebagai-mana kemaksiatan dan dosa-dosa besar secara umum lebih banyak terjadi pada kalangan Ahlul Iftiraq (Ahlul Bid’ah).
Kaum mutakallimin dari kalangan Mu’tazilah dan tidak sedikit pula dari madzhab Asya’irah (Asy’ariyah) dan lainnya yang berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu, mereka menyelami masalah yang ghaib tanpa didasari ilmu. Kaum sufi, kaum pencinta kuburan dan seluruh ahli bid’ah menyembah Allah Subhanahu wa ta'ala tidak berdasarkan syari’at yang telah Allah tetapkan. Rafidhah (Syi’ah), kelompok kebatinan dan yang serupa dengan mereka telah berbuat dusta dengan mengatasnamakan Allah Subhanahu wa ta'ala dan mereka mengada-ada atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sehingga kedustaan bagi mereka menjadi ajaran agama yang harus dipatuhi. Kaum Khawarij pun demikian, mereka ekstrim di dalam memahami agama, maka Allah mempersulit mereka.
·         Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah merupakan faktor utama bagi kemenangan dan kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat. Di antara ciri khas Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang paling menonjol adalah:
Bahwa Aqidah Ahlus Sunnnah merupakan faktor utama bagi terealisasinya kesuksesan, kemenangan dan keteguhan bagi siapa saja yang menganutnya dan menyerukannya kepada umat manusia dengan penuh ketulusan, kesungguhan dan kesabaran. Golongan yang berpegang teguh kepada aqidah ini, Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan yang menang lagi diberi pertolongan, golongan yang tidak terbahayakan oleh siapa saja yang tidak menghiraukan ataupun memusuhinya hingga hari Kiamat kelak, sebagaimana diberitakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melalui sabdanya:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ.
“Akan tetap ada segolongan dari umatku yang berdiri di atas al-haq (kebenaran), tidak akan membahayakan mereka siapa yang tidak menghiraukannya hingga perintah Allah tiba (hari Kiamat) dan mereka pun tetap seperti itu.” [14]
·         Ia merupakan Aqidah al-Jama’ah dan kesatuan: Hal itu, karena aqidah ini merupakan jalan yang paling agung (efektif) untuk menyatukan kekuatan kaum muslimin, kesatuan barisan mereka dan untuk memperbaiki apa-apa yang rusak dari urusan agama dan dunia mereka. Sebab, aqidah Ahlus Sunnah (mampu) mengembalikan mereka kepada al-Qur’an, Sunnah (hadits) dan sabilil mu’minin (jalan kaum muslimin). Ciri khas ini selama-lamanya tidak mungkin terealisasi pada suatu golongan mana pun, atau lembaga dakwah apapun atau organisasi apapun yang tidak menganut Aqidah ini. Sejarah adalah saksi bagi kenyataan ini! Hanya negara-negara yang berpegang teguh kepada sunnah (Aqidah Ahlus Sunnah, pen) sajalah yang dapat menyatukan kekuatan kaum muslimin yang berserakan, hanya dengannyalah jihad serta amar ma’ruf dan nahi munkar itu tegak, dan dengannya pula Islam menjadi mulia (berwibawa di hadapan mata asing, pen) baik dahulu maupun sekarang, baik mulai zaman para khulafa’ar-Rasyidin, kekuasaan Dinasti Umayyah, awal kekuasaan Dinasti ‘Abbasiyah, pada awal kekuasaan Dinasti Utsmaniyah, pada masa kekuasaan Shalahuddin al-Ayubi dan kekuasaan Daulah Islamiyah di Andalusia serta pada masa Kerajaan Saudi Arabia di mana Sunnah dibela, tauhid dida’wahkan, segala bentuk bid’ah dan perbuatan kesyirikan diperangi dan tanah-tanah suci disucikan darinya. Dan hingga sekarang masih dalam kondisi sedemikian –Alhamdulillah-, dan memang harus tetap seperti itu sepanjang kekuasaannya. Kebanyakan negara-negara tersebut, ketika terjadi perpecahan di dalamnya dan bid’ah merajalela, maka negara-negara itu pun rapuh dan pada akhirnya tumbang. Dan negara-negara yang tidak berdiri di atas Sunnah maka (biasanya) ia menyebarkan kekacauan, perpecahan dan bid’ah, mematikan jihad dan menyebarluaskan kemungkaran, selalu dilanda kekalahan dan diliputi kebodohan terhadap ajaran agama serta Sunnah pun lenyap. Hal itu terjadi seperti pada kekuasaan (negara) Rafidhah (Syi’ah), Bathiniyah, Qaramithah dan Sufiyah; dan juga seperti pada kekuasan Dinasti Buwaih dan Fathimiyah yang mencerai-beraikan kaum muslimin dan menyebarluaskan bid’ah dan berbagai macam perbuatan kesyirikan.
Dan ketika Mu’tazilah mempunyai kementerian dan markaz-markaz kekuasaan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah timbullah berbagai bid’ah Kalam, para pemuka Ahlus Sunnah dikepung dan dipenjara, bahkan umat secara umum dilanda fitnah dan cobaan yang sangat berat di dalam mempertahankan agama atau aqidah mereka, sampai menimpa para tokoh ulamanya.
·         Utuh, Kokoh Dan Tetap Langgeng. Di antara ciri terpenting Aqidah Ahlus Sunnah adalah utuh, kokoh langgeng dan selalu sama (tidak mengalami perbedaan). Jadi, Aqidah mereka di dalam masalah yang prinsipil (ushuluddin) utuh dan sama sepanjang masa dan (akan tetap seperti itu) hingga hari Kiamat kelak. Artinya adalah Aqidah Ahlus Sunnah itu selalu sama, utuh dan terpelihara baik secara riwayat maupun keilmuannya, kata-kata maupun maknanya. Ia diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya tanpa mengalami perubahan, tahrif, talfiq (pencampur adukan) dan kerancuan, dan tidak pernah mengalami penambahan maupun pengurangan. Sebabnya adalah karena Aqidah Ahlus Sunah bersumber langsung dari al-Qur’an yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakang, dan bersumber dari Hadits atau Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang tidak pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu. Aqidah ini telah dipelajari dan diterima oleh para shahabat nabi, kemudian oleh para tabi’in, lalu para tabi’in generasi berikutnya dan kemudian oleh para imam atau pemuka agama yang berpegang teguh kepada tuntunan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sampai sekarang, baik secara riwayat maupun secara keilmuannya dan baik secara pengajaran maupun secara tulisan.
Sebagai contoh, keyakinan Ahlus Sunnah di dalam masalah sifat Allah baik secara global maupun secara rinci masih tetap sama tidak terjadi perbedaan, begitu pula di dalam masalah Kalamullah, al-Qur’an, istiwa’ (Allah bersemayam di atas ‘Arasy), nuzul (Allah turun ke permukaan bumi di sepertiga malam terakhir), ru’yah (melihat Allah di akhirat), dan keyakinan mereka di dalam masalah taqdir (qadar), iman, syafa’at, tawassul dan lain-lainnya. Semuanya masih tetap sama sebagaimana dinukil dari salaf dan kurun ketiga pertama yang penuh berkah (al-qurun al-fadhilah). Ini adalah merupakan jaminan Allah di dalam memelihara ajaran agama-Nya.
Berbeda halnya dengan golongan dan madzhab yang lain. Katakanlah seperti madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah yang merupakan madzhab yang paling dekat kepada Ahlus Sunnah. Mereka gamang di dalam masalah-masalah yang mereka perselisihkan dengan Ulama Salaf (Aqidah salaf) disebabkan ta’wil dan bid’ah yang mereka lakukan. [15] Di dalam aqidah mereka terjadi banyak talfiq (ketidak pastian), kerancuan dan keragu-raguan serta sikap tawaquf (abstain) di dalam masalah aqidah yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, dan mereka membuat lafazh-lafazh (istilah-istilah) dan makna-makna baru yang tidak ada di dalam wahyu al-Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Catatan Kaki :
[1] Riwayat Imam Muslim di dalam Shahihnya, Kitabul Jannah wa Shifatu Na’imiha wa Ahliha, Hadits No. 2865, Vol. 3, hal. 2197.
[2] Muttafaq Alaih, Shahih Al-Bukhari, Kitab Jana’iz, bab Idza Aslama ash-Shobi (Fathulbari, juz 3, hal. 219); Shahih Muslim, Kitab al-Qadar, Vol.3, hal. 1047, hadits no. 2651.
[3] Lihat Tafsir at-Thabari, juz.2. hal.194-195, Tafsir Ibnu Katsir, vol.1. hal. 218 dan lihat pula buku “Da’watut tauhid, karya DR. Muhammad Khalil Harras, hal. 106-119.
[4] Tathhirul I’tiqad, karya ash-Shan’ani, hal. 5.
[5] Shahih Bukhari: Kitabul Iman, bab :jika mereka bertobat dan menegakkan shalat. (Fathul Bari, hadits ke 24, juz.1. hal.74, dan Shahih Muslim: Kitabul Iman, bab: perintah memerangi manusia sehingga mereka bersyahadat, Hadits. No. 22, juz.2. hal. 53. Hanya saja di dalam riwayat Muslim tidak disebutkan ungkapan “kecuali dengan hak Islam”.
[6] Hadits riwayat Bukhari di dalam Shahih-nya: Kitabul Iman, hadits no. 52. (Fathul Bari: vol.1. hal.126) dan Imam Muslim di dalam Shahih-nya: Kitabul masaqat, bab :mengambil yang halal. Hadits no. 1599. vol. 3. hal. 122.
[7] Di antara mereka yang berpendapat seperti itu adalah Ibnu Suraih, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hajar. Semoga Allah mencurahkan rahmatnya kepada mereka. Lihat kitab: Jawabu Ahlil IImi wal Iman Bitahqiqi ma Akhbara bihir Rahman min Anna “Qul Huwallahu Ahad” Ta’dilu Tsulutsal Qur’an, karya Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ Fatawa; vol. 17. hal. 13, 101 dan 103. Lihat pula : Fathul Bari, vol. 9. hal. 61.
[8] Hadits riwayat Imam Bukhari kitab Fadla-ilul Qur’an, Fathul Bari, Vol.9, hal. 61 dan Imam Muslim kitab Shalatul Musafir hadits no. 811. Dan redaksinya adalah menurut riwayat Muslim.
[9] I’tisham, karya asy-Syathibi, vol. 2, hal. 252.
[10] Lihat: Syarhul ‘Aqidah ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi, hal. 140-141, dan kitab: Dar’u Ta’arudil ‘Aqli Ma’an Naqli, karya Ibnu Taimiyah, vol. 1, hal: 88-280.
[11] Hal ini tidak boleh dipahami bahwa Islam mengekang akal, menon-aktifkan fungsinya dan menghapus bakat berfikir yang ada pada manusia, malah sebaliknya, Islam menyediakan bagi akal banyak sarana untuk mengetahui, mengamati, berfikir dan berkarya, sesuatu yang cukup untuk merangsang keinginannya terhadap ciptaan Allah, urusan kehidupan, cagar alam nan luas serta keajaiban-keajaiban jiwa yang begitu banyak. Sesungguhnya sebagaimana yang telah saya katakan bahwa Allah tidak membuat manusia tidak perlu lagi berfokus ke arah yang tidak dapat di jangkaunya dari hal-hal yang gaib, hal itu sebagai kasih sayangnya terhadap ajal yang menjaganya dari kelelahan dan keterlenaan di dalam kesenangan-kesenangan yang tidak dapat ia selami kedalamnya –Wallahu a’lam-.
[12] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah; vol.1, hal. 9.
[13] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, vol. 4, hal. 72-73; Dar’ut Ta’arudh, vol. 1, hal. 157-170; Syarah ath-Thahawiyyah, karya Ibnu Abil ‘Izzi, hal. 242-247; dan Pengantar Syu’aib al-Arna’uth terhadap kitab “Aqawiluts Tsiqat”, karya Imam Mar’i bin Yusuf al-Karami (wafat: 1033). Hal. 14-22.
[14] Diriwayatkan oleh Imam Muslim kitab “al-Imarah” dan at-Turmudzi kitab “al-Fitan” bersumber dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu. Imam at-Turmudzi berkata hadits hasan shahih.
[15] Untuk lebih jauh, silahkan baca Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah, juz. 4, hal.1-30 dan hal. 50-97.

1. Ringkasan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Pertama: Beberapa Kaidah Umum : [1]
·         Sumber Referensi (Rujukan) Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mengingat bahwa Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu bersifat tauqifi (terbatas pada nash), maka ia berdiri di atas prinsip taslim (pasrah dan menerima) kepada apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, tanpa tahrif (mengubah makna atau lafazhnya), ta’wil (menginterpretasikannya dengan makna lain), ta’thil (mengabaikan maknanya) ataupun tamtsil (mengumpamakan, menyamakan).
Aqidah ini hanya mempunyai dua sumber, yaitu :
1. Al-Qur’anul Karim dan
2. Hadits-hadits Shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sedangkan ijma yang diakui kredibilitasnya di dalam penetapan aqidah adalah berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadits (Sunnah) juga, atau kepada salah satunya.
Adapun fitrah yang suci dan akal sehat keduanya menjadi pendukung dan penguat, tidak dapat berdiri sendiri di dalam menetapkan rincian aqidah dan prinsip-prinsip agama (Ushuluddin). Keduanya selalu seiring dengan al-Qur’an dan Hadits serta tidak menyalahinya.
Dan apabila ada semacam kontradiksi antara an-Naql (Nash-nash al-Qur’an atau Hadits) dan akal, maka kita harus meyakini bahwa akal kita yang kurang. Maka an-Naql yang bersifat tsabit (pasti) itu harus dikedepankan dan dijadikan patokan hukum di dalam agama. Oleh karenanya, lebih mengutamakan akal fikiran manusia dan pendapat mereka yang bersifat naif daripada firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak akan datang kepadanya kebatilan (kepalsuan) baik dari depan maupun dari belakang adalah merupakan kesesatan dan penyimpangan.
·         Hadits-hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun Hadits Ahad wajib diterima (sebagai sumber aqidah, pen.). [2]
·         Apa saja yang diperselisihkan di dalam masalah agama maka wajib dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya (al-Qur’an dan Hadits) [3] sebagaimana difahami oleh para shahabat nabi, para tabi’in dan para tabi’it tabi’in dari kalangan para pemuka ulama.
Jadi, sandaran di dalam memahami nash-nash aqidah yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah (Hadits) adalah para shahabat, para tabi’in dan orang-orang yang menelusuri jejak keberagamaan mereka, yaitu para pemuka ulama yang perpegang teguh kepada petunjuk dan agama. Siapa pun yang menyalahi mereka maka tidak perlu dihiraukan, sebab itu berarti ia menyalahi jalan kaum mukminin.
·         Prinsip-prinsip agama dan masalah aqidah adalah tauqifiyah. Semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan al-Qur’an dan hadits-haditsnya.
Maka segala perkara baru (yang diada-adakan) di dalam urusan agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits shahihnya.
Tidak ada hak bagi siapapun untuk mengada-adakan suatu perkara di dalam masalah agama, (apalagi) dengan anggapan bahwa perkara yang diada-adakannya itu wajib dipatuhi atau diyakini, sebab Allah Subhaanahu Wata'ala telah menyempurnakan agama-Nya, wahyu telah terputus dan kenabian telah ditutup, sebagaimana Allah tegaskan:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agamamu”. (al-Ma’idah: 3).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang mengada-adakan (membuat) di dalam perkara (agama) ini sesuatu yang bukan berasal darinya, maka ditolak.” [4]
Hadits di atas merupakan salah satu kaidah dasar di dalam masalah agama dan merupakan salah satu prinsip (ajaran pokok) di dalam aqidah.
Dan barangsiapa yang berkeyakinan bahwa boleh baginya keluar dari ajaran yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baik berupa syari’at (hukum) ataupun dien (aqidah), maka berarti ia telah menanggalkan ikatan Islam dari lehernya (baca: murtad, pen.).
·         Wajib perpegang teguh dan komitmen kepada kata-kata atau istilah-istilah yang ada di dalam al-Qur’an dan Sunnah di dalam masalah aqidah, dan menghindari istilah-istilah baru yang dibuat oleh para mutakallimin, kaum filosof dan lain-lainnya, karena masalah aqidah itu bersifat tauqifi dan merupakan perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah Subhaanahu Wata'ala.
·         Masalah-masalah Aqidah itu ghaib dan dasarnya adalah tunduk dan meyakini apa yang datang dari Allah Subhaanahu Wata'ala dan Rasul-Nya, lahir dan batin, apakah ia bisa diterima oleh akal kita ataupun tidak. Maka siapa saja yang tidak tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya di dalam masalah aqidah ini, agamanya tidak akan pernah lurus. [5]
Berserah diri dan tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya itu direalisasikan dalam bentuk pasrah dan tunduk kepada al-Qur’an dan Sunnah (hadits). [6]
·         Tidak boleh menyelami lebih jauh, memperdebatkan dan mempertentangkan masalah aqidah dan nash-nash-nya. Sebab, aqidah itu merupakan masalah ghaib. Kita diperbolehkan hanya sebatas memberikan penjelasan dan menegakkan hujjah (argumen) dengan tetap berpegang teguh kepada manhaj (metodologi) ulama salaf di dalam masalah ini. [7]
·         Tidak boleh melakukan ta’wil terhadap nash-nash ‘Aqidah [8], atau mengalihkan makna lahirnya kepada pengertian yang lain tanpa didukung oleh dalil syar’i yang kuat yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [9]
·         Di antara keharusan dan tuntutan aqidah adalah mengamalkan syari’ah. Mengamalkan hukum, selain yang diajarkan oleh Allah Subhaanahu Wata'ala adalah bertentangan dengan tauhid dan sikap berserah diri kepada Allah Subhaanahu Wata'ala dan Rasul-Nya. Oleh karenanya, mematuhi dan berpegang kepada selain syari’at (aturan) Allah Subhaanahu Wata'ala, berpaling jauh (secara utuh) darinya atau memperbolehkan pemberlakuan hukum selain yang diajarkan oleh Allah adalah kufur akbar! Adapun berpaling dari syari’at Allah di dalam suatu peristiwa tertentu karena hawa nafsu atau karena terpaksa, namun tetap berpegang teguh kepada syari’at Allah (di dalam hal-hal yang lain) adalah kufur ashghar (kecil), kefasikan atau kezaliman.

           Kedua: Beberapa kaidah secara rinci :
           Aqidah Ahlus Sunnah itu dapat diringkas secara global dalam uraian berikut ini:
·         Aqidah mereka tentang nama dan sifat Allah Subhaanahu Wata'ala.
Yaitu menetapkan dan meyakini apa yang ditetapkan oleh Allah bagi-Nya dan apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya bagi-Nya, dan menafikan apa yang dinafikan oleh Allah dari-Nya dan apa yang dinafikan oleh Rasul-Nya dari-Nya, tanpa tamtsil (mengumpamakan), takyif (menanyakan bagaimana hakikatnya), tasybih (menyerupakan), tahrif (mengubah dan mengganti arti), ta’wil (mengalihkan maknanya yang hakiki kepada makna yang lain) ataupun ta’thil (mengabaikan maknanya). Sebagaimana ditegaskan oleh Allah:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupaiNya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (asy-Syura: 11)
Allah Subhaanahu Wata'ala menyatakan diri-Nya dan begitu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwasanya Allah itu Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Berbicara, Maha Hidup, Maha Berkehendak dan bahwasanya Allah bersemayam (istawa) di atas ‘arasy, di atas hamba-hamba-Nya, dan Allah Subhaanahu Wata'ala itu meridhai, murka, mencintai dan membenci, datang dan turun; tertawa dan kagum sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya (dengan pasti menafikan tasybih) sebagaimana diungkapkan dan dinyatakan oleh Allah tentang diri-Nya dan sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Dia, (bahwasanya Allah itu mempunyai) wajah, tangan (yadd), mata dan lain-lainnya yang dijelaskan oleh al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.
Ahlus Sunnah menetapkan dan meyakini sifat-sifat Allah sebagaimana Allah ungkapkan mengenai Diri-Nya dan sebagaimana pula diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa tasybih, takyif, tamtsil, ta’thil dan tidak juga ta’wil. [10]
·         Aqidah mereka di dalam masalah-masalah keimanan dan seluruh ghaibiyyat, di antaranya:
Pertama: Di antara prinsip aqidah Ahlus Sunnah adalah bahwa iman itu adalah qaul (keyakinan hati dan ucapan lisan) dan amal (amalan batin dan amalan lahir), dapat bertambah dan berkurang. [11] Hal ini meliputi beriman kepada setiap apa saja yang diberitakan oleh Allah di dalam al-Qur’an atau diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang masalah-masalah yang ghaib dan yang tampak, baik secara global maupun secara terperinci, seperti:
- Beriman kepada Allah Subhaanahu Wata'ala mengesakan rububiyyah-Nya, Uluhiyyah-Nya dan nama dan sifat-sifat-Nya. [12]
- Beriman kepada malaikat, mereka adalah hamba-hamba yang dimuliakan, tidak pernah durhaka kepada Allah atas apa yang diperintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Mereka diberi tugas beribadah kepada Allah Subhaanahu Wata'ala. Di antara mereka ada yang mempunyai tugas dan pekerjaan-pekerjaan yang lain, seperti menurunkan wahyu, mencatat amal perbuatan manusia, taqdir, mencabut ruh, memberikan pertolongan kepada orang-orang beriman, memperjalankan awan, menurunkan hujan. Dan ada pula yang bertugas sebagai pemikul ‘Arasy (singgasana) dan seterusnya. [13]
- Beriman kepada Kitab-kitab suci yang diturunkan dari Allah Subhaanahu Wata'ala kepada para rasul-Nya sebagai petunjuk bagi umat manusia. Di antaranya adalah kitab Zabur, kitab Taurat, kitab Injil dan kitab al-Qur’an yang merupakan kitab suci yang paling sempurna lagi menghapus (nasikh) kitab-kitab suci sebelumnya. [14]
- Beriman kepada para nabi dan utusan Allah secara keseluruhan. Siapa saja yang disebutkan (nama-namanya) di dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih maka wajib beriman kepadanya secara khusus, dan bahwa sesungguhnya mereka semuanya telah menyampaikan risalah Allah kepada umat mereka dan menyeru (mereka) untuk bertauhid kepada-Nya serta melarang mereka dari perbuatan syirik (menyekutukan Allah). [15] “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut”. (an-Nahl: 36) (Dan beriman sepenuh hati) bahwa sesungguhnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling utama, penutup para rasul yang diutus oleh Allah kepada seluruh umat manusia, dengan wafatnya, wahyu terputus (tidak diturunkan lagi untuk selama-lamanya. pen.) dan dengannya Allah telah menyempurnakan agama. [16]
- Beriman kepada hari kemudian, dan bahwa sesungguhnya kematian itu haq (benar), dan beriman kepada adanya kenikmatan di dalam kubur dan siksaan di dalamnya, kebangkitan dan ditiupnya sangkakala, penghimpunan (di padang Mahsyar) dan dihadapkan (kepada Allah), Hisab (perhitungan amal) dan pembalasan, catatan amal dan timbangannya, jembatan menuju surga dan telaga, surga dengan segala kenikmatannya dan neraka dengan segala adzabnya, dan seterusnya. [17]
- Beriman kepada Kiamat dan ciri-cirinya yang di antaranya adalah munculnya Dajjal, turunnya Nabi Isa ‘alaihis salam, munculnya Imam Mahdi, Ya’juj dan Ma’juj, terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, keluarnya binatang melata (yang berbicara) [18] dan tanda-tanda yang lain sebagaimana diterangkan di dalam hadits-hadits shahih.
- Beriman kepada taqdir (ketetapan Allah) yang baik maupun yang buruk, dan bahwasanya Allah telah mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi dan telah mencatatnya di dalam Lauh Mahfuzh, dan bahwasannya apa saja yang dikendaki Allah pasti terjadi dan apa saja yang tidak Dia kehendaki maka pasti tidak akan terjadi, Allah adalah pencipta segala sesuatu. Dia telah menetapkan rizki dan ajal (setiap makhluk-Nya), kebahagiaan dan kesengsaraan, petunjuk dan kesesatan, dan bahwasanya Allah Subhaanahu Wata'ala melakukan apa saja yang Dia kehendaki, dan bahwasanya Allah telah mengambil sumpah (janji) atas manusia dan telah mempersaksikan kepada mereka bahwasanya Dia adalah Tuhan mereka. [19]
Kedua : al-Qur’an.
Di antara prisip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwasanya al-Qur’an adalah firman Allah (Kalamullah) yang diturunkan, ia bukan makhluk. Dan siapa saja yang beranggapan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka kafirlah ia. [20]
Ketiga: Ru’yah (melihat Allah).
Berkeyakinan bahwa orang-orang yang beriman akan melihat Tuhannya pada hari kiamat kelak dengan mata tanpa takyif dan tidak pula ihathah (melihat segala-galanya).
Keempat: Syafa’at.
Beriman dan meyakini seluruh bentuk syafa’at yang ditegaskan di dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih dengan segala persyaratannya pada hari Kiamat kelak, dan syafa’at yang paling agung adalah syafa’at agung nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sebahagian umatnya pada hari Kiamat, dan syafa’atnya kepada para pelaku dosa besar dari umatnya dan bentuk-bentuk syafa’atnya yang lain serta syafa’at-syafa’at selain beliau, seperti syafa’at malaikat, para nabi, kaum beriman dan lain-lain, sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits shahih. [21]
Kelima: Isra’ dan mi’raj.
Beriman kepada isra’ (perjalanan di malam hari yang dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) ke Baitul Maqdis dan mi’raj (naik) beliau ke langit ketujuh dan Sidratul Muntaha. Itu benar-benar terjadi dan dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dinyatakan oleh ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits shahih. [22]
·         Aqidah mereka di dalam prinsip-prinsip dan hukum teologis lainnya:
Pertama: Termasuk prinsip agama menurut Ahlus Sunnah adalah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga melebihi cinta kepada diri sendiri, anak dan seluruh manusia. Lalu berikutnya adalah mencintai para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seluruh istri-istri beliau Ummahatul mu’minin, memohon ridha Allah bagi mereka dan meyakini bahwasanya mereka adalah umat yang paling utama. Ahlus Sunnah menahan diri dari membicarakan secara mendalam pertikaian yang terjadi di antara mereka (para shahabat), membenci sebahagian atau mencela salah seorang dari mereka adalah kesesatan dan kemunafikan. [23]
Yang paling utama di antara para shahabat itu ialah Abu Bakar, lalu Umar, lalu Utsman, lalu Ali [24] dan sepuluh shahabat lainnya yang telah diberitakan pasti masuk surga. [25]
Ahlus Sunnah juga mencintai Ahli Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bersikap baik terhadap mereka dan selalu memelihara hak-hak mereka sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam perintahkan. [26]
Kedua: Menjauh dari Ahli bid’ah dan orang-orang munafik. Juga menjauh dari Ahlul kalam, membenci mereka dan memberikan peringatan kepada umat akan bahaya mereka, seperti Sekte Syi’ah (Rafidhah), Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, Qadariyah, Sekte Murji’ah ekstrem, Kelompok sufi ekstrem, kaum filosof dan seluruh sempalan pemikiran lainnya [27] yang menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. [28]
Ketiga: Selalu komitmen kepada jama’ah, bersatu dan berpegang teguh kepada tali Allah (al-Qur’an dan Sunnah), karena memisahkan diri dari Ahlul haq adalah kerancuan, kebinasaan dan kesesatan. [29]
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman: “Berpegang teguhlah kamu kepada tali Allah dan jangan berpecah-belah”. (Ali Imran: 103)
Keempat: Wajib patuh dan ta’at kepada ulil-amri (penguasa dan ulama) dengan cara yang ma’ruf, selagi tidak memerintah kepada maksiat. Dan tidak boleh membelot dari mereka sekalipun mereka berbuat zhalim, kecuali jika mereka melakukan kekufuran yang nyata, menurut dalil syar’i. [30]
Kelima: Wajib memberikan nasihat untuk Allah dan Rasul-Nya, kemudian bagi segenap para pemimpin kaum muslimin (Para ulama dan penguasa) dan masyarakat awam. [31]
Keenam: Berjihad bersama pemimpin (penguasa), apakah ia seorang yang shalih ataupun seorang yang zhalim. Jihad merupakan salah satu syi’ar Islam yang paling agung, merupakan ujung tombak Islam dan ia tetap berlaku hingga hari Kiamat. [32]
Ketujuh: Amar ma’ruf dan nahi munkar itu merupakan salah satu prinsip ajaran Islam dan merupakan syi’ar Islam yang mulia, dan hukumnya wajib sesuai kemampuan. [33]
Kedelapan: Hukum-hukum yang berkaitan dengan kaum muslimin dan hak-hak mereka:
- Barangsiapa yang telah bersaksi bahwasanya “tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, melakukan shalat yang kita lakukan (lima waktu), dan menghadap ke kiblat kita (Ka’bah) dan menampakkan syi’ar-syi’ar Islam, maka dia adalah seorang muslim yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslimin lainnya, darah, harta dan kehormatannya haram dinodai, sedangkan masalah batinnya kita serahkan kepada Allah. [34] Dan menganggapnya sebagai orang yang tidak dikenal kepribadiannya, berburuk sangka terhadapnya atau meragukan keislamannya adalah bi’dah dan merupakan sikap berlebihan di dalam beragama.
- Tidak boleh mengkafirkan seseorang dari Ahlul Qiblat (kaum muslimin) karena suatu dosa yang dilakukannya, kecuali orang yang telah dinyatakan kafir oleh Al-Qur’an dan Sunnah (hadits), hujjah (argumentasi) telah ditegakkan terhadapnya, tidak ada unsur paksaan baginya atau kebodohan atau karena ta’wil (yang ia lakukan). Juga tidak boleh meragukan kekafiran orang yang telah dinyatakan kafir oleh Allah Subhaanahu Wata'ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari kaum musyrikin, yahudi dan kaum nasrani serta lain-lainnya. [35]
- Kita tidak (boleh) memastikan seseorang masuk surga atau neraka, kecuali bagi orang-orang yang telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [36]
- Pelaku dosa besar di dunia adalah fasik dan durhaka, sedangkan di akhirat berada di bawah otoritas masyi’ah (kehendak) Allah. Jika Allah hendak menyiksanya, maka itu adalah hak-Nya dan jika Dia mengampuninya maka itu pula hak-Nya. Ia tidak kekal di neraka (jika dimasukkan di dalamnya), namun kita berharap ampunan-Nya bagi yang berbuat baik dan kita khawatir tidak selamat orang yang berbuat buruk. [37]
- Tetap melakukan shalat berjama’ah berma’mum kepada pemimpin kaum muslimin, apakah mereka orang yang shalih atau orang yang jahat. [38]
- Wajib mencintai karena Allah dan membenci karena Allah. Termasuk dalam hal ini adalah bersikap loyal (wala’) kepada kaum muslimin yang shalih dan berlepas diri (bara’) dari kaum musyrikin, orang-orang kafir dan orang-orang munafiq. Setiap muslim mempunyai hak berloyal menurut kadar keimanan dan kepatuhannya kepada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga berhak untuk di-bara’ (dibenci) menurut kadar kefasikan dan kedurhakaan yang ada padanya. [39]
- Karamah para wali itu benar adanya. Namun tidak semua bentuk karamah itu menunjukkan keshalihan dan kebaikan, kecuali bagi orang yang berpegang teguh kepada petunjuk dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara lahir dan batin. Karamah itu juga bisa menjadi sebagai ujian. Dan tidak semua peristiwa luar biasa itu karamah. [40] Wallahu a’lam.


2. Berpegang Teguh Kepada Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah Adalah Keniscayaan
Oleh karena Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka itu berarti Aqidah ini yang paling selamat, paling berilmu dan paling bijaksana, dan ini juga berarti bahwa Aqidah Ahlus Sunnah –secara pasti- yang lebih berhak untuk dianut dan berpegang teguh padanya adalah merupakan keniscayaan, karena aqidah inilah yang haq, sedangkan yang haq (benar) itu lebih berhak diikuti (dianut), dialah buhul (ikatan) yang paling kokoh, agama yang suci dan jalan yang lurus. Dan aqidah inilah yang menjadi wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aqidah ini pulalah sabilul mu’minin (jalan kaum beriman). Allah pun telah mengancam siapa saja yang menyalahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menempuh jalan selain jalan orang-orang mu’min, seraya berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam; dan Jahannam itu seburuk-buruk tempatnya kembali.” (an-Nisa’: 115)
Sabilul mu’minin (jalan kaum beriman) dimaksud, tidak diragukan lagi adalah jalan yang ditempuh oleh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para tabi’in dan generasi yang utama di dalam Islam, yaitu mereka yang mendapat pujian dari Allah dan sanjungan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan diperintahkan kepada kita untuk mencontoh mereka (mengikutinya). Menyalahi jalan kaum beriman (sabilul mu’minin) adalah tindakan menentang Allah Subhaanahu Wata'ala dan Rasul-Nya, sebagaimana ditegaskan di dalam ayat di atas.
Jika begitu adanya, maka berpegang teguh kepada aqidah yang hak ini, yaitu Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah merupakan perkara yang pasti (niscaya) secara syar’i. Berdasarkan perintah Allah Subhaanahu Wata'ala dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ
“Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian”. (al-A’raf: 3)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah menjelaskan bahwa sepeninggalnya nanti akan terjadi banyak perselisihan dan perpecahan dan bahwa al-haq (kebenaran) itu berada pada orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah beliau dan sunnah para Khulafa’ ur Rasyidin, seraya bersabda,
اِتَّقُوا اللهَ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، وَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Bertaqwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian selalu patuh dan ta’at (kepada pemimpin kalian-pen) sekalipun dia adalah seorang hamba dari ethiopia (berkulit hitam-pen), karena sesungguhnya barangsiapa di antara kalian hidup sepeninggalku nanti niscaya melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin yang adil, dan peganglah dengan gerahammu, dan hindarilah hal-hal baru yang diada-adakan (jalan agama), karena setiap bid’ah (yang diadakan) itu adalah kesesatan”. [41]
Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah para khulafa’ur rasyidin dan menjauhkan diri dari berbagai bentuk bid’ah mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً فَلاَ تَخْتَلِفُوْا بَعْدِيْ.
“Aku telah membawanya kepada kalian dengan terang benderang, maka janganlah kalian berselisih sepeninggalanku”. [42]
Dan sabda beliau,
لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا، لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ.
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian di atas hujjah yang terang benderang, malamnya seperti siangnya, tiada seorang pun yang menyimpang darinya melainkan pasti binasa.” [43]
Al-Baidha’ (putih bersih atau terang benderang) yang dimaksud di dalam hadits adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan seluruh ajaran yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berupa syariat dan ajaran agama, tidak pernah berubah semenjak masa generasi yang mulia (salaf) hingga saat ini, lafazh (kata) maupun sanad-sanadnya, sebagaimana tertera di dalam al-Qur’an dan Sunnah dan sebagaimana di-lafazh-kan oleh para pemuka ulama. (Ini sangat) berbeda dengan ‘aqidah dan keyakinan kaum mutakallimin dari golongan Mu’tazilah, Asya’irah, Maturidiyah, Kullabiyah dan lain-lainnya, karena pembaca akan mendapatkan banyak sekali lafazh (ucapan) dan aqidah mereka yang lafazh dan maknanya tidak sesuai dengan (aqidah) yang diriwayatkan dari para pemuka ulama salaf pada qurun yang penuh kemuliaan, kecuali amat sedikit sekali, dan pembaca akan amat jarang menemukan kebanyakan apa yang mereka yakini bersumber kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para shahabat beliau dan kaum tabi’in, terutama di dalam masalah sifat-sifat Allah dan taqdir. Bahkan pembaca tidak akan menemukan mereka, sepakat pada satu kata (lafazh) ataupun makna di dalam masalah-masalah yang mereka buat. Rujukilah buku-buku (literatur) mereka, di situ pembaca pasti menemukan kebenaran apa yang penulis ungkapkan.


3. Hakikat Afiliasi (Intisab) Jama’ah-jama’ah Kontemporer Kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Sesungguhnya jika kita perhatikan realitas (jama’ah-jama’ah) dakwah dan pergerakan-pergerakan keislaman (harakat islamiyah) yang ada di masa sekarang ini, mayoritas mengklaim berafiliasi (intima’) kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Klaim yang sarat propaganda ini bisa dilakukan oleh siapa saja, orang jujur ataupun pendusta. Juga diklaim pula oleh orang yang tidak mengerti arti Ahlus Sunnah wal Jama’ah; dan ini yang lebih banyak. Ini adalah seperti klaim sebagai pemeluk Islam yang dilakukan oleh seluruh kelompok atau golongan (sekte) yang menyempal dari Islam, dulu ataupun sekarang. Seperti sekte Rafidhah (Syi’ah) yang mengklaim diri sebagai Islam, padahal Islam bebas dari mereka. Juga sekte Jahmiyah, Khawarij, Kebatinan, golongan Sufi ekstrem, kelompok Filosof ekstrem, Qadyanisme (Ahmadiyah), Bahaisme, Barilawisme, Baharisme, Nushairisme, Ismailisme dan lain-lainnya. Mereka semua mengaku Islam, bahkan ada sebahagian yang mengklaim bahwa kelompoknya sajalah yang pantas mengklaim Islam.
Klaim afiliasi (intisab) kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah pun terjadi pada banyak kalangan aktivis dakwah dan kelompok pergerakan (dakwah) kontemporer dengan perbedaan di dalam bentuk klaim tersebut.
Ya. Tidak diragukan lagi bahwa ada di antaranya -di antara kelompok-kelompok dakwah dan pergerakan kontemporer ini- yang memang layak berafiliasi atau ber-intima’ kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun ada pula yang sangat jauh sekali dari Ahlussunnah wal Jama’ah. Dan ada pula orang yang mengartikan Ahlus Sunnah itu adalah Asya’irah dan Maturidiyah [44] dan lain-lainnya dari kelompok keagamaan yang secara umum lebih dekat kepada Ahlus Sunnah. Ada pula kelompok yang sama sekali tidak tahu, dan ada pula yang tidak peduli kepada aqidah kelompok mana yang ia anut.
Berikut ini akan penulis jelaskan beberapa konsekwensi berafiliasi kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah:
- Di antara keharusan yang paling penting bagi orang yang berintima’ kepada Ahlus Sunnah, apalagi jika dia adalah seorang da’i, mempelajari aqidah mereka, memantapkan diri dengannya dan menguasai prinsip-prinsipnya secara umum, menuntut ilmu syar’i (ilmu agama) dan mendalami pemahaman agama kepada para ulama dan masyayikh (para syaikh), sehingga bisa berdakwah berdasarkan ilmu dan petunjuk yang benar, mengarahkan para pengikutnya untuk mempelajari ilmu syar’i kepada masyayikh dan ulama.
- Dan setelah itu, ia harus menyeru kepada Aqidah Ahlus Sunnah dan menjelaskannya kepada manusia serta membelanya, karena aqidah inilah yang haq (benar).
- Adalah merupakan kewajiban pula bagi orang yang ber¬intima’ kepada Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sedangkan ia berstatus sebagai da’i, memperlihatkan pengaruhnya di dalam pemikiran, tujuan, ucapan dan tulisan-tulisannya. Bahkan pada perbuatan dan tindakannya di mana ia menguasai segala rincian Aqidah Ahlus Sunnah terutama masalah prinsip-prinsipnya [45], seperti masalah iman, tauhid, asma’ wa shifat, takdir dan hak-hak para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan seharusnya ia berpegang teguh kepada sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akhlak mulia dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam serta ciri ulama salaf.
- Seorang da’i wajib menempuh manhaj (metodologi) Ahlus Sunnah wal Jama’ah di dalam berdakwah, beramar ma’ruf dan bernahi munkar, memberikan nasihat kepada para penguasa dan masyarakat awam dan mendidik para da’i yang berkecimpung di dunia dakwah kepada aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah dengan segala potensi dan kesungguhan.
- Orang yang ber-intima’ kepada Ahlus Sunnah harus bersikap loyal kepada dakwah mereka, para da’inya dan para tokoh-tokoh mereka, baik yang dahulu maupun yang sekarang, seperti Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan siapa saja yang sejalan dengan beliau baik kelompok maupun individu. Dan (gerakan dakwah beliau) ini merupakan gerakan dakwah masa kini yang paling menonjol yang menempuh jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, baik aqidah ataupun prilakunya. Oleh karena itu, harus dibela dan didukung oleh setiap orang yang mengaku pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.


4. Beberapa Contoh Realitas (Sikap) Gerakan-gerakan Dakwah Kontemporer Terhadap Aqidah Ahlus Sunnah
Oleh karena konsekwensi tersebut butuh implementasi (tathbiq) dalam realita sehingga maksudnya menjadi jelas, maka penulis akan mengetengahkan beberapa contoh penyimpangan nyata kebanyakan kelompok dakwah dan kelompok pergerakan keislaman secara umum dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah baik dalam hal aqidah, manhaj (metode) maupun prilaku.
Karena penulis khawatir dituduh menyebarkan keburukan orang lain dan mencela mereka, maka penulis hanya akan menyebutkan beberapa kesalahan saja tanpa menyebut nama (orang atau kelompok tertentu) dan tema-temanya, sebagai pengamalan terhadap kaidah [46]ما بال أقوام
Penulis juga akan mengetengahkan beberapa pertanyaan seputar realita kelompok-kelompok dakwah dan sikapnya terhadap perkara yang sangat agung ini (aqidah). Maka penulis katakan:
- Bagaimana orang yang menta’wil sifat-sifat Allah berafiliasi (intima’) kepada Ahlus Sunnah, berbicara atas nama Allah tanpa dasar ilmu, terjerumus di dalam apa yang diperingatkan oleh para ulama salaf, yaitu lebih mengutamakan rasio (akal) daripada firman Allah Subhaanahu Wata'ala dan sabda Rasul-Nya di dalam masalah sifat-sifat Allah, masalah taqdir dan semua perkara ghaib?!
Sesungguhnya sebahagian kelompok dakwah yang ada berdiri di atas prinsip ini dan mengklaim bahwa dirinya adalah Ahlus Sunnah. [47]
- Lalu bagaimana berintima’ kepada Ahlus Sunnah orang yang berpandangan bahwa tarekat-tarekat sufi yang bid’ah itu adalah manhaj (metode) yang benar bagi dakwah?!
- Yang lebih sangat mengherankan adanya orang yang berintima’ kepada Ahlus Sunnah dari kalangan da’i, padahal ia membela bid’ah bahkan mempromosikannya, atau berpandangan bahwa masalah bid’ah itu sepele, bukan termasuk dalam masalah penting dalam agama, seperti bid’ah merayakan maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan merayakan hari-hari besar bid’ah keagamaan (seperti: isra’ mi’raj, nuzulul qur’an dll. Pen). Di mana posisi orang semacam ini dari aqidah salaf? Bahkan di antara da’i itu ada da’i yang mengerjakan bid’ah-bid’ah tersebut, dan ada pula yang menganggapnya remeh dan menyepelekan bahayanya.
- Dan yang lebih parah lagi adalah adanya beberapa tokoh da’i yang berafiliasi kepada Harakah Islamiyah yang cukup populer mengusap-usap kuburan, para wali yang sudah mati dan yang masih hidup dan meminta (berdo’a) kepada mereka supaya dilepaskan dari marabahaya dan diberi manfa’at serta bersandar (berlindung dan berserah diri) kepada mereka di waktu bahagia dan di waktu sengsara!!
- Bagaimana mengklaim mengibarkan syi’ar Ahlus Sunnah orang yang memberanikan dirinya untuk berdakwah padahal ia tidak mengetahui Aqidah Ahlus Sunnah (salaf). Bahkan barang kali ia ditanya tentang masalah aqidah yang sederhana, lalu tidak bisa menjawab dan kalaupun menjawab maka jawabannya kabur (tidak jelas)!!
- Apakah termasuk Ahlus Sunnah orang yang tidak menahan lisannya juga penanya dari pelecehan, makian dan tuduhan keji terhadap para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, juga terhadap para tabi’in dan para pemuka agama yang terkenal serta para generasi salaf terdahulu, terutama para ulama sunnah dan hadits??
- Di sana juga, sungguh sangat menyedihkan, ada orang dari kalangan tokoh da’i atau orang yang mengaku bahwa dirinya adalah da’i, menunda shalat wajib dari waktunya tanpa alasan yang benar, atau bahkan tidak memperhatikan shalat berjama’ah. Bahkan ada pula yang menghalalkan riba, menghalalkan lagu-lagu dan musik, atau memelihara (menyimpan) gambar makhluk hidup atau merokok. Ada pula di antara mereka yang mencukur jenggotnya tanpa alasan yang benar [48], atau meniru-niru (menyerupai) orang-orang kafir di dalam cara berpakaian dan berpenampilan bahkan di seluruh prilaku kehidupannya. Dan di antara mereka ada pula orang yang tidak memperhatikan hijab syar’i (jilbab) bagi kaum wanita atau menyetujui adanya ikhtilath (pembauran) haram antara laki-laki dengan wanita dan ia meridhainya, dan lain-lain dari perkara-perkara yang merendahkan martabat agama atau menodai ‘adalah (keadilan dan kewibawaan-ed), atau berlawanan dengan kemuliaan dan tidak boleh terjadi dari orang yang menjadikan dirinya dalam deretan da’i dan sebagai teladan.
- Apakah pantas mengklaim diri sebagai pengikut Ahlus Sunnah orang yang tidak menjadikan tujuan dan target dakwahnya adalah belajar dan mengajarkan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mengibarkan panjinya, menyeru manusia kepadanya dan mempertahankannya?! Padahal Aqidah Ahlus Sunnah adalah jalan yang lurus dan benar.
- Bagaimana menjadi (pengikut) Ahlus Sunnah orang yang tujuannya adalah pura-pura atau asal-asalan beraqidah dengan Aqidah Ahlus Sunnah dan mengesampingkan sanggahan terhadap sekte dan golongan yang menyalahi (Aqidah Ahlus Sunah), mengesampingkan sanggahan terhadap berbagai bid’ah para ahli bid’ah karena berdalih “tidak ingin memprovokasi perbedaan-perbedaan di antara kaum muslimin”.
- Di antara para da’i itu juga ada da’i yang berupaya menyatukan kaum muslimin bukan dengan dasar kalimatun sawa’ (Aqidah tauhid), melainkan dengan dasar perbedaan keyakinan, kesesatan dan bid’ah yang ada pada masing-masing kelompok. Ini benar-benar seperti pengumpul kayu bakar di malam hari yang gelap!!!
Memang tidak syak lagi bahwa menyatukan kekuatan kaum muslimin itu merupakan tujuan yang sangat mulia, bahkan merupakan bagian dari prinsip agama yang paling agung, tidak mengingkari tujuan ini kecuali seorang yang sesat atau bodoh. Akan tetapi menghimpun dan menyatukan kaum muslimin harus dan wajib berdasarkan al-haq (kebenaran), berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah serta berpegang teguh kepada tali Allah (aqidah shahihah- pen) bukan berdasarkan kepada sekedar syi’ar-syi’ar Islam yang kosong dan kering dari aqidah yang benar.
- Dan di antara mereka ada yang meremehkan amar ma’ruf dan nahi munkar, menyepelekan nasihat kepada para umara dengan anggapan bahwa masalah seperti ini adalah masalah kulit (tidak substansial). Ini tentu sangat bertentangan dengan manhaj (metode dan jalan dakwah) Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan prinsip-prinsip ajaran mereka, sebagaimana telah diuraikan di atas.
Dan terakhir,.......
Sesungguhnya masalah-masalah yang penulis singgung tadi di dalam realitas dakwah bukan sekedar fenomena atau prilaku individu-individu, melainkan merupakan ciri khas, sikap, metode, tujuan (target) dan etika umum sebahagian kelompok (jama’ah), pergerakan dan da’i.
Penulis merasa bahwa kewajiban memberikan nasihat (kritik) mengharuskan penulis untuk menguraikan lebih jauh tentang masalah ini, dan menuntut agar penulis memberikan argumentasi atas apa yang penulis kemukakan ini. Hanya saja tidak bisa penulis lakukan pada kesempatan ini. Sekalipun begitu, penulis tetap bertekad –dengan izin Allah- akan melakukannya.
Sekalipun penulis yakin bahwa di sana-sini ada orang yang lebih mampu dan lebih pantas dari pada penulis melakukan hal ini, namun penulis merasa hal ini tidak menjadi penghalang bagi penulis untuk andil dan ambil bagian menurut kemampuan yang ada. Wallahul Muwaffiq.


5. Antara Ahlus Sunnah dan Asya’irah
Di sana terdapat ketidakjelasan yang besar yang terjadi pada sebahagian orang, dahulu dan sekarang, yaitu klaim (golongan) Asya’irah bahwa merekalah Ahlus Sunnah, dan kadang kala kelompok lain pun menyebut mereka (Asya’irah) seperti itu. Ini adalah klaim yang penuh dengan ketidakjelasan, di dalamnya terdapat banyak kekaburan dan kerancuan. Untuk lebih jelasnya –secara rinci- membutuhkan pembahasan panjang, namun penulis akan berupaya menjelaskan berdasarkan pengetahuan yang ada dengan (penjelasan) yang sangat singkat sebagai berikut:
Pertama: Ahlus Sunnah wal Jama’ah disebut demikian, karena mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan merekalah Jama’ah yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [49] Maka dengan demikian Ahlus Sunnah itu adalah para shahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, para tabi’in dan orang-orang yang ikut dan menelusuri jejak mereka (di dalam beragama) hingga hari kiamat kelak, tidak melakukan perbuatan bid’ah ataupun mengubah ajaran agama ini. Maka siapapun yang melakukan perbuatan bid’ah, mengganti ajaran agama atau mengadakan ajaran baru yang bukan dari ajaran agama ini dan bukan dari aqidah dan sunnah yang dipegang oleh generasi awal (salaf), maka ia bukan dari golongan Ahlus Sunnah di dalam hal yang ia ganti atau ubah itu.
Kedua: Asya’irah (atau yang lebih dikenal dengan julukan Asy’ariyah-pen) adalah kelompok teologis (kalamiyah) yang datang kemudian. Mereka lahir sesudah tiga qurun utama [50]. Kelompok ini dinisbatkan kepada Imam Abul Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari (W.324 H) rahimahullah, seorang tokoh yang dahulunya menganut aliran Mu’tazilah, kemudian meninggalkan aqidah Mu’tazilahnya kira-kira tahun 300 H. Dan semenjak itu beliau memberikan sanggahan dan kritikan tajam terhadap penganut aqidah Mu’tazilah dengan menggunakan pendekatan-pendekatan kalam (teologis) dari satu sisi dan pendekatan nash-nash al-Qur’an dan Sunnah dari sisi yang lain. Dan dengan begitu ia bersama orang yang sejalan dengannya benar-benar membabat dan menentang habis kelompok Mu’tazilah [51], hingga benar-benar ia pojokkan. Ini adalah merupakan perbuatan mulia dan ia pantas mendapat pujian.
Di dalam suasana seperti ini muncul aliran teologis baru yang bersifat campuran (talfiqi), bukan aliran murni sunni dan bukan pula murni kalam rasional, sehingga angin topan pertikaian reda dan kekalahan berada di pihak Mu’tazilah. Di sini Imam Abul Hasan al-Asy’ari benar-benar telah mendapat ujian berat dan keluar sebagai pemenang melawan Mu’tazilah dan Jahmiyah serta kelompok-kelompok kalam lainnya. [52] Di sinilah Abul Hasan al-Asy’ari menemukan kebenaran dan mengetahui bahwa ia menang karena ia kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan karena pembelaannya kepada Sunnah dan ahlinya serta karena ia bergandeng tangan dengan para tokoh ulama salaf lainnya.
Kemudian beliau meninggalkan pemikiran-pemikirannya di dalam masalah sifat-sifat Allah dan beberapa masalah lainnya di mana di situ beliau menempuh cara ta’wil dan bersandar kepada akal dan kalam di dalam perkara-perkara ghaib, sifat-sifat Allah dan qadar (taqdir). Lalu beliau memutuskan untuk menempuh jejak Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan beliau pun menyatakannya di dalam kitab monumentalnya “al-Ibanah” [53]. Di sini Allah telah memberinya taufiq hingga terlepas dari jeratan talfiq teologis, seraya ia berkata:
“......Keyakinan yang kami yakini dan agama yang kami anut adalah berpegang teguh kepada Kitab suci Tuhan kami (al-Qur’an) dan Sunnah nabi kami, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan segala apa yang diriwayatkan dari para shahabat, para tabi’in dan para pemuka Ahli Hadits. Kepada hal itu kami berpegang teguh dan kepada apa yang diyakini oleh Abu Abdullah, Ahmad bin Hanbal -semoga Allah mencerahkan wajahnya, meninggikan derajatnya, melipatgandakan pahalanya- kami meyakininya, dan terhadap siapa saja yang menyalahinya kami menjauhkan diri....”. [54]
Akan tetapi madzhab beliau yang kedua, yaitu madzhab perpindahan dari i’tizal (aqidah mu’tazilah) ke (aqidah) yang diperoleh melalui cara Ibnu Kullab al-Kalamiyah tetap menjadi madzhab aqidah yang diikuti (oleh kebanyakan orang) hingga sekarang, karena dapat memenuhi harapan kaum filosof dan para mutakallimin serta ahlut ta’wil.
Jadi aliran Asya’irah itu disandarkan kepada Imam Abul Hasan Ali al-Asy’ari sebelum beliau beralih kepada keyakinan Ahlus Sunnah dan baru meninggalkan aqidah mu’tazilah. Sekalipun beliau telah menanggalkan madzhab atau aliran Asy’ariyah tersebut dan telah menulis (aqidah yang diyakininya dan berbeda dengan sebelumnya-Pen) di dalam kitabnya “al-Ibanah” dan kitab “Maqalatul Islamiyyin”, namun kaum Asya’irah (pengikut madzhab transisi Imam Abul Hasan al-Asy’ari-Pen) tetap mengesampingkan aqidah akhir yang menjadi anutan beliau itu.
Demikianlah riwayat lahirnya aliran Asya’irah. Jadi, Asya’irah itu adalah aliran atau madzhab baru yang merupakan campuran (paduan) antara aqidah Ahlus Sunnah dan aqidah Mu’tazilah. Oleh karenanya, penganut aliran ini (Asya’irah) merupakan kelompok pemikiran teologis yang lebih dekat kepada Ahlus Sunnah.
Di sisi lain, aliran Asya’irah ini tumbuh dengan melalui beberapa periode sejarah, yang pada setiap periode perselisihan di antara mereka dengan Ahlus Sunnah makin melebar, terutama setelah para tokoh mereka berikutnya memasukkan prinsip-prinsip dan i’tiqad-i’tiqad baru ke dalamnya, seperti filsafat, tasawwuf, mantiq, kalam dan debat, sehingga aqidah Asya’irah itu merupakan campuran dari semua itu.
Di antara tokoh mereka yang paling menonjol adalah al-Baqillani, wafat tahun 403 H., al-Qusyairi, wafat tahun 465 H., Abul Ma’ali al-Juwaini, wafat tahun 478 H., Ibnul ‘Arabi, wafat tahun 542 H., Imam Ghazali, wafat tahun 505 H., al-Fakhrur Razi, wafat tahun 606 H., al-Amidi, wafat tahun 682 H, dan lain-lainnya. Semoga Allah mengampuni kita dan mereka semua. [55]
Jadi Aliran (Aqidah) Asya’irah yang ada sekarang ini adalah merupakan campuran dan paduan dari berbagai sumber dan berbagai keyakinan, yaitu dari Ahlus Sunnah, filsafat, tasawwuf dan ilmu kalam. Maka dari itulah kita dapatkan mereka sebagai orang yang ber-intisab kepada sunnah yang lebih banyak terjerumus di dalam penyimpangan aqidah dan ibadah (maksudnya: bid’ah aqidah dan ibadah).
Yang demikian itu sangat berbeda halnya dengan Ahlus Sunnnah pada setiap masa. Dan juga kita temukan bahwa kebanyakan penganut aliran Asya’irah masa kini terhimpun di dalam berbagai tariqat sufi yang penuh bid’ah, di mana di kalangan mereka banyak terjadi perbuatan bid’ah kubur, bid’ah tabarruk kepada manusia (yang dianggap wali) dan benda-benda, bid’ah di dalam hal ibadah, do’a, maulid nabi dan lain-lainnya. Bid’ah-bid’ah itulah pada saat ini yang membedakan mereka dari Ahlus Sunnah secara jelas.
Pada kenyataannya kini jarang sekali pembaca melihat seseorang dari pengikut aliran Asya’irah yang tidak mempunyai bid’ah atau kecenderungan kepadanya, atau menganggap sederhana dan tidak peduli kepada masalah yang sangat berbahaya ini. Dan sebaliknya, orang-orang yang benar-benar berintisab (berafilliasi) kepada Ahlus Sunnah, anda akan sangat jarang menemukan seorang dari mereka yang melakukan perbuatan bid’ah, kecuali karena kebodohan. Ini pun –alhamdulillah- sangat jarang terjadi.
Karena itulah kaum Asya’irah masa kini, karena ikut-ikutan Syi’ah dan pengikut-pengikut aliran lainnya, menjuluki Ahlus Sunnah yang ada di seluruh negeri dengan julukan “Wahhabiyah”, sebagai nisbat kepada seorang da’i pembaharu, yaitu Muhammad bin Abdul Wahhab, rahimahullah. Dan dahulu mereka menjuluki Ahlus Sunnah dengan julukan “Hanabilah” sebagai nisbat kepada Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullah. Mereka tidak mengetahui bahwa menjuluki mereka dengan julukan dua tokoh terkemuka ini, yaitu Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Abdul Wahhab adalah merupakan rekomendasi bagi mereka, dan merupakan kehormatan dan kesaksian bagi mereka, bahwa merekalah orang-orang yang menelusurui jejak para tokoh ulama Ahlus Sunnah.
Pendek kata, kaum Asya’irah sependapat dengan Ahlus Sunnah di dalam beberapa masalah aqidah, namun mereka juga menyalahinya di dalam beberapa masalah yang lain. Maka terhadap kesamaan antara mereka dengan Ahlus Sunnah di dalam beberapa hal itu mereka boleh disebut Ahlus Sunnah, dilihat dari sudut kepatuhan mereka kepada Sunnah di dalam masalah-masalah itu. Namun, mereka secara global bila dilihat dari penyimpangan mereka dari Ahlus Sunnah di dalam prinsip-prinsip yang lain yang jumlahnya tidak sedikit, maka mereka secara umum tidak bisa disebut Ahlus Sunnah. Hal ini banyak yang tidak diketahui dan masih samar bagi kebanyakan orang, karena kurangnya pengetahuan dan kajian mereka terhadap ucapan-ucapan Ahlul ilmi (para ulama) di dalam masalah ini.

6. Beberapa Masalah yang Sangat Penting di Mana Asy’ariyah Menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Seolah-olah penulis di sini diminta oleh pembaca untuk menyebutkan hal-hal apa saja yang diperselisihkan Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah di dalam masalah prinsip-prinsip agama dan aqidah. Maka penulis katakan secara singkat, dengan memohon taufiq kepada Allah :
·         Di antara masalah yang sangat prinsipil di mana Asya’irah menyalahi Ahlus Sunnah adalah kelancangan mereka terhadap sifat-sifat Allah Subhaanahu Wata'ala dengan melakukan ta’wil yang dilarang oleh para ulama salaf, terutama sifat-sifat khabariyah yang dengan sifat-sifat itu Allah mensifati diri-Nya, atau dengannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mensifati Allah. Seperti sifat-sifat berikut: tangan (yad), mata (‘ain), diri (nafs), wajah (wajh), bersemayan di ‘arasy (istawa ‘alal ‘arsy), turun (nuzul), datang (maji’), rela (ridha), murka (ghadhab), mencintai (hubb), membenci (bughdhu) [56] dan sifat-sifat khabariyah lainnya yang disebutkan oleh Allah Subhaanahu Wata'ala di dalam al-Qur’an atau diungkapkan oleh Rasul-Nya di dalam hadits-hadits shahih. Mereka (Asya’irah) tidak mempercayainya sebagaimana adanya dan sebagaimana diyakini oleh para ulama salaf. Mereka menta’wilkannya dan memalingkan lafazh-lafzhnya dari (makna) lahirnya, karena takut terperosok ke dalam syubhat tajsim dan tamtsil. Mereka telah melupakan efek buruk dari perbuatan mereka men¬tahrif firman Allah, mengabaikan (ta’thil) maknanya, mengatakan sesuatu atas nama Allah tanpa dasar ilmu dan hal lain yang mengharuskan melakukan ta’wil dan bertentangan dengan prinsip taslim, patuh dan tunduk kepada Allah Subhaanahu Wata'ala. Sebab, bagaimana bisa layak, kalau Allah mengungkapkan tentang diri-Nya, dan Rasul-Nya mengungkapkan tentang-Nya dengan sifat-sifat yang tidak layak! atau mengharuskan tasybih dan tajsim, kemudian masalah ini tidak terungkap kecuali oleh para mutakallimun sesudah abad ketiga hijriyah!!?
Bagaimana mungkin pemahaman ini tidak diketahui oleh para shahabat, tabi’in dan para pemuka ulama salaf, lalu hanya diketahui oleh para mutakallimun!! Ini benar-benar merupakan hal yang tidak pantas dilakukan terhadap firman Allah (kalamullah) Subhaanahu Wata'ala dan sabda Rasul-Nya, para shahabat, tabi’in dan para pemuka ulama terdahulu yang lebih alim (mengetahui) dari pada mereka dan lebih bertaqwa kepada Allah! Padahal Allah Subhaanahu Wata'ala ketika mensifati diri-Nya dengan sifat-sifat, seperti dua tangan, wajah, diri, ridha, murka, datang, bersemayam, tinggi dan sifat-sifat lainnya, Dia pun telah menutup rapat pintu syubhat tamtsil dan ketidakjelasan berdasarkan firman-Nya:
“Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Asy-Syura: 11)
Apakah orang-orang yang melakukan penta’wilan terhadap sifat-sifat Allah itu lebih mengetahui tentang Allah daripada Allah sendiri?!
Apakah mereka lebih mensucikan Allah dari pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam??
Dan apakah mereka yang lebih mengetahui maksud Allah Subhaanahu Wata'ala dari pada para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pemuka ulama salaf, para tabi’in, tabi’it tabi’in dan para pemuka ulama pembela petunjuk dan sunnah yang hidup dalam tiga qurun yang mulia?! Yaitu mereka yang memahami sifat-sifat Allah dan perkara-perkara ghaib yang lain yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya secara apa adanya baik lafazh maupun makna menurut maksud Allah dan Rasul-Nya tanpa tasybih, tanpa ta’thil dan tanpa ta’wil.
Kaum Mutakallimun, termasuk Asya’irah benar-benar telah ditimpa bencana disebabkan ta’wil yang mereka lakukan terhadap sifat-sifat Allah dan terhadap beberapa masalah aqidah lainnya. Yaitu bencana memasukkan istilah-istilah, lafazh-lafazh dan dugaan-dugaan akal yang tidak layak dikatakan di dalam hak Allah Subhaanahu Wata'ala, baik secara penafian ataupun itsbat (penetapan).
Setidaknya itu merupakan ungkapan bid’ah (kalam mubtada’) tidak bersumber dari Allah ataupun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka menahan diri darinya adalah lebih selamat, dan masuk ke dalam wilayah ini merupakan kelancangan terhadap Allah tanpa landasan ilmu, seperti masalah hudud (batas), ghayat (batas sesuatu), jihat (arah), mahiyah (hakikat), harakah (gerak), haiz (wilayah), ’aradh (accident), jauhar (substansi), huduts (baru) dan qidam (dahulu, lebih dahulu).
Dan klaim kepastian (qath’iyah) akal dan kezhanniyahan nash (naql).... Seperti ungkapan mereka tentang: tarkib (tersusun, susunan) dan tab’idh (terbagi menjadi beberapa bagian). Dan juga perkataan mereka tentang Allah Subhaanahu Wata'ala :”Dia tidak berada di dalam alam semesta dan tidak pula di luarnya” [57], dan ungkapan-ungkapan lain yang mereka buat mengenai Allah Subhaanahu Wata'ala, baik secara nafi maupun itsbat dalam rangka penyesuaian diri dengan kaedah-kaedah teologis Mu’tazilah, jahmiyah dan falsafat rasionalis konfrontalis.
Memang ungkapan-ungkapan mereka di dalam masalah-masalah ini kadang mengandung sebahagian kebenaran, akan tetapi Allah Subhaanahu Wata'ala telah melarang kita berbuat seperti mereka. Setidaknya perbuatan seperti itu dapat dipastikan merupakan al-qaul ‘alallahi bighairi ‘ilm, ucapan terhadap Allah tanpa ilmu. Padahal Allah Subhaanahu Wata'ala telah berfirman:
“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (al-Isra’: 46)
Dan Dia juga berfirman:
“Hanya milik Allah Asma’ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya”. (al-A’raf: 180)
(Maka berdasarkan firman Allah di atas) Ahlus Sunnah tidak membicarakan masalah-masalah sifat-sifat ketuhanan kecuali dalam rangka memberikan sanggahan, menegakkan Hujjah (argumentasi) dan hanya sebatas kebutuhan. Jadi penyelisihan Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah di dalam masalah sifat-sifat Allah adalah bukan masalah yang bersifat furu’iyah, karena permasalahannya berkaitan dengan salah satu bagian dasar (prinsip) teragung dari dasar-dasar agama, yaitu tauhid sifat-sifat yang berkaitan dengan Allah Maha Pencipta.
Sekalipun begitu, Asya’irah tetap merupakan kelompok aliran teologis yang lebih dekat kepada Ahlus Sunnah, karena maksud mereka melakukan ta’wil itu adalah tanzih (mensucikan Allah), hanya saja tidak berdasarkan petunjuk dan mengikuti tuntunan (para ulama salaf). Bahkan mereka terperosok ke dalam apa yang diperingatkan oleh Ahlus Sunnah, yaitu haram melakukan ta’wil, berdebat dan memberikan perumpamaan bagi Allah Subhaanahu Wata'ala dan hal-hal yang serupa yang bertentangan dengan kewajiban tunduk dan pasrah kepada nash-nash agama (syar’i). [58]
·         Prinsip dasar lain yang diperselisihkan Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah adalah sandaran mereka kepada akal, debat dan ilmu kalam (nazhor) di dalam masalah sifat-sifat Allah, masalah qadar (taqdir) dan masalah-masalah ghaib. Mereka lebih mengutamakan akal, apa yang mereka sebut al-qawathi’ al-’aqliyah, daripada an-naql (al-Qur’an dan as-Sunnah) di dalam mengkaji masalah-masalah ghaib, aqidah, bahkan di dalam masalah yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah Subhaanahu Wata'ala.
Kaidahnya menurut mereka, sebagaimana ditetapkan oleh Fakhrur Razi, al-Juwaini dan lain-lain adalah “bahwa sesungguhnya dalil-dalil naqli (al-Qur’an dan Hadits) itu tidak memberikan kepastian (keyakinan)” [59]. Dan “bahwasanya dalil-dalil naqli itu zhanniy (relatif), sedangkan dalil-dalil aqli (rasional) itu qath’i (pasti); dan zhanni itu tidak bisa menentang yang qath’i” [60]. Subhanallah!!
·         Tafsiran mereka terhadap tauhid terbatas pada tauhid rububiyah saja. Mereka lupa akan tauhid uluhiyah dan ibadah hanya kepada Allah Subhaanahu Wata'ala semata, padahal tauhid uluhiyah ini merupakan tauhid yang karenanya para rasul diutus, sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wata'ala:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasannya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah oleh kamu sekalian akan Aku”. (al-Anbiya: 25)
Ia merupakan tauhid yang karenanya Allah menciptakan manusia, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan sekali-kali Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka hanya beribadah kepada-Ku”. (adz-Dzariyat:56)
Oleh karena itu, kita dapatkan perbuatan bid’ah di dalam berbagai bentuk ibadah dan terperosok di dalam perbuatan kesyirikan yang cukup banyak sekali pada orang-orang yang berintisab kepada Asya’irah muta’akhkhirin, disebabkan kelalaian mereka di dalam tauhid uluhiyah.
Ini tidak berarti bahwa Ahlus Sunnah menganggap remeh masalah tauhid rububiyah, sekali-kali tidak begitu! Akan tetapi memulai (dakwahnya) sesuai dengan dari mana Allah memulai dan dari mana pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memulainya. Tauhid Rububiyah itu juga bersifat fitri, hampir tidak ada yang mengingkarinya kecuali sangat jarang sekali. Dan kebanyakan ayat-ayat yang berbicara tentang tauhid rububiyah itu dalam konteks membicarakan konsekwensinya, yaitu tauhid ibadah dan ta’at (uluhiyah). Maka dari itu tidak dikenal adanya suatu umat yang mengingkari tauhid Rububiyah. Bahkan tidak ada satu golongan yang sepakat atas masalah ini sebenarnya; dan sekiranya ada, niscaya Allah Subhaanahu Wata'ala menyebutkannya di dalam kisah-kisah para nabi. Lain halnya dengan tauhid Uluhiyah, banyak sekali umat, golongan dan kelompok yang tersesat darinya hingga saat ini.
Dari itu pula kita lihat bahwa para peneliti dan pemuka Asya’irah memulai karya-karya mereka di dalam bidang aqidah dengan masalah-masalah aqliyat, teori-teori, keyakinan-keyakinan dan pandangan-pandangan, istilah-istilah teologis dan filosofis serta (ditegaskan) bahwasanya dali-dalil naqli (sam’iyat, wahyu) tidak memberikan kepastian (keyakinan)! Dan bahwasanya dalil-dalil aqli itu pasti dan meyakinkan. Lalu dibicarakan pula masalah hudutsul’alam (alam ini baru), kepastian ada Pencipta dan lain-lainnya (yang sangat sarat dengan) filsafat dan ilmu kalam, dan kemudian diakhiri dengan pembahasan tauhid Rububiyah. [61]
Yang demikian itu sangat jauh berbeda dengan metode yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah, bahkan berbeda dengan metode (manhaj) al-Qur’an itu sendiri. Ayat-ayat yang datang untuk mengukuhkan tauhid Rububiyah itu sedikit dibanding dengan ayat-ayat yang datang untuk mengukuhkan tauhid Uluhiyyah, dan kebanyakan ayat-ayat yang berkenaan dengan tauhid Rububiyyah itu datang untuk mempertegas tauhid Uluhiyyah (tauhid Ibadah), sebagaimana dijelaskan di muka.
·         Mereka juga menyalahi Ahlus Sunnah pada prinsip-prinsip yang lain, seperti dalam masalah al-Qur’an dan Kalamullah, [62] Iman [63], Qadar [64] dan Nubuwwat (masalah kenabian) [65] di mana mereka sangat terpengaruh dengan kaedah-kaedah kalam dan filosofis di dalam pandangan mereka terhadap masalah-masalah tersebut. Maka aqidah mereka lahir dalam bentuk campuran dari haq dan kebatilan, campuran antara aqidah Ahlus Sunnah, Mu’tazilah dan kaum filosof. Oleh kerena itu, banyak kita dapatkan mereka menggunakan istilah-istilah filosofis dialektis mengandung makna haq dan batil dan berbeda jauh dengan lafazh (istilah-istilah) yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Demikianlah... Sesungguhnya masalah-masalah yang diperselisihkan Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah tersebut di atas adalah merupakan prinsip-prinsip aqidah dan furu’ (cabang)nya menuntut peneliti yang obyektif dikala melakukan penelitian, agar memberikan penilaian –sebagaimana pendapat para Ahli dari pemuka-pemuka Ahlus Sunnah [66]- bahwa sesungguhnya aliran (madzhab) Asya’irah di dalam aqidah merupakan madzhab independen di dalam beberapa aspek terpisah dari Ahlus Sunnah, mempunyai prinsip-prinsip, metodologi, pandangan-pandangan, dan ketetapan-ketetapan tersendiri, terutama di dalam masalah-masalah sifat-sifat Allah, iman, wahyu, nubuwwat, al-Qur’an, kalamullah dan qadar atau taqdir. Maka, Asya’irah di dalam beberapa masalah sependapat dengan Ahlussunnah, namun berselisih di dalam masalah-masalah yang lain.
Sesungguhnya tidak boleh kita membebani Salaf (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) dengan aqidah dan istilah-istilah yang dibuat oleh Asya’irah, seperti ilmu kalam dan filsafat. Dan sesungguhnya merupakan tindakan tidak etis kalau kita menisbatkan keyakinan-keyakinan dan istilah-istilah seperti itu kepada para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para tabi’in dan para pemuka ulama sunnah yang ada dalam generasi mulia, padahal keyakinan-keyakinan dan istilah-istilah itu lebih mendominasi di dalam aqidah Asya’irah, sebagaimana penulis uraikan di muka.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang tidak melenceng dan tidak menambah madzhab salaf hingga masa kini. Maka orang yang ber-intima’ dan ber-intisab (berafiliasi) kepada Ahlus Sunnah harus meyakini dan beraqidahkan apa yang telah dijadikan aqidah oleh Ahlus Sunnah di dalam masalah prinsip-prinsip (ushul) agama, mengikuti apa yang telah mereka katakan dan telah mereka tetapkan, bukan malah meyakini (apa) yang sesuai dengan kaidah-kaidah rasional dan filosofis yang ia miliki, lantas kemudian menisbatkan keyakinannya dan aqidahnya itu kepada Salaf, sebagaimana dilakukan oleh tidak sedikit dari para pengkaji di kalangan Asya’irah.
Jika kita suguhkan keyakinan dan aqidah Asya’irah kepada keyakinan dan aqidah yang kita nukil dari Salaf yang hidup pada qurun (generasi) yang mulia, niscaya kita temukan perbedaan yang sangat menonjol. Kita akan temukan bahwa Asya’irah telah melakukan bid’ah (hal baru) dan membuat beberapa keyakinan dan istilah yang dilarang oleh para pemuka ulama Salaf seperti mengkaji masalah sifat-sifat ketuhanan, perkara-perkara yang ghaib dengan meraba-raba dan pendekatan-pendekatan bid’ah teologis. Sebagaimana telah kami sampaikan contoh-contohnya di muka. [67]
Adalah haq dan adil kalau kita katakan: Sesungguhnya Asya’irah, secara umum, merupakan aliran yang paling dekat kepada Ahlus Sunnah daripada aliran-aliran teologis lainnya, dan di antara mereka (penganut aliran Asya’irah) itu sendiri ada orang-orang yang lebih dekat kepada Sunnah dari pada yang lain, dan ada pula dari pengikut aliran Asya’irah ini yang tergolong : Ahli hadits terkemuka, ulama ahli tafsir terkenal, ahli fiqih, ahli bahasa Arab, dll. Ada di antara mereka yang mempunyai kedudukan dan keutamaan tinggi di dalam ilmu dan agama. Bahkan ada di antara tokoh-tokoh ulama Ahlul Hadits yang berintisab atau dinisbatkan kepada Asya’irah yang secara umum di dalam aqidahnya tergolong Ahlus Sunnah, maka menisbatkan mereka kepada Asya’irah membutuhkan kehati-hatian dan penelitian lebih jauh, terutama seperti: Imam al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu ‘Asakir, Imam an-Nawawi dan Ibnu Hajar al-’Asqalani serta para tokoh dan pemuka ulama sunnah dan hadits yang lain. Mereka lebih dekat kepada Ahlussunnah daripada kepada kaum mutakallimin.
Orang yang alim dari Asya’irah, setiap kali ilmu mereka di dalam sunnah, hadits dan atsar makin bertambah, maka kebanyakannya mereka makin lebih dekat kepada Ahlus Sunnah di dalam aqidah.
Ada satu hal lain yang layak disebut di sini adalah bahwa uraian di atas mengandung bukti yang sangat kuat bahwa Asya’irah menyalahi Ahlus Sunnah di dalam beberapa masalah besar prinsip aqidah, dan bahwasanya ketika mereka melakukan kajian dan penelitian mendalam secara obyektif, maka mereka meninggalkan aqidah Asya’irah dan kembali kepada aqidah Ahlus Sunnah. Bukti yang dimaksud adalah kembalinya kebanyakan tokoh terkemuka Asya’irah dan para peneliti kawakan mereka kepada haribaan aqidah Ahlus Sunnah, tunduk dan patuh kepadanya pada akhir petualangan mereka atau di akhir usia mereka, sebagaimana terjadi pada Imam Abul Hasan Ali al-Asy’ari itu sendiri, dimana beliau memastikan menganut Aqidah Salaf Ahlus Sunnah di dalam kitabnya “al-Ibanah” [68], juga Imam Abul Ma’ali al-Juwaini, Abu Muhammad al-Juwaini, Imam Fakhrurrazi, Imam Asy-Syahristani, Imam Ghazali, Imam Ibnul Arabi dan lain-lain. [69]
Di antara mereka ada yang kembali kepada aqidah Ahlus Sunnah dan meninggalkan ilmu kalam. Hal itu dijelaskan melalui tulisannya tentang aqidah yang menjadi pegangannya. Dan di antara mereka ada pula yang memproklamirkan keyakinannya kepada aqidah Ahlus Sunnah dengan gamblang sebelum wafat dan ia tidak sempat untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. [70]
Penulis akan mengakhiri pembahasan ini dengan menjelaskan bahwa tampak jelas bagi penulis bahwa kelompok Asya’irah masa kini (kontemporer) jauh dari Ahlus Sunnah melebihi para pendahulu mereka, hal itu disebabkan minimnya pengetahuan mereka tentang Aqidah Salaf, juga karena mereka telah terkontaminasi dengan faham filsafat, ilmu kalam, berbagai bid’ah, khurafat dan kebanyakan mereka bernaung di bawah payung tarikat-tarikat tasawwuf dan yang serupa dengannya. [71] Semoga Allah memberi mereka petunjuk, membukakan mata hati kita dan mereka semua bagi kebenaran dan jalan yang lurus.
Perlu disebutkan di sini bahwa apa yang telah penulis uraikan di atas tentang menjauhnya Asya’irah dari Ahlus Sunnah di dalam beberapa prinsip-prinsip aqidah tidak berarti penulis mengkafirkan atau memandang mereka sesat. Penulis sama sekali tidak menyinggung masalah ini, karena bagi penulis, masalah ini sangat besar lagi berbahaya, membutuhkan uraian lebih lanjut dan bukan di sini tempatnya.
7. Di Mana Ahlus Sunnah Berada?
Pada bagian terdahulu telah penulis singgung mengenai definisi Ahlus Sunnah, ciri dan karakteristik aqidah mereka, dan telah penulis jelaskan bahwa Asya’irah, mazhab yang paling banyak tersebar di hampir seluruh dunia Islam, mereka bukan Ahlus Sunnah. Maka adalah benar kalau seseorang bertanya-tanya: Kalau begitu di mana Ahlus Sunnah? Bagaimana kita dapat mengenal mereka di tengah-tengah kaum muslimin?
Secara singkat, jawabannya menurut hemat penulis adalah sebagai berikut:
Bahwa sesungguhnya Ahlus Sunnah itu telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah ditentukan sejelas-jelasnya hingga tampak jelas seperti matahari, bagi orang yang diberi taufiq oleh Allah dan selamat dari cengkeraman hawa nafsu, fanatisme dan taklid buta. Di antara sifat dan ciri-ciri Ahlus Sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu ialah:
·         Mereka adalah orang-orang yang konsisten dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik secara penampilan, tutur kata, aqidah, prilaku maupun ibadah. Petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu telah dijelaskan sejelas-jelasnya oleh Sunnah-nya.
Jadi, Ahlus Sunnah adalah tokoh-tokoh yang menonjol lagi terkemuka dari generasi ke generasi semenjak generasi para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga generasi kita sekarang ini, mereka dikenal dengan sikap ittiba’, iqtida’ dan ihtida’ (patuh, meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam konsisten dan berpegang teguh kepada sunnah).
·         Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada aqidah salaf, yaitu para shahabat Nabi, para tabi’in dan para tokoh pemuka agama yang ada pada tiga masa generasi yang utama. Aqidah salaf itu diriwayatkan dan dikenal serta tercatat –alhamdulillah- di dalam karya-karya para ulama terkemuka seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Ibnu Abi ‘Ashim, Imam Ad-Darimi, Imam Abdullah bin Ahmad, Imam Ibnu Khuzaimah, Ibnu Baththah, Ibnu Mandah, Imam al-Khallal, Imam al-Asy’ari [72] setelah ia memproklamirkan aqidah salaf, Imam Isma’il as-Shabuni, Imam ath-Thahawi, Imam Ibnu Taimiyah dan banyak lagi imam-imam lainnya, mereka sangat dikenal oleh para ahli ilmu (ulama) dan oleh setiap orang yang mempunyai keinginan untuk mengenal mereka.
·         Mereka adalah orang-orang yang selamat (bebas), tidak tercemar oleh bid’ah, kesyirikan dan ajaran-ajaran tarikat sufi. Anda tidak pernah melihat Ahlus Sunnah, kapan saja dan di mana saja mengusap-usap kuburan, manusia, bebatuan, benda-benda peninggalan nenek moyang dan patung-patung; mereka juga tidak berdo’a (memohon) kepada selain Allah, tidak meminta keselamatan kepada orang-orang yang sudah mati, tidak mendirikan bangunan atau kubah di atas kuburan, dan mereka tidak melakukan perayaan-perayaan hari kelahiran (maulid) dan berbagai perkumpulan bid’ah lainnya. Dan amat sangat jarang anda temukan seorang Ahlus Sunnah yang bernaung di bawah asuhan tarekat sufi, kecuali karena kebodohan, keawaman, kelalaian atau karena bertaqlid buta tidak berdasarkan pengetahuan, sebagaimana dilakukan oleh sebahagian orang awam.
·         Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada syi’ar-syi’ar agama, yang lahir maupun yang batin, sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan dijelaskan oleh Rasul-Nya. Maka mereka selalu menegakkan shalat fardhu (secara berjama’ah), mengerjakan amalan-amalan sunnah dan mengajak orang lain kepadanya, dan mereka meninggalkan dosa, kemunkaran, hal-hal yang diharamkan dan segala bentuk bid’ah serta melarang (manusia) melakukannya.
·         Mereka adalah orang-orang yang lantang (tampil) di tengah-tengah mesyarakatnya menyuarakan kebenaran (al-haq), beramar ma’ruf dan bernahi munkar, memberantas segala bentuk bid’ah dengan tidak peduli terhadap celaan orang yang mencela mereka. Terkadang sifat atau karekter ini berbeda-beda di satu negeri dari negeri-negeri muslim lainnya, karena ada sebagian negeri dimana kaum muslimin yang tidak bisa menampakkan syi’ar-syi’ar agama mereka di sana atau melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Secara umum, Ahlus Sunnah itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Mereka –alhamdulillah- berada di berbagai tempat dan di berbagai negeri; di suatu negeri jumlah mereka sedikit, namun di negeri yang lain jumlah mereka banyak. Jadi, mereka tersebar luas di bumi Allah yang luas ini sesuai dengan kondisi masing-masing.
Jika anda perhatikan kondisi kaum muslimin saat ini, niscaya anda temukan bahwa di antara Ahlus Sunnah itu mempunyai keunggulan tersendiri sesuai dengan kondisi yang melingkupinya, banyak atau sedikit, kuat atau lemah. Anda temukan mereka di Mesir dan di Sudan kebanyakannya ada di dalam wadah gerakan Ansharus Sunnah al-Muhammadiyah, dan sedikit sekali yang berada di gerakan-gerakan yang lain. Di negeri Syam (Suria, Yordan, Palestina) mayoritas mereka terdapat pada kelompok Ahli hadits dan atsar dan sedikit sekali yang ada pada kelompok yang lain, di India, Pakistan dan Afganistan kebanyakan mereka terdapat pada Ahli hadits, kelompok-kelompok dan ormas-ormas keagamaan salafiyah dari pada di tempat-tempat lainnya. [73]
Telah penulis singgung di muka bahwa di antara ciri khas Ahlus Sunnah yang paling menonjol di negeri yang tidak banyak terdapat hal-hal bid’ah dan ajaran tarekat sufi di dalamnya adalah cap Wahabiyah bagi mereka, yaitu nisbat kepada dakwah yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, atau cap Hanabilah, yaitu nisbat kepada Imam Ahmad bin Hanbal.
Da’wah yang diserukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab itu merupakan contoh nyata yang hidup bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah, baik yang berupa aqidah maupun berupa prilaku. Dengan da’wah yang beliau serukan itu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam benar-benar menjadi kenyataan:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ.
“Akan tetap ada segolongan dari umatku yang tampil di atas kebenaran hingga hari kiamat kelak”. [74] Dakwah beliau (Syaikh) ini masih tampak sampai saat ini. Segala puji hanya bagi Allah.
Perlu diketahui pula bahwa awam kaum muslimin yang masih menegakkan syi’ar-syi’ar agama, sedangkan mereka bersih dari perbuatan kesyirikan (penyekutuan terhadap Allah), sesungguhnya mereka masih dalam kondisi fitrah dan mereka tergolong dalam sawadul ummah dan Ahlus Sunnah di mana pun dan kapan pun mereka berada.
Ahlus Sunnah (wallahu a’lam) di akhir zaman nanti tidak merupakan mayoritas ummat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa mereka adalah tha’ifah (segolongan atau sekelompok), mereka adalah orang-orang asing, bahkan mereka adalah sekelompok kecil saja dan merupakan salah satu golongan dari tujuh puluh tiga golongan yanga ada. [75]
Dengan demikian, gugurlah klaim sebahagian kaum Asya’irah dan Maturidiyah akhir-akhir ini bahwa mereka adalah Ahlus Sunnah, dengan alasan karena mereka merupakan kelompok mayoritas di berbagai negeri kaum muslimin. Jadi secara kuantitas (mayority) itu sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai argumen atau dalil yang cukup untuk kebenaran. Yang menjadi ukuran itu adalah ittiba’, patuh dan ta’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berpegang teguh kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, menelusuri jejak para shahabat, para tabi’in dan para pemuka tokoh agama yang ada di dalam tiga generasi utama dan meniti langkah orang-orang yang mengikuti jejaknya dengan tidak mengganti atau mengubah (sedikitpun dari ajaran Rasulullah) hingga hari kiamat meskipun jumlah mereka sedikit.
Dari sisi lain, perlu diketahui bahwa mayoritas kaum muslimin saat ini adalah orang awam yang diliputi kebodohan, tidak mengerti rincian ‘Aqidah Islam, dan kebanyakan mereka masih dalam kondisi fitrah (tauhidnya masih murni), hati mereka masih bersih dan aqidah mereka masih lurus. Jika demikian adanya, maka mereka masih tergolong dalam sawadul muslimin, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dengan catatan: mereka belum diseret oleh syetan-syetan bid’ah dan khurafat, syetan-syetan aliran sesat, tariqat-tariqat sufi dan menyeru kepada kesesatan. Wallahu a’lam.

Catatan Kaki :
[1] Penulis menyimpulkan kaidah-kaidah tersebut dari hasil kajian penulis terhadap sebagian literatur para tokoh agama. Di antara buku-buku yang banyak memberikan pelajaran kepada saya di dalam menyimpulkan kaidah-kaidah tersebut adalah:
1. Kitabul Iman, karya Qasim bin Sallam (wafat 224 H)
2. Ar- Raddu ‘alaz zanadiqah wal Jahmiyyah, karya Imam Ahmad (wafat 241 H)
3. Kitabul Iman, karya al-Hafizh al ‘Adani, (243)
4. Al-Ikhtilaf fil Lafzhi war Raddu alal Jahmiyyah wal Musyabbihah, karya Ibnu Qutaibah (276 H)
5. As Sunnah, karya Ibnu ‘Ashim (wafat 287 H)
6. Ar-Raddu alal Jahmiyah dan Ar-Raddu alal Murisi, karya Imam Ad-Darimi (wafat 280 H)
7. al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, karya Abul Hasan al-Asy’ari (324 H)
8. Asy-Syari’ah, karya al-Ajuri (wafat 360 H)
9. As-Sunnah, karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat 290)
10. Aqidatus Salaf Ash habil Hadits, karya Abu Ismail as Shabuni (wafat 449 H)
11. Asy-Syarh wal Ibanah, karya Ibnu Baththah (wafat 387 H)
12. Dzammut Ta’wil, karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi, (wafat 620)
13. Beberapa buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728) , terutama at-Tadmuriyah, al-Wasithiyah, Hamuwiyah, Majmu’ Fatawa (1-9), al-‘Aql wan Naql, Minhajus Sunnah, Naqdlut ta’sis, dan lain-lain.
14. Ash Shawa’iq al-mursalah ‘alal jahmiyah al-mu’aththilah, karya Ibnu Qayyim, (wafat 792 H)
15. Syarah al-Aqidah ath-Thawiyyah, karya Ibnu Abil ‘Izz, (wafat 792)
16. Syarah Kitabuttauhid dari Shahih Bukhari di dalam fathul Bari, karya Ibnu Hajar (wafat 852 H)
Syarah Kitabuttauhid min Shahihil Bukhari, karya Syekh Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman. Dll.
[2] Mukhtashar ash-Shawa’iq al-Mursalah, karya Ibnu Al-Qayyim. Vol. 2, hal. 359-446. Diringkas oleh Muhammad bin al-Mushili.
[3] Al-I’tiqad wal Hidayah ila Sabilir Rasyad, karya Imam Al-Baihaqi, hal. 227.
[4] Diriwayatkan oleh Bukhari kitab “ash Shulh” dan Muslim, kitab al-Aqdhiyah.
[5] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, karya Ibnul Abi Al-‘Izzi al-Hanafi, hal. 143.
[6] Ibid, hal.140.
[7] Asy-Syarah wal Ibanah, hal. 123-127; Syarah al-Asidiq ath-Thahawiyyah, hal. 258; dan asy-Syari’ah, karya al-Ajurri, hal. 54-67.
[8] Ini berbeda dengan nash-nash yang berkenaan dengan hukum-hukum, sebab ia boleh dita’wil dan dialihkan dari zhahirnya bila ada dasar syar’inya dan memenuhi syarat-syarat yang disebutkan oleh para tokoh agama terpandang.
[9] Ash-Shawa’iq al-Mursalah, karya Ibnu Qayyim, hal. 10-90. Dzammut Ta’wil, karya Muwaffiquddin Ibnu Qudamah al-Maqdisi, wafat 620 H.
[10] Silakan pembaca merujuk kepada As-Sunnah, karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, vol 1, hal. 264-307. Di sana disebutkan perkataan para ulama salaf dalam hal ini. Dan asy-Syarhul wal Ibanah, karya Ibnu Baththah, hal.127-129 dan 213-218.
[11] As-Sunnah (opcit), vol.1/307, asy-Syarhul wal ibanah (opcit) hal. 176-177., al-Itiqad, karya Imam Baihaqi, hal 174, al-Iman, karya Ibnu Taimiyah, hal. 186-288, ‘Aqidatus Salaf, karya As-Shabuni, hal. 68 dan Syarhus Sunnah, karya Imam al-Baghawi. Vol.1, hal. 33.
[12] Tauhid asma’ wa shifat maksudnya adalah menetapkan dan meyakini nama dan sifat yang telah ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya, dan menafikan apa yang dinafikan oleh Allah dari diri-Nya dan dinafikan oleh Rasul-Nya serta mensucikan Allah dari segala aib dan kekurangan.
[13] Asy-Syarhul wal Ibanah (opcit), hal. 210, dan Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah (opcit) hal. 243-248.
[14] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, (opcit), hal. 257.
[15] Asy-Syarhu wal Ibanah (opcit), hal. 211 dan Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal 256-257.
[16] Syarah Aqidah Thahawiyah,, opcit, hal. 103-105 dan al-I’tiqad , opcit. hal. 255-305.
[17] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, opcit, hal. 344-353 dan 369, Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits, opcit, hal.60-63 dan asy-Syarh wal Ibanah, opcit, hal. 197-208, 219-223.
[18] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 447 dan Lum’atul i’tiqad . opcit. hal. 30-31.
[19] Aqidatus Salaf, opcit, Hal. 75-82, asy Syarh wal Ibanah, opcit. Hal. 192. , al-Ibanah, opcit, hal. 56, dan Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, opcit, hal. 185 dan 185. Lihat pula Tafsir Ibnu Katsir, hal. 227-229.
[20] As-Sunnah, karya Abdullah bin Ahmad, vol. 1 hal. 132, Lum’atul I’tiqad, opcit, hal. 15-18, al-I’tiqad, opcit, hal. 94-110, asy-Syarhu wal Ibanah, hal. 184-186, al-Ibanah, hal. 56. Syarah Thahawiyah, hal. 107-109 dan Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits, hal. 7.
[21] As-sunnah, karya Ibnu Abi ‘Ashim, vol. 2, hal. 364, Syarah ath-Thahawiyah, hal. 174, asy-Syari’ah, opcit, hal. 321-326, Lum’atul I’tiqad, hal. 34, Majmu Fatawa, opcit, vol. 1, hal. 116-117.
[22] Syarah Al-Aqidah ath-Thahawiyah, opcit, hal. 167. Asy-Syari’ah, opcit, karya al-Ajuri, hal. 481.
[23] Al-Ibanah, opcit, hal. 59; Lum’atul I’tiqad, opcit, karya al-Maqdisi, hal. 36 asy-Syarh wal Ibanah, opcit, hal 159-170, 264-265, 271, dan al-Washiyah al-Kubra, karya Ibnu Taimiyah, hal 55-58.
[24] Al-Washiyah al-Kubra, hal. 59-60; Asy-Syarh, wal Ibanah hal 414, karya Ibnu Baththah, hal. 257-261; al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal 323; al-Ibanah, karya al-Asy’ari, hal. 59; Aqidatus Salaf, karya al-Shabuni, hal. 86.
[25] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 413; al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal. 331-332; dan Aqidatus Salaf, karya ash-Shabuni, hal. 83.
[26] al-Washiyah al-Kubra, karya Ibnu, Taimiyah, hal. 58-59; al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal. 324-330; Lam’ atul Itiqad, opcit, hal. 42.
[27] Termasuk di dalamnya aliran-aliran pemikiran, madzhab dan isme-isme modern, seperti Komunisme, Qadyanisme, Bahaisme, dan demikian pula Sosialisme, Sekulerisme dan segenap nasionalisme atau kebangsaan yang berdasarkan Fanatisme kelompok.
[28] Al-Ibanah, karya Al-Asy’ari, hal. 64; Lum’atul I’tiqad, hal. 42-43; Aqidatus Salaf, karya ash-Shabuni, hal. 112; dan Syarhus Sunnah, karya al-Baghawi, hal. 217-230.
[29] Yang dimaksud Jama’ah di sini adalah Ahlus Sunnah, yaitu mereka yang konsisten mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para shahabatnya, para tabi’in dan para pemuka agama terkemuka yang ada pada tiga qurun (tiga generasi) yang utama serta orang-orang yang menempuh jalan mereka hingga hari kiamat baik dalam beraqidah, ucapan maupun dalam beramal. (Lihat pembahasan pertama dari kajian ini).
[30] Syarhus Sunnah, karya al-Baghawi, hal 189-209; al-Washiyyah al-Kubra, karya Ibnu Taimiyah, hal. 74; Syarah al-Aqidah at-Thahawiyah, hal. 458; dan al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal. 242-246.
[31] Syarah al-Aqidah ash-Thahawiyah, hal. 327-330; Lum’atul I’tiqad, al-Maqdisi, hal. 42; al-Ibanah, hal. 64; asy-Syarhu wal Ibanah, karya Ibnu Baththah, hal. 277-280. dll.
[32] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 336; al-Aqidah al-Wasithiyah, hal. 181; Aqidafus Salaf Ashabul Hadits, karya ash-Shabuni, hal. 92-93.
[33] Risalah fil Amri bil Ma’ruf, karya Ibnu Taimiyah.
[34] Lihat Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 258.
[35] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 258, 261-262; al-Ibanah, karya Al-Asyari, hal. 57; Lum’atul I’tiqad, karya Maqdisi, hal. 39.
[36] Al-Ibanah, karya al-Asy’ari, hal. 58; Lum’atul I’tiqad, hal. 39.
[37] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 317; al-Ibanah, hal. 58.
[38] Syarah al-Aqidah ash-Thahawiyah, hal. 321-326; al-Ibanah, hal. 62-63; ‘Aqidatus Salaf, hal 92.
[39] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 331-332; Kitabul Iman, karya al-Adani, hal. 128.
[40] Al-Furqan baina Auliyaui Rahman wa Auliyaisy Syaithan, karya Ibnu Taimiyah, hal. 159-188; an-Nubuwwat, karya Ibnu Taimiyah, hal. 7-10; Syarah al-Aqidah ash-Thahawiyyah, hal. 442-446.
[41] Hadits riwayat Abu ‘Ashim di dalam as-Sunnah dengan beberapa sanad yang shahih. Lihat vol.1, hal. 29, hadits no. 54.
[42] Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah di dalam asy-Syarhu wal Ibanah, hal. 407; dan hadits ini mempunyai banyak syawahid di dalam Musnad Ahmad: 2/338 dan 378; dan al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah: 2/270; dan Al-Albani menilai hasan hadits tersebut di dalam Tarkhrijul Misykat, 1/63.
[43] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim di dalam As-Sunnah dengan banyak sanad, dan dinilai shahih oleh Al-Albani (As-Sunnah: 1/26-27. Hadits no. 47, 48 dan 49. Ibnu Majid di dalam muqaddimahnya, hal. 16, hadits no. 43, 44.
[44] Klaim kelompok Asya’irah dan Maturidiyah beserta yang lainnya bahwasanya mereka adalah Ahlus Sunnah atau termasuk Ahlus Sunnah adalah merupakan klaim yang berlebihan, pengelabuan dan penga-buran. Maka dari itu penulis akan membahas pasal tersendiri pada akhir kajian ini mengenai hal ini.
[45] Yang penulis maksud di sini adalah para da’i, penuntut ilmu dan ulama. Adapun masyarakat awam, maka para ulama salaf berpandangan bahwa mereka tidak dibebani tugas untuk mengetahui segala rincian masalah Aqidah. Cukup bagi mereka mengetahuinya secara global saja. (Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 10-11 dan Dar’u Ta’arudhil ‘Aqli wan Naqli,Ibnu Taimiyah. Vol. 1, hal. 51.
[46] Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mencela suatu perbuatan para shahabatnya tidak menyebut langsung nama pelakunya dan tidak pula dimaksudkan untuk menyebarkan kesalahan orang itu. Beliau hanya berkata: “Kenapa kok kaum ini...” sebagaimana pernah beliau ucapkan: “Kenapa kok ada sekelompok orang yang enggan melakukan apa yang aku lakukan...”. (Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari)
[47] Ini diarahkan kepada kelompok Asya’irah, karena pemikiran mereka menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia Islam.
[48] Penulis katakan “tanpa alasan yang benar”, karena menurut pengetahuan penulis ada sebahagian kaum muslimin yang hidup di beberapa negeri muslim disiksa, diintimidasi dan dilecehkan hak-haknya karena mereka memanjangkan jenggotnya. La haula wala quwwata illa billah.
[49] Lihat kajian pertama dari buku ini.
[50] Tepatnya pada akhir abad ketiga hijriyah, yaitu setelah Imam Abul Hasan al-Asy’ari meninggalkan aqidah Mu’tazilah pada tahun 300 H.
[51] Tabyin Kadzibil Muftari, karya Ibnu Asakir, hal 38-45. Dan Pengantar Syaikh Hammad al-Anshari pada kitab Al-Ibanah ‘an Ushulid diyanah, karya Imam Al-Asy’ari, penerbit: Islamic Univercity in Madinah.
[52] Lihat kedua sumber sebelumnya (Ibid).
[53] Di dalam kitab tersebut Imam al-Asy’ari meyakini madzhab Ahlus Sunnah wal-Jama’ah di dalam semua masalah prinsip aqidah. (Silakan merujuk kitab tersebut karena sudah diterbitkan)
[54] Lihat al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, hal. 52.
[55] Berkat taufiq dari Allah kepada para tokoh terkemuka tersebut, kebanyakan mereka meninggalkan seluruh keyakinan mereka di dalam ta’wil atau sebahagiannya yang menyalahi Aqidah Ahlus Sunnah.
[56] Sebagai contoh, silahkan lihat di dalam kitab Asasut taqdis, karya Fakhrurrazi, hal. 111-19, dan Al-Irsyad, karya Juwaini, hal. 146-154.
[57] Lihat Al-Iqtishad fil I’tiqad, karya al-Ghazali, hal. 12-135; Al-Arbain fi Ushuludin, karya Al-Ghazali, hal. 13-16; Ushuludin, karya Fakhrurrazi, hal. 19-55; Asasut Taqdis, karya fakhrurrazi, hal. 15-49; At-Tauhid, karya Al-Baqlani, hal. 40-50; dan Syarhul Maqashid, karya At-Taftazani, vol. 2, hal 57-68. Telah driwayatkan dari para Imam yang senior, seperti Imam Ahmad, Ibnu Madini, Auzail, Bukhari, Abu Zur’ah, Abu Hatim dan banyak lagi bahwa mereka memperingatkan dari perkataan debat, ta’wil dan ilmu kalam, Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, karya Abi Qashim al-Lalakai, vol. 1, hal. 151-186).
[58] Lihat Ushuludin, karya Fakhrurrazi, hal. 24, dan Al-Irsyad, karya Juwaini, hal. 25-37.
[59] Ushuludin, karya Fakhrurrazi, hal. 24.
[60] Lihat permulaan kitab At-Tauhid dan kitab Lushaf, keduanya karya Al-Baqlain; permulaan kitab Ushuluddin, karya Fakhrurrazi; permulaan kitab Al-Iqtishad fil I’tiqad, karya Ghozali; permulaan kitab Ushuluddin, karya Al-Baghdadi; permulaan kitab Al-Irsyad, karya Juwaini; permulaan kitab Al-I’tiqad wal Hidayah ila Sabilir Rasyad, karya Al-Baihaqi; dan kitab-kitab lain yang menjadi pegangan kaum Asya’irah, semuanya dimulai dengan pemikiran, teori-teori akal, ilmu kalam, menetapkan kaidah-kaidah pemikiran akal dan filsafat, hampir tidak disebutkan tauhid ibadah dan tujuan kecuali hanya sedikit sekali, padahal umat yang dulu dan sekarang ini sangat membutuhkannya.
[61] Lihat Al-Inshaf, hal. 62-126; Ushuludin, hal. 63-67; Al-Arbain fi Ushuluddin, hal. 27-28.
[62] Lihat kitab Al-Iman, karya Ibnu Taimiyah, hal. 100-102; Ushuluddin, hal. 91-105; Al-Iqtishad, hal. 165-179.
[63] Lihat Al-Inshaf, hal. 39-44; Al-Arbain fi Ushuluddin hal. 16-27.
[64] Lihat An-Nubuwwat, karya Ibnu Taimiyah, hal. 100-102; Ushuluddin, hal. 91-105; Al-Iqtishad, hal. 165-179.
[65] Di antara ulama yang banyak menjelaskan permasalahan ini juga meletakan pundamennya adalah syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, silakan lihat beberapa karyanya, di antaranya Al-Aqidah At-Tadmuriyah, Al-Fatwa Al-Hawariyah Al-Kubra, Al-Aqidah Al-Wasithiyah dan lihat pula Majmu’ Fatawa, vol. 4 ha. 1-190.
[66] Lihat pembahasannya yang telah lalu.
[67] lihat kitabnya Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah.
[68] Lihat kitabnya Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah.
[69] Lihat pembahasan pada hal yang terdahulu.
[70] Syarh Ath-Thahawiyah, hal. 150-153.
[71] Ini sangat berbeda dengan tokoh-tokoh Aya’irah pertama, karena mereka lebih dekat kepada Sunnah, mereka belum terkontaminasi dengan sufisme, falsafat dan perdebatan (dialegtika), mereka adalah Ahlus Sunnah di dalam amal dan peribadatannya. Sedangkan kaum Asya’irah masa kini, kebanyakan mereka adalah pembela tarekat-tarekat sufi dan ahlu bid’ah di dalam masalah keyakinan dan peribadatan. Yang demikian itu, karena sikap tasahul (mengampang-gampangkan, kendor) di dalam masalah tauhid uluhiyah di dalam prinsip-prinsip dasar aqidah kaum Asya’irah, sebagaimana telah penulis ungkapkan di atas.
[72] Abul Hasan al-Asy’ari telah memproklamirkan kepatuhannya kepada aqidah salaf di dalam kitabnya “al-Ibanah...”. Silahkan anda pelajari.
[73] Itu hanya sekedar contoh saja, tidak secara pasti, karena untuk menetapkan ketetapan yang sesungguhnya membutuhkan studi yang lebih serius dan secara teliti. Penulis dalam hal ini hanya memberikan contoh saja.
[74] Hadits ini bersumber dari sejumlah besar para shahabat nabi diriwayatkan di dalam shahihain (Bukhari dan Muslim) dan lain-lain dengan redaksi yang berbeda-beda. Lihat: Shahih Bukhari- Fathul Bari, kitab al-Manaqib, bab ke 27 (6/632), Shahih Muslim, kitab: al-Imarat, bab 53. Hadits no. 1920-1924.
[75] Lihat hadits terdahulu di dalam bahasan “Mengenal Ahlus Sunnah”.

1 komentar:

  1. terimakasih
    postingannya cukup membantu saya,
    silahkan mampir ke blog saya http://ibah07.blogspot.com/

    BalasHapus