Secara bahasa Aqîdah berasal dari kata ‘aqd (عقد) yang
berarti mengikat dengan kuat. Ia juga bermakna kokoh dan kuat, saling
berpegangan dan saling berkaitan erat, permanen dan utuh. [1]
‘Aqd juga bermakna janji dan pengukuhan sumpah.
Segala sesuatu yang diyakini di dalam hati secara pasti juga disebut Aqîdah.
Aqîdah dalam istilah umum berarti keyakinan yang pasti dan keputusan
yang final yang tidak ada keraguan di dalam hati. Demikianlah makna aqidah
dalam pengertian yang umum, tanpa melihat kepada bentuk keyakinan yang
diyakini, apakah haq maupun batil. Disebut aqidah karena sesuatu yang diyakini
itu diikat kuat di dalam hati.
Yang dimaksud dengan Aqidah Islam adalah keyakinan yang pasti kepada
Allah, kepada uluhiyah, rububiyah dan kepada asma’ dan sifat-sifat-Nya, beriman
kepada para malaikat, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, hari kemudian dan
taqdir baik maupun yang buruk, juga beriman kepada segala yang diberitakan oleh
nash-nash shahih tentang dasar-dasar agama (ushûluddîn), perkara ghaib, dan
beriman kepada apa yang telah menjadi konsensus (ijma’) as-Salaf ash-Shalih dan
berserah diri kepada Allah di dalam mematuhi hukum, perintah, taqdir dan
syari’at-Nya serta berserah diri kepada Rasul-Nya dengan merealisasikan
kepatuhan, bertahkim (berhukum) dan ber-ittiba’(mengikuti) kepadanya.
Objek kajian ilmu Aqidah:
Aqidah dilihat dari sudut sebagai ilmu, sesuai dengan konsep Ahlus Sunnah
wal Jama’ah, meliputi topik-topik: Tauhid [2], iman, Islam, masalah
ghaibiyat (hal-hal ghaib), kenabian, taqdir, berita-berita (tentang hal-hal
yang telah lalu dan yang akan datang. pent), dasar-dasar hukum yang qath’i
(pasti), seluruh dasar-dasar agama dan keyakinan; dan termasuk pula sanggahan
terhadap Ahlul Ahwa’ wal Bida’, semua aliran dan sekte yang menyempal lagi
menyesatkan serta sikap terhadap mereka.
Disiplin ilmu Aqidah ini mempunyai nama lain yang sepadan dengannya, dan
nama-nama tersebut berbeda antara Ahlus Sunnah dan non Ahlus Sunnah. Di antara
nama-namanya menurut ulama Ahlus Sunnah adalah:
1. ‘Aqidah (I’tiqad dan ‘Aqa’id). Maka sering kita dengar ungkapan:
Aqidah kaum salaf, Aqidah Ahlul Atsar. [3]
2. Tauhid [4] karena pembahasannya berkisar seputar tauhid atau
pengesaan Allah di dalam Uluhiyah, Rububiyah dan Asma’ serta Sifat-Nya. Jadi,
Tauhid merupakan kajian ilmu aqidah yang paling mulia dan merupakan esensinya.
Maka dari itulah ilmu ini disebut ilmu Tauhid menurut salaf.
3. As-Sunnah, [5] as-Sunnah artinya jalan. Aqidah Salaf disebut
As-Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya di dalam masalah aqidah.
4. Ushuluddin [6] dan Ushuluddiyanah. Ushul artinya rukun-rukun Iman,
rukun-rukun Islam dan masalah-masalah yang qath’i serta hal-hal yang telah
menjadi kesepakatan para tokoh ulama.
5. Al-Fiqh al-Akbar. [7] Ini sinonim Ushuluddin, kebalikan dari
al-Fiqh al-Ashghar yang merupakan kumpulan hukum ijtihadi.
6. Asy-Syari’ah. [8] Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah
ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya berupa jalan-jalan
petunjuk, terutama yang paling pokok adalah Ushuluddin (masalah-masalah
aqidah).
Itulah beberapa nama lain dari Ilmu Aqidah yang paling terkenal, dan
adakalanya kelompok selain Ahlus sunnah menamakan aqidah mereka dengan
nama-nama yang dipakai oleh Ahlus Sunnah, seperti sebagian aliran Asya’irah
(Asy’ariyyah), terutama para ahli hadits dari kalangan mereka.
Ada beberapa
istilah lain yang dipakai oleh aliran/ sekte selain Ahlus Sunnah sebagai nama dari
Ilmu Aqidah, yang paling terkenal di antaranya adalah:
1. Ilmu Kalam. Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran
teologis mutakallimin, seperti aliran Mu’tazilah, Asya’irah [9] dan
kelompok yang sejalan dengan mereka. Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu
kalam itu sendiri merupakan suatu hal yang baru lagi diada-adakan dan mempunyai
prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas nama Allah dengan tidak
dilandasi ilmu, dan juga karena bertentangan dengan metodologi ulama salaf
di dalam menetapkan masalah-masalah aqidah.
2. Filsafat: Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang-orang
yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai di dalam
aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan
pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.
3. Tashawwuf: Istilah ini dipakai oleh sebahagian kaum sufi, filosof,
orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka. Ini juga merupakan
penamaan yang baru lagi diada-adakan karena igauan kaum sufi, klaim-klaim dan
pengakuan-pengakuan khurafat mereka dijadikan sebagai rujukan di dalam aqidah.
4. Ilahiyyat (Teologi): Nama yang dipakai oleh mutakallimin, para
filosof, para orientalis dan para pengikutnya. Ini juga merupakan penamaan yang
salah, karena yang mereka maksud adalah filsafat kaum filosof dan
penjelasan-penjelasan kaum mutakallimin tentang Allah Subhanahu wa ta'ala
menurut persepsi mereka.
5. Kekuatan di balik alam Metafisika. Sebutan ini dipakai oleh para
filosof dan para penulis Barat serta mereka yang sejalan dengannya. [10]
Nama ini hampir mempunyai kesamaan dengan istilah Ilahiyyat (teologi).
Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dan prinsip-prinsip atau
pemikiran yang mereka anut sebagai ’aqa’id sekalipun hal itu palsu (batil) atau
tidak mempunyai dasar dalil aqli maupun naqli. Sesungguhnya aqidah itu
mempunyai pengertian yang benar yaitu aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang
bersumber dari al-Qur’an dan Hadits-hadits shahih serta Ijma’ generasi salaf
ash-shalih. Meskipun demikian, Aqidah juga mempunyai pengertian yang keliru,
yaitu seperti keyakinan-keyakinan yang bertentangan atau menyalahi keyakinan
yang datang dari Allah Subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya. Jadi, pengertian
aqidah itu seperti pengertian ad-dien (agama). Ad-Dien al-haq (agama yang haq)
yaitu agama Allah disebut dengan dien (agama), dan begitu pula keyakinan kaum
musyrikin pada agama selain agama Allah disebut dien (agama), sebagaimana
firman Allah :
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Bagimu agamamu dan bagi kami agama kami”. (al-Kafirun :6).
Orang Komunis menganut ideologi dan keyakinan batil, dan ia menyebutnya
aqidah dan agama.
Seorang Budhis menganut keyakinan batil, dan ia menyebutnya aqidah dan
agama.
Seorang Yahudi menganut keyakinan dan pemikiran batil, dan ia menyebutnya
sebagai aqidah dan agama.
Seorang Nasrani menganut keyakinan dan aqidah batilnya, dan ia menyebutnya
sebagai aqidah dan agama.
Adapun aqidah Islam, apabila disebutkan, maka yang dimaksud adalah Aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sebab ia adalah Islam yang telah Allah ridhai sebagai
agama bagi hamba-hamba-Nya.
Klaim sebagian orang dan berbagai sekte (firaq)
dengan segala ‘aqidahnya yang bertentangan dengan aqidah kaum salaf bahwa apa
yang mereka anut itulah Islam yang sebenarnya tidak bisa mewakili aqidah Islam
yang haq. Ia hanyalah keyakinan-keyakinan yang disandarkan kepada para
pelopornya, sedangkan al-Haq sangat bersih dan terbebas darinya. Dan apa yang
oleh sebahagian para pakar disebut “islami” hanyalah dalam rangka label
geografis historis atau sekedar klaim berafiliasi belaka. Dalam artian, bahwa
para pemilik dan penganutnya mengklaim sebagai “Islam” dan menyebutnya
“Islami”, namun semua itu bila diteliti kembali memerlukan ujian, dan ujiannya
adalah disodorkan kepada al-Qur’an dan hadits di dalam masalah Aqidah. Maka
apabila sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits dan memang bersumber dari situ, maka
itulah yang haq dan termasuk dari bagian Aqidah Islam. Dan jika tidak demikian,
maka dikembalikan kepada orangnya dan dinisbatkan kepadanya (tidak boleh
dinisbatkan kepada Islam, Pent).
Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah
As-Sunnah menurut bahasa berarti jalan dan perikehidupan. [11]
As-Sunnah menurut makna istilahnya adalah jalan dan petunjuk yang
ditempuh oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya,
baik berupa ilmu, aqidah, ucapan maupun perbuatan. Itulah Sunnah yang wajib
dipatuhi, orang yang mengamalkannya terpuji dan orang yang menyalahinya dicela.
[12]
As-Sunnah juga kadang bermakna cara-cara ibadah dan cara-cara berkeyakinan,
dan juga bermakna kebalikan dari al-bid’ah. [13]
Al-Jama’ah secara bahasa berasal dari kata al-ijtima’ yang berarti
perkumpulan, lawan dari perpecahan. Jama’ah adalah kaum yang berkumpul
(bersepakat) atas suatu perkara). [14]
Al-Jama’ah dalam makna istilahnya adalah salaful ummah (Generasi
Islam yang pertama). Mereka adalah para shahabat Nabi, para tabi’in dan
orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik hingga hari kiamat. Mereka
adalah orang-orang yang bersepakat kepada al-Qur’an dan al-Sunnah (Hadits)
serta kepada para imam (pemimpin) mereka, mereka menempuh jalan agama yang
ditempuh oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, para shahabatnya dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (at-Tabi’in). [15]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh
kepada sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, yaitu orang-orang yang
bersepakat kepadanya. Mereka secara urut adalah para shahabat, para tabi’in dan
para tokoh dan pemimpin agama yang mengikuti jejak mereka dengan baik serta
orang yang menempuh jalan hidup keberagamaan mereka, baik di dalam masalah
aqidah, ucapan maupun amal hingga hari kiamat kelak. [16] Mereka adalah
orang-orang yang teguh istiqamah ber-ittiba’ (mengikuti cara kaum salaf
beragama) dan selalu menghindari bid’ah di mana dan kapan saja. Mereka akan
selalu ada, tampak dan mendapat pertolongan (dari Allah) hingga hari kiamat
kelak.
Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu adalah orang-orang yang mempunyai sifat
dan karakter mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah di dalam beragama.
Jama’ah di sini tidak bermakna sekelompok manusia dan seluruh orang awamnya,
dan tidak pula bermakna mayoritas kaum muslimin [17] selagi mereka tidak
berkumpul dan bersepakat kepada al-haq (aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah). Sebab
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menyebutkan bahwa golongan yang
tertolong (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) itu hanya satu golongan dari 73 tiga
golongan yang ada, sebagaimana disebutkan di dalam hadits shahih yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
تَفْتَرِقُ الْيَهُوْدُ عَلىَ إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً أَوِ
اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَالنَّصَارَى مِثْلُ ذَلِكَ، وَتَفْتَرِقُ
أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً.
“Kaum Yahudi telah pecah belah menjadi 71 golongan atau 72 golongan, dan
kaum Nasrani seperti itu juga dan umatku akan pecah menjadi 73 golongan.” [18]
Ahlus Sunnah juga kadang dinamai dengan namanya atau sifatnya yang lain yang
berdasarkan kepada hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam atau dengan
nama yang diberikan oleh para imam panutan Ahlus Sunnah. Kadang hanya disebut
“Ahlus Sunnah” saja tanpa dibumbui “wal jama’ah”, dan ada kalanya disebut
“al-Jama’ah” saja sebagai implementasi dari ungkapan Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam sebagaimana di dalam hadits yang diriwayatkan dari sumber
Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ هَذِهِ اْلأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ
فِرْقَةً، كُلُّهَا فِى النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً هِيَ الْجَمَاعَةُ.
“Sesungguhnya ummat (Islam) ini akan terpecah belah menjadi 71 golongan,
semuanya di neraka kecuali satu, yaitu al-Jama’ah.” [19]
Istilah “as-Salaf ash-Shalih” juga sinonim dengan ungkapan “Ahlus
Sunnah wal Jama’ah” menurut terminologi para ahli peneliti. Ahlus Sunnah
juga disebut “Ahlul Atsar”, yang berarti pengikut sunnah yang berasal
dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya.
Mereka juga disebut “Ahlul Hadits”, yaitu orang-orang yang
mengamalkan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam baik secara teori
maupun praktek. Mereka adalah orang-orang yang konsisten mengikuti petunjuknya
lahir dan batin. Maka Ahlus Sunnah, secara keseluruhan dapat disebut Ahlul
Hadits.
Ahlus Sunnah dan ath-Tha’ifah al-Manshurah (golongan yang selamat)
disebut Ahlul Hadits itu telah menjadi hal yang lumrah dan dikenal semenjak
generasi salaf, karena senafas dengan tuntutan nash dan sesuai dengan yang
realitas. Hal itu sudah ditemukan secara sah dari Ibnul Mubarak, Ibnul Madini,
Ahmad bin Hanbal, Imam al-Bukhari, Ahmad bin Sinan dan para imam lainnya.
Semoga Allah meridhai mereka semua. [20]
Banyak juga para ulama yang menamainya dan menjadikannya sebagai judul karya
mereka, seperti kitab: ‘Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits” karya Imam
Isma’il al-Shabuni, wafat tahun 449 H.
Lihat kitab Majmu’ Dakwah Ibnu Taimiyah, juz 4, halaman 9 dan 95. Beliau
menamakan Ahlus Sunnah dengan “Ahlul Hadits”.
Firqah Najiyah adalah golongan yang selamat dari api neraka karena
mereka mengikuti dan patuh kepada Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam nyatakan di dalam
sabdanya: “Dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72
darinya di dalam neraka, dan hanya satu di surga, yaitu al-Jama’ah.”
[21]
Dan demikian pula, banyak sekali para ulama salaf dan para imam Ahlus Sunnah
menamai Ahlus Sunnah dengan nama “al-Firqah an-Najiyah” (golongan yang
selamat). [22] Disebut juga “azh-Zhahirin ‘alal Haq” (orang-orang
yang berdiri di atas kebenaran). Mereka adalah golongan yang selamat yang
disebut oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam sabdanya,
لاَتَزَالُ طَائِفَةْ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ
حَتَّى تَقُوْمَ السَّاَعةُ..
“Akan tetap ada segolongan dari umatku yang teguh berdiri di atas
kebenaran hingga hari kiamat”. [23]
Mereka juga kadang disebut al-Jama’ah, sebagaimana penulis kemukakan
di atas, dan kadang disebut “Ahlul-jama’ah”. [24]
Al-Jama’ah adalah kelompok Ahlus Sunnah yang bersepakat dan berkumpul kepada
al-haq. Al-Jama’ah berasal dari makna perkumpulan lawan perpecahan. Al-Jama’ah
mengandung makna berkumpul, juga berma’na kesepakatan dan persatuan, lawan dari
perselisihan. Ahlus Sunnah itu mempunyai kriteria kesepakatan atas ushuluddin
dan berijma’ kepadanya. Mereka juga bersatu dan bersepakat atas para imam atau
ulama dan para waliyul amri.
Mereka juga disebut “Ahlul Ittiba’” karena cara mereka di dalam
beragama adalah konsisten mengikuti sunnah Nabi secara lahir dan batin, dan
mengikuti jejak as-sabiqun al-awwalun (generasi pertama) dari kaum
Muhajir dan kaum Anshar. Mereka mengikuti wasiat Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam ketika beliau bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ
بَعْدِيْ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Hendaklah kamu berpegang teguh kepada
sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin sepeninggalku. Peganglah ia
erat-erat, gigitlah dengan gigi gerahammu (pertahankanlah). Dan jauhilah
perkara-perkara baru (dalam dien), karena setiap bid’ah itu kesesatan...”. [25]
Catatan Kaki :
[1] Lisanul ‘Arab (‘aqd) vol.3 hal. 295-300.
[2] Mencakup Tauhid Rububiyah, Ilahiyah dan asma’ wash shifat.
[3] Seperti : ‘Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, karya Ash-Shabuni
(wafat 449 H), dan Syarah Ushuli I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karya
al-Lalaka’i (wafat 418H), dan al-I’tiqad, karya al-Baihaqi (wafat 458 H).
[4] Seperti : Kitabut Tauhid, di dalam Shahih Bukhari (wafat 256 H),
Kitabut Tauhid wa Itsbat Shifatir Rabb, karya Ibnu Khuzaimah (wafat 311H),
Kitab I’tiqadit Tauhid, karya Abu Abdillah Muhammad bin Khafif (wafat 371 H),
Kitabut Tauhid, karya Ibnu Mandah (wafat 359) dan Kitabut Tauhid, karya
Muhammad bin Abdul Wahhab.
[5] Seperti Kitabus Sunnah, karya Imam Ahmad (241 H), Kitabus Sunnah,
karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat 290 H), as-Sunnah, karya al-Khallal (311
H), as-Sunnah, karya al-’Assal (wafat 349 H), as-Sunnah, karya al-Asyram (wafat
273 H), dan as-Sunnah, karya Abi Daud, (wafat 275 H).
[6] Seperti Kitab Ushuluddin, karya al-Baghdadi (wafat 429 H),
asy-Syarhu wal Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, karya Ibnu Baththah (wafat 378 H),
dan al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, karya al-Asy’ari (wafat 324 H).
[7] Seperti Kitab al-Fiqh al-Akbar, karya Imam Abu Hanifah (wafat 150
H).
[8] Seperti Kitab asy-Syari’ah karya al-Ajurri (wafat 360 H), dan
al-Ibanah ‘an Syari’atil Firqah an-Najiyah, karya Ibnu Baththah, (wafat 378 H).
[9] Seperti Syarhul Maqashid fi ‘Ilmil Kalam, karya at-Taftazani (791
H).
[10] al-Mausu’ah al-’Arabiyah al-Muyassarah, hal. 1794.
[11] Mukhtarus Shihah (sanana), hal. 317; dan Lisanul Arab (sanana)
juz 13 hal. 220-228.
[12] Al-Washiyah al-Kubra fi ‘Aqidati Ahlus sunnah wal Jama’ah, hal.
23; Syarah al-Aqidah al-Wasithiyyah, karya Muhammad Khalil Harras, hal. 16; dan
Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 33.
[13] Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, karya Ibnu Taimiyyah,
hal. 77.
[14] Lisanul Arab (jama’a), vol.8, hal. 53-60.
[15] Al-i’tisham, karya al-Syathibi, vol. 1, hal. 28; Syarah
al-Aqidah al-Wasithiyah, karya Muhammad Khalil Harras, hal. 16-17; dan Syarah
al-Aqidah at Thahawiyah, hal. 33.
[16] Syarah Aqidah Thahawiyah, hal. 330; dan Rasa’il fil Aqidah,
karya Muhammad Al-Utsaimin, hal. 53.
[17] Kecuali generasi shahabat Nabi dan tabi’in. Sebab mereka adalah
as-sawad al-a’zham (kaum mayoritas) pada saat itu yang berada di dalam al-haq,
karena masa mereka berdekatan dengan masa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam juga karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah memberi
rekomendasi terhadap mereka, sebagai generasi yang utama. Adapun generasi yang
datang berikutnya tidak menjadi ukuran sekalipun jumlahnya lebih banyak. Banyak
sekali hadits-hadits yang menjelaskan bahwa pada generasi berikutnya akan
dipenuhi oleh berbagai keburukan dan perpecahan hingga menjadi 73 golongan, dan
bahwasanya Islam itu akan kembali asing, dst.
[18] Hadits riwayat Abu Daud di dalam Kitabus Sunnah, hadits no.
4596. Ibnu Majah, bab : Iftiraqul umam, hadits no. 3991; at-Turmudzi di dalam
Kitabul ‘Iman, bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, hadits no. 2640 dan ia berkomentar:
Ini adalah hadits hasan shahih.
[19] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim di dalam kitab “as Sunnah”
vol.1, hal. 33. Al-Albani mengatakan: “Hadits shahih karena yang sebelum dan
sesudahnya” setelah beliau menyebutkan beberapa sanad lain bagi hadits di atas.
[20] Lihat Silsilatul Ahadits ash Shahihah, jilid I bagian ke tiga,
hal. 134-137, hadits no. 270; dan Sunan at-Turmudzi, Kitabul Fitan, hadits no.
2229.
[21] HR. Abu Daud, bab Syarhus Sunnah, hadits no. 4597 jilid V, hal.
5 dan 6 dari sanad Mu’awiyah; dan Imam Ahmad dengan sanad shahih dari Anas bin
Malik, (Musnad, 3/120). Hadits di atas mempunyai syahid (hadits lain yang
menguatkan dari sisi sanad) di dalam Sunan at-Turmudzi, di dalam Kitabul Iman,
hadits no. 2640; dan di dalam kitab al-Mustadrak, karya al-Hakim, kitabul Ilmi
jilid I, hal. 128-19. Al-Albani menilai hadits tersebut shahih sebagaimana
dimuat di dalam “Silsilah al-Al-Hadits ash-Shahihah” jilid I, hadits no. 204.
[22] Lihat Syarah al-Aqidah al-Wasithiyyah karya Muhammad Khalil
Harras, hal. 16
[23] Hadits riwayat Muslim, at-Turmudzi, Ibnu Majah dan al-Hakim.
[24] Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, hal. 180.
[25] Hadis riwayat Ibnu Abi Ashim di dalam Kitabus Sunnah, jilid I,
hal.19-29 hadits no. 31, 54 dan dinilai shahih oleh Al-Albani. Semua perawinya
tsiqat, hadits ini diriwayatkan juga di dalam kitab-kitab as-sunnah dan musnad.
Lihat pula Syarah al-Aqidah al-Wasithiyyah, karya Muhammad Khalil Harras, hal.
179-180
1. Sejarah Aqidah Tauhid dan Kapan Mulai Terjadi Penyimpangan
Aqidah Tauhid itu adalah ad-Dien al-Hanif (agama yang suci), agama
yang lurus, agama fitrah yang telah difitrahkan Allah kepada manusia. Agama
Tauhid ini ada bersama dengan adanya manusia itu sendiri, sebagaimana
ditegaskan oleh dalil yang pasti (qath’i), yaitu al-Qur’an al-Karim yang
merupakan sumber sejarah yang paling otentik dan paling valid. Allah berfirman,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ
النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”. (Ar-Rum: 30)
Nabi Adam ‘alaihis salam itu telah difitrahi aqidah yang lurus dan Allah
telah mengajarkan kepadanya hal-hal yang tidak ia ketahui tentang urusan agama
dan dunia. Maka Nabi adam ‘alaihis salam adalah seorang yang bertauhid,
mengesakan Allah Subhanahu wa ta'ala. Dengan tauhid yang murni, seraya meyakini
bagi Allah apa yang wajib bagi-Nya, seperti kewajiban mengagungkan dan
mematuhi-Nya, berharap dan takut kepada-Nya. Allah telah memilihnya dari
segenap hamba-hamba-Nya yang tulus. Allah berfirman,
إِنَّ اللهَ اصْطَفَى ءَادَمَ وَنُوحًا وَءَالَ إِبْرَاهِيمَ وَءَالَ
عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan
keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing).” (Ali
‘Imran: 33)
Dengan hal itu, Allah memuliakannya dan memerintahkan para malaikat sujud
kepadanya, sebagaimana firman-Nya:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لأَدَمَ
“Dan ingatlah, ketika Kami berkata kepada malaikat: Sujudlah kamu kepada
Adam”. (al-Baqarah: 34)
Dan Allah Subhanahu wa ta'ala telah mengambil janji dan sumpah setia dari
anak-cucu Nabi Adam (manusia) bahwa Allah adalah Rabb (Tuhan) mereka, dan Allah
telah mempersaksikannya terhadap diri mereka semenjak awal ciptaan mereka
ketika mereka masih berada di dalam tulang sulbi (rusuk) bapak-bapak mereka.
Allah berfirman,
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ
ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا
بَلَى شَهِدْنَآ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا
غَافِلِينَ {172} أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبْلُ
وَكُنَّا ذُرِّيَةً مِّن بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنًا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ
“Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan ketu-runan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): “Bukan Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
“Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan mem-binasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu”. (al-A’raf:172-173)
“Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan mem-binasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu”. (al-A’raf:172-173)
Semua manusia dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan fitrah (bertauhid) dan
ia akan tumbuh dalam keadaan seperti itu selagi tidak ada hal-hal yang
memalingkan dan menyesatkannya, seperti terdidik atas kekufuran dan kesesatan,
membuntut kepada hawa nafsu dan rayuan setan, syubhat orang zhalim dan syahwat
serta kecintaan pada dunia. Sebuah hadits qudsi menjelaskan :
وَأَنِّيْ خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ
أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَّمَتْ
عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ، وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوْا بِيْ مَا لَمْ
أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا.
“Aku (Allah) telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan bertauhid
seluruhnya, namun mereka didatangi syetan, lalu menyeret mereka dari agama yang
mereka anut. Syetan pun mengharamkan bagi mereka apa yang Aku halalkan bagi
mereka dan syetan memerintah mereka agar mempersekutukan Aku dengan sesuatu
yang tidak pernah Aku berikan pembenaran...”[1]
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memberitakan tentang hal itu,
seraya bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ
يَهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهَ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.
“Tiadalah seorang bayi yang dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah
(bertauhid). Maka kedua ibu-bapak-nyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani
atau Majusi.” [2]
Terhadap hal ini Allah Subhanahu wa ta'ala mengisyaratkan dengan firman-Nya:
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللهُ النَّبِيِّينَ
مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka
Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi
peringatan”. (al-Baqarah: 213)
Maksudnya: Manusia pada awalnya berada di atas al-haq dan petunjuk sebagai satu ummat yang menganut satu agama, namun kemudian mereka berselisih. Demikianlah kebanyakan ulama salaf menafsirkan ayat di atas. [3]
Maksudnya: Manusia pada awalnya berada di atas al-haq dan petunjuk sebagai satu ummat yang menganut satu agama, namun kemudian mereka berselisih. Demikianlah kebanyakan ulama salaf menafsirkan ayat di atas. [3]
Kemudian, pada masa Nabi Nuh ‘alaihis salam tersebarlah kesyirikan
(penyekutuan terhadap Allah-pen.) di tengah-tengah masyarakatnya. Mereka
menyembah berhala. Maka dari itu Allah berfirman tentang Nabi Nuh:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ
مُّبِينٌ {25} أَن لاَّتَعْبُدُوا إِلاَّاللهَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata):
“Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu
tidak menyembah selain Allah”. (Hud: 25-26)
Dengan demikian sangat jelas sekali bahwa sesungguhnya aqidah yang lurus dan
tauhid yang murni itu merupakan dasar di dalam sejarah manusia. Kesyirikan,
kesesatan dan penyembahan terhadap berhala itu adalah merupakan hal yang baru
datang kemudian, setelah beberapa abad sesudah Nabi Adam ‘alaihis salam* Wallahu
a’lam.
2. Aqidah Tauhid di Dalam Misi Dakwah Para Rasul Secara Umum
2. Aqidah Tauhid di Dalam Misi Dakwah Para Rasul Secara Umum
Jika kita cermati kisah-kisah (da’wah) para rasul yang diceritakan di dalam
al-Qur’an dan apa yang terjadi bagi mereka bersama umatnya, kita akan dapatkan
bahwasanya mereka semuanya menyeru umatnya pada satu seruan, yaitu menyeru
mereka untuk menyembah Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dan menyeru mereka
agar menjauh dari kesyirikan (penyekutuan terhadap Allah) sekalipun syari’at
mereka berbeda-beda. [4]
Bahkan, masalah da’wah atau menyeru kepada tauhid dan mengajak untuk
menghindari kesyirikan dengan segala sarananya itu adalah merupakan problem
pertama yang diberitakan di dalam al-Qur’an antara para utusan Allah dengan
umatnya. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman seraya memberitakan apa yang
diserukan oleh para rasul:
وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ
أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami
wahyukan kepadanya: “Bahwasanya Tidak ada tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka
sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (al-Anbiya’: 25)
Firman Allah:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ
وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ [r/]
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. (an-Nahl:
36)
Firman-Nya juga:
يُنَزِّلُ الْمَلاَئِكَةَ بِالرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَن يَشَآءُ
مِنْ عِبَادِهِ أَنْ أَنذِرُوا أَنَّهُ لآإِلَهَ إِلآأَنَا فَاتَّقُونِ
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya
kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu:
“Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada tuhan (yang haq)
melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku”. (an-Nahl: 2)
Jadi, seruan dan da’wah yang paling awal yang dilakukan oleh semua Rasul itu
adalah da’wah kepada tauhid, yaitu hanya beribadah kepada Allah semata,
bertaqwa dan ta’at kepada-Nya serta patuh kepada Rasul-Nya. Selain Allah
menjelaskan hal itu secara general (umum) juga Allah memberitakan tentang
sebahagian mereka secara rinci, seperti berita tentang Nabi Nuh yang berkata
kepada kaumnya, seraya berfirman:
يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلاَهٍ غَيْرُهُ
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain
Dia”. (al-A’raf: 59)
Tentang Nabi Hud di kala berkata kepada kaumnya, seraya berfirman:
يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain
Dia”. (al-A’raf: 65)
Tentang Nabi Shalih ketika ia berkata kepada kaumnya, seraya berfirman:
يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلاَهٍ غَيْرُهُ
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain
Dia”. (al-A’raf: 73)
Begitu pula tentang Nabi Syu’aib yang berkata kepada kaumnya, seraya
berfirman:
يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلاَهٍ غَيْرُهُ
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain
Dia”. (al-A’raf: 85)
Tentang Nabi Ibrahim yang berkata kepada kaumnya, seraya berfirman:
اعْبُدُوا اللهَ وَاتَّقُوهُ
“Sembahlah Allah dan bertaqwalah kepada-Nya”. (al-Ankabut:16)
Seruan atau berda’wah kepada tauhid, memperingatkan akan bahaya kesyirikan
dan seruan kepada perbaikan aqidah adalah merupakan fundamen asasi di dalam
dakwah para rasul, mulai dari utusan Allah yang pertama, yaitu Nabi Nuh
‘alaihis salam sampai nabi terakhir, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallam. Inilah misi utama yang dengannya segala urusan dunia dan agama akan
menjadi baik. Maka apabila aqidah manusia benar dan lurus, niscaya mereka
tunduk hanya kepada Allah semata, ta’at kepada Rasul-Nya dan istiqamah di dalam
menjalankan syari’at-Nya berdasarkan petunjuk dan ilmu yang jelas. Maka dengan
begitu segala urusan agama dan dunia mereka menjadi baik dan lurus.
Tetapi bukan berarti bahwa para Rasul Allah itu tidak memperhatikan
perbaikan pada sendi-sendi lain yang rusak, dan tidak juga bermakna bahwa
mereka tidak mengajak kepada keutamaan-keutamaan yang lain. Mereka juga telah
datang dengan mengajarkan ajaran-ajaran dan syari’at dari Allah yang harus
dijadikan pedoman oleh umat manusia, ajaran dan syari’at yang dapat memperbaiki
segala urusan kehidupan dunia mereka. Mereka juga mengajak kepada yang ma’ruf,
menyerukan perdamaian dan keadilan, dan mencegah kemunkaran, perbuatan merusak
dan kezhaliman. Mereka memerintahkan kepada setiap kebaikan dan keutamaan dan
melarang setiap kejahatan, keburukan dan kekejian, baik secara rinci maupun
global.
Namun, keutamaan yang paling agung adalah tauhid, mengesakan Allah Subhanahu
wa ta'ala dan bertaqwa kepada-Nya, dan kerusakan yang paling besar adalah berbuat
syirik terhadap Allah. Dan kesyirikan itulah kezhaliman yang paling besar. Maka
dari itu masalah ini menjadi misi paling utama yang diemban oleh para Rasul.
Demikianlah, maka setiap dakwah yang tidak berdiri di atas dasar ini (aqidah
tauhid), kapan dan di mana saja, maka sesungguhnya dakwah itu adalah dakwah
yang lemah lagi kurang dan dikhawatirkan nasibnya dikemudian hari adalah
kegagalan atau penyimpangan dari jalan yang lurus, atau bahkan kedua-duanya.
Sebab Aqidah Tauhid merupakan dasar yang paling pokok dari dasar-dasar agama,
yang apabila diabaikan oleh umat manusia, maka niscaya mereka terperosok ke
dalam lembah bencana syirik dan bid’ah. Kita memohon kepada Allah semoga Dia
mengaruniakan keselamatan kepada kita semua dari hal itu.
3. Aqidah TAuhid di Dalam Dakwah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam
3. Aqidah TAuhid di Dalam Dakwah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam
Apabila kita renungkan al-Qur’anul Karim dan sejarah perjalanan hidup
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam berdakwah, niscaya kita akan
sampai pada suatu kenyataan yang sangat jelas sekali, yaitu:
·
Kebanyakan ayat-ayat al-Qur’anul
Karim itu membicarakan dan memantapkan aqidah tauhid, yaitu tauhid uluhiyah,
tauhid rububiyah, tauhid asma’ wa sifat, dan dakwah kepada kemurnian dan
ketulusan beribadah dan tunduk hanya kepada Allah shallallahu 'alaihi wasallam
semata, tiada sekutu bagi-Nya serta pemantapan dasar-dasar aqidah dan keyakinan
(iman dan Islam).
·
Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam setelah diutus menjadi rasul menghabiskan kebanyakan waktunya untuk
memantapkan keyakinan dan aqidah serta berdakwah menyeru kaumnya untuk
beribadah dan tunduk hanya kepada Allah Subhanahu wa ta'ala semata. Dan ini
merupakan konsekuensi dari La Ilaha Illallah, Muhammad Rasulullah.
Jadi, seruan kepada Aqidah, baik dalam rangka pengukuhan (ta’shil) maupun
dalam rangka meluruskan itu mencakup bagian yang paling besar dari upaya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan waktunya di saat beliau menjadi
nabi.
Untuk lebih jelasnya simak pembahasan berikut ini:
·
Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam menghabiskan waktu selama 23 tahun untuk berda’wah
kepada Allah –ini adalah masa kenabian beliau- 13 tahun darinya di Mekkah yang
beliau habiskan untuk berdakwah dalam rangka merealisasikan “La ilaha
illallah wa Muhammad Rasulullah”. Maksudnya berdakwah menyeru kaumnya agar
bertauhid kepada Allah Subhanahu wa ta'ala hanya beribadah dan beruluhiyah
kepada-Nya semata, tiada sekutu bagi-Nya dan menumpas habis kesyirikan dan
penyembahan kepada berhala serta segenap perantara, serta memberantas bid’ah
dan segala bentuk keyakinan dan kepercayaan yang rusak.
10 tahun di antaranya beliau habiskan di Madinah.
Masa ini dibagi-bagi untuk menetapkan hukum-hukum syar’i, memantapkan aqidah
dan iman, mengokohkannya, melindunginya dari berbagai syubhat dan berjihad
fisabilillah dalam rangka menebarkan aqidah. Artinya, bahwa kebanyakan masa 10
tahun itu digunakan untuk mengukuhkan aqidah tauhid dan dasar-dasar agama
(ushuluddin), yang di antaranya adalah berdebat dengan Ahlul Kitab (Yahudi dan
Nasrani), menjelaskan kepalsuan aqidah mereka, membabat syubhat-syubhat mereka
dan syubhat-syubhat kaum musyrikin, membendung tipu daya mereka dari Islam dan
kaum muslimin. Semua itu dalam rangka menjaga dan memelihara Aqidah. Maka
dakwah apapun yang tidak memberikan perhatian kepada masalah aqidah sebagaimana
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberikan perhatian kepadanya, baik
secara teori maupun secara praktik, maka dakwah itu adalah dakwah yang pincang.
·
Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam berperang adalah dalam rangka tegaknya aqidah,
yaitu aqidah tauhid, agar agama (kepatuhan) hanya kepada Allah semata. Itulah
Aqidah yang terekspresikan di dalam kesaksian bahwa tiada tuhan yang berhak
disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Sekalipun pada saat itu
berbagai kerusakan dan keburukan mendominasi kehidupan, namun Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam tetap menjadikan tujuan perang adalah
merealisasikan tauhid dan rukun-rukun Islam. Beliau telah bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا
الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ
دِمَاءَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.
“Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga
mereka mau bersaksi bahwa ‘tiada tuhan yang haq selain Allah dan bahwasanya
Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat dan menunaikan zakat’, maka
jika mereka melakukan hal itu berarti mereka telah menyelamatkan darah mereka
dariku, kecuali dengan hak Islam, sedangkan urusan batin mereka diserahkan
kepada Allah.” [5]
Itu tidak berarti bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam tidak mengindahkan masalah-masalah lain, seperti berda’wah
atau menyeru kepada keutamaan, budi pekerti dan akhlak mulia (seperti: berbuat
kebajikan, menjalin hubungan silaturrahmi, tepat janji dan amanah) serta
mengajak manusia untuk meninggalkan lawannya, berupa perbuatan dosa kecil dan
dosa besar seperti riba, zina, zhalim dan memutus hubungan silaturrahmi. Sama
sekali tidak berarti seperti itu. Hanya saja beliau menempatkannya dalam urutan
kedua, yaitu sesudah ushul i’tiqad (dasar-dasar aqidah). Sebab beliau
sebagai qudwah (teladan, anutan) sadar betul bahwasanya mana-kala
manusia ini istiqamah pada dienullah, tulus ikhlas, patuh dan beribadah
hanya kepada-Nya semata, niscaya niat dan amal mereka menjadi baik, mereka
lakukan berbagai kebajikan, mereka tinggalkan segala bentuk larangan agama,
mereka mengajak kepada kebaikan sehingga kebaikan benar-benar mendominasi
kehidupan mereka dan niscaya mereka mencegah kemungkaran sehingga tidak
mendominasi kehidupan mereka.
Jadi, sumber segala kebajikan dan kebaikan itu
sangat tergantung kepada lurusnya Aqidah. Apabila aqidah manusia ini benar,
niscaya mereka istiqamah pada al-haq dan kebaikan. Namun, manakala aqidah tidak
benar, niscaya kondisi mereka rusak dan yang mendominasi kehidupan mereka
adalah nafsu dan perbuatan dosa serta kemungkaran sangat mudah terjadi bagi mereka.
Kepada hal ini hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengisyaratkan:
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ
صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ
وَهِيَ الْقَلْبُ.[r/]
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad itu ada
segumpal darah, apabila ia baik, maka baik pulalah seluruh jasad. Dan apabila
ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah
hati.” [6]
Di samping Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menyeru dan mengajak kepada ketulusan agama kepada Allah semata (tauhid) dan
memerangi manusia agar mereka mengikrarkan Kalimat Tauhid, beliau juga mengajak
kepada seluruh akhlak mulia dan budi pekerti yang luhur, secara global dan
secara rinci, beliau juga melarang lawannya secara global dan secara rinci
pula.
Di samping perhatian beliau kepada ishlahuddin
(perbaikan agama), beliau juga berbuat untuk perbaikan dunia mereka, namun
beliau lakukan dalam urutan setelah urutan perhatian kepada masalah ‘aqidah dan
ketulusan beragama hanya kepada Allah semata. Ini adalah kenyataan yang banyak
tidak diketahui atau sengaja dilupakan oleh orang-orang yang tidak setuju
dengan masalah ini.
·
Jika kita cermati dan merenung
al-Qur’anul Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallam sebagi rahmat dan jalan kehidupan (the way of life) bagi kaum
muslimin hingga hari pembalasan kelak, niscaya kita temukan bahwa mayoritas
ayat al-Qur’an itu membicarakan masalah ‘Aqidah dan penegasan akan
dasar-dasarnya serta penetapan ibadah, penyembahan dan kepatuhan itu hanya
kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dan mengikuti Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam.
Sesungguhnya perintah pertama yang dibawa al-Qur’an
dan perintah Allah dan Rasul-Nya yang harus dilakukan adalah membesarkan dan
mengagungkan Allah Subhanahu wa ta'ala semata, memberikan peringatan kepada
manusia akan perbuatan syirik (menyekutukan Allah), mensucikan diri dari dosa
dan maksiat dan mengasingkan diri dari kebiasaan penyembahan kepada berhala
yang dilakukan oleh orang-orang kafir musyrikin serta sabar dan tabah di dalam
menjalankan semua itu.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ {1} قُمْ فَأَنذِرْ {2}
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ {3} وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ {4} وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ {5}
وَلاَتَمْنُن تَسْتَكْثِرُ {6} وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ
“Hai orang yang berkemul (berselimut),
bangunlah, lalu berilah peringatan. Dan Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu
bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan
janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhan-mu, bersabarlah.” (al-Muddatstsir: 1-7)
Kemudian al-Qur’an pun terus diturunkan
ayat-ayatnya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sepanjang
keberadaan beliau di Makkah untuk mengukuhkan dan memantapkan ‘aqidah,
berdakwah kepada ketulusan ibadah dan agama hanya kepada Allah semata dan patuh
mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Oleh karenanya, kita temukan kebanyakan ayat-ayat
al-Qur’an itu berbicara tentang aqidah, baik dengan ungkapan yang jelas maupun
dengan isyarat, dimana kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an itu datang dalam rangka
penetapan tauhid uluhiyah dan memurnikan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa
ta'ala semata, tauhid rububiyah, asma wa shifat, dasar-dasar iman dan Islam,
perkara-perkara ghaib, taqdir (baik dan buruknya), hari kemudian (kiamat), dan
surga, penghuni dan kenikmatannya, neraka, penghuni dan adzab di dalamnya
(janji dan ancaman). Semua dasar-dasar aqidah itu berkisar seputar hal-hal
tersebut.
Para ulama telah menyebutkan bahwa al-Qur’an itu
(terdiri dari): sepertiganya adalah hukum, sepertiga lagi adalah berita
(akhbar) dan sepertiga yang lain adalah tauhid. [7] Ini meruapakan
tafsiran mereka terhadap sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam “Qulhuwallahu
ahad itu setara dengan sepertiga isi al-Qur’an.” [8]
Hal itu karena sesungguhnya surat “Qulhuwallahu
ahad” itu meliputi ajaran tauhid yang teragung dan mensucikan Allah
Subhanahu wa ta'ala.
Ayat-ayat yang membicarakan hokum tidak pernah
lepas dari pembicaraan mengenai aqidah dan dasar-dasar agama (ushuluddin). Hal
itu melalui nama-nama dan sifat-sifat Allah yang disebutkan, melalui perintah
taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya dan penjelasan tentang hikmah
(rahasia) di balik tasyri’ (penetapan hukum) dan lain-lainnya.
Demikian pula, ayat-ayat yang berbicara tentang
berita dan kisah-kisah (sejarah) kebanyakannya di dalam rangka membicarakan
iman dan aqidah. Hal itu tampak di dalam berita-berita tentang masalah-masalah
yang ghaib, ancaman, hari Kiamat dan yang serupa dengannya.
Dengan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa
al-Qur’anul Karim, mayoritas ayat-ayatnya membicarakan penetapan aqidah,
berdakwah kepadanya, mempertahankannya dan berjihad demi aqidah.
Dan dengan demikian kita sampai pada suatu
kesimpulan yang jelas, yaitu bahwa kewajiban para da’i (aktivis dakwah) yang
menjadikan al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai
pedomannya adalah menyadari dan mengetahui kenyataan ini dari al-Qur’an dan
sunnah, lalu mereka mengamalkannya sebagaimana diamalkan oleh Rasulullah n dan
para shahabatnya. Allah jualah yang memberikan petunjuk kepada jalan yang
lurus.
4. Sumber (Referensi) Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Aqidah itu mempunyai dua sumber rujukan (referensi), yaitu:
- Al-Qur’anul Karim dan
- hadits-hadits shahih Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam itu berbicara tidak berdasarkan hawa
nafsu, melainkan wahyu yang diwahyukan.
Adapun Ijma’ ulama salaf juga merupakan sumber yang dasarnya adalah
al-Qur’an dan Hadits. [9]
Sedangkan fitrah dan akal sehat, keduanya merupakan pendukung yang sesuai
dengan al-Qur’an dan Hadits. Keduanya (fitrah dan akal) mengetahui dasar-dasar
aqidah secara global saja, tidak secara rinci. Maka akal dan fitrah, keduanya
mengetahui wujud Allah, keagungan-Nya, keharusan taat dan beribadah hanya
kepada-Nya, Allah bersifat Agung lagi Mulia, namun secara global.
Sebagaimana halnya pula, akal sehat dan fitrah yang suci mengetahui
keharusan adanya kenabian dan pengutusan para rasul dan keharusan adanya
kebangkitan dan pembalasan terhadap amal perbuatan (di hari Kiamat) secara
global, tidak secara rinci.
Akan tetapi, semua itu dan semua perkara-perkara ghaib, tidak ada jalan
untuk mengetahuinya sedikitpun darinya secara rinci kecuali melalui jalan
al-Qur’an dan Hadits (wahyu), sebab jika tidak, maka ia tidak disebut sebagai
hal yang ghaib.
Bertolak belakangnya nash sharih (yang jelas) dari al-Qur’an atau
Hadits dengan akal sehat itu sama sekali tidak mungkin terjadi dan mustahil.
Apabila ada rasa seolah-olah itu ada, maka wahyu atau nash harus diutama-kan
dan dijadikan patokan, karena nash itu datang atau bersumber dari orang yang
ma’shum (terpelihara dari kesalahan), yaitu Nabi Muhammad n, sedangkan akal
tidak mempunyai jaminan terpelihara dari kesalahan. Akal hanyalah merupakan
pandangan manusia yang lemah (tidak sempurna) [10], manusia sangat mudah
keliru, salah, lupa, mengikuti nafsu, bodoh dan lemah. Jadi, manusia itu sudah
secara pasti merupakan makhluk yang lemah dan tidak sempurna.5. Beberapa
Karakteristik Aqidah Islam dan Penganutnya
Sesungguhnya orang yang mau berfikir obyektif, jika ia melakukan
perbandingan antara berbagai keyakinan yang ada di antara umat manusia saat
ini, niscaya ia menemukan beberapa karakter dan ciri-ciri bagi aqidah Ahlus
Sunnah, yang membedakannya dan membedakan para penganutnya dengan jelas dari
keyakinan-keyakinan agama-agama, sekte atau aliran-aliran keagamaan lainnya.
Karakter dan ciri-ciri itu diantaranya:
·
Keotentikan sumbernya. Hal itu
karena Aqidah Ahlus Sunnah bersandarkan kepada al-Qur’an, Hadits dan ijma’ para
ulama salaf serta penjelasan dari mereka saja.
Ciri ini tidak terdapat pada aliran-aliran mutakallimin,
ahli bid’ah dan kaum sufi yang selalu bersandar kepada akal dan pemikiran atau
kepada kasyaf, ilham, wujd dan sumber-sumber lain yang berasal dari manusia
yang lemah yang mereka jadikan sebagai patokan atau sandaran di dalam
masalah-masalah yang ghaib. Padahal aqidah itu semuanya ghaib.
Sedangkan Ahlus Sunnah selalu berpegang teguh
kepada al-Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ijma’ kaum
salaf shalih dan penjelasan-penjelasan dari mereka. Jadi, aqidah apa
saja yang bersumber dari selain al-Qur’an, hadits, ijma’ salaf dan penjelasan
mereka itu maka ia adalah kesesatan dan kebid’ahan.
Orang-orang yang mengklaim bahwasanya mereka
merujuk suatu ajaran agama berdasarkan akal dan fikiran atau berdasarkan ilmu
kalam dan falsafat atau ilham, kasyaf dan wujd, atau mimpi dan khayalan, atau
melalui orang-orang yang dianggap ma’shum (selain nabi) atau beranggapan
menguasai ilmu ghaib (dari kalangan tokoh, pemimpin, wali qutub, ghauts dll.)
atau mereka beranggapan bahwa boleh bagi mereka mempraktekkan hukum buatan
manusia dan undang-undang yang mereka buat. Maka siapa saja yang beranggapan
seperti itu, sesungguhnya ia telah melakukan kedustaan yang sangat besar
terhadap Allah Subhanahu wa ta'ala. Maka kami katakan kepada orang yang
beranggapan (baca: berkeyakinan) seperti itu sebagaimana yang difirmankan Allah
shallallahu 'alaihi wasallam kepada orang yang berbicara tentang Allah tanpa dasar
ilmu:“Katakanlah: Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang
benar”. (al-Baqarah: 111)
[Bagaimana mungkin ia dapat memberikan argumentasi
selain syubhat-syubhat syetan.
Karakter dari ciri ini, yakni bersandar kepada
al-Qur’an, Hadits dan metode salaf shalih adalah merupakan salah satu kekhasan
Ahlus Sunnah. Nyaris tidak ada perselisihan di kalangan mereka kapan dan di
manapun juga. Segala puji hanya milik Allah.
·
Berpegang teguh kepada prinsip
berserah diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dan kepada Rasul-Nya. Sebab,
Aqidah adalah masalah ghaib, dan hal yang ghaib itu hanya tegak dan bersandar
kepada kepasrahan (taslim) dan keyakinan sepenuhnya (mutlak) kepada
Allah Subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya. (Maksudnya, apa yang diberitakan Allah
dan Rasul-Nya diterima dan diyakini sepenuhnya, pen.). Taslim merupakan
ciri dan sifat kaum beriman yang karenanya mereka dipuji oleh Allah, seraya
berfirman:“Alif Lam Mim, Kitab al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang
ghaib.” (al-Baqarah: 1-2)
Perkara ghaib itu tidak dapat diketahui atau
dijangkau oleh akal, maka dari itu Ahlus Sunnah membatasi diri di dalam masalah
aqidah kepada berita dan wahyu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Hal ini
sangat berbeda dengan para Ahli bid’ah dan Ahli Kalam (mutakallimin). Mereka
menyelami masalah yang ghaib itu dengan berbagai dugaan. Tidak mungkin mereka
akan mengetahui masalah-masalah ghaib. Mereka tidak melapangkan akal mereka [11]
dengan taslim, berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak pula
menyelamatkan aqidah mereka dengan ittiba’ dan mereka tidak membiarkan
awam kaum muslimin berada pada fitrah yang telah Allah fitrahkan kepada mereka.
·
Sejalan dengan fitrah yang suci
dan akal yang sehat. Hal itu karena aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah berdiri di
atas prinsip ittiba (mengikuti), Iqtida’ (meneladani) dan
berpedoman kepada petunjuk Allah Subhanahu wa ta'ala, bimbingan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dan aqidah generasi terdahulu (salaful ummah).
Aqidah Ahlus sunnah bersumber dari sumber fitrah yang suci dan akal yang sehat
itu sendiri serta pedoman yang lurus. Betapa sejuknya sumber rujukan ini.
Sedangkan aqidah dan keyakinan golongan yang lain
itu hanya khayalan dan dugaan-dugaan yang mem-butakan fitrah dan membingungkan
akal belaka.
·
Matarantai sanadnya sampai kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, para shahabatnya dan para tabi’in
serta para tokoh pemuka agama. Tidak ada –alhamdulillah- satu dasar pun
dari dasar-dasar aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang tidak mempunyai dasar
atau sanad atas qudwah dari para shahabat nabi, tabi’in dan tokoh pemuka
(imam-imam) agama hingga hari Kiamat. Ini sangat berbeda dengan aqidah kaum
mubtadi’ah (ahli bid’ah) yang menyalahi kaum salaf di dalam beraqidah. Aqidah
mereka adalah merupakan hal yang baru (bid’ah) tidak mempunyai sandaran dari
al-Qur’an dan Hadits/Sunnah, ataupun dari para shahabat Nabi dan ulama tabi’in.
Oleh karena seperti itu adanya maka ia merupakan bid’ah, dan setiap bid’ah itu
kesesatan. [12]
·
Jelas dan gamblang. Aqidah Ahlus
Sunnah mempunyai kekhasan, yaitu gamblang dan jelas, bebas dari kontradiksi,
ketidakjelasan, falsafat dan kerumitan kata dan maknanya, karena aqidah Ahlus
Sunnah bersumber dari firman Allah yang sangat jelas yang tidak datang
kepadanya kebatilan (kepalsuan) baik dari depan maupun dari belakangnya, dan
(bersumber) dari sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang tidak
pernah berbicara berdasarkan hawa nafsu. Sedangkan aqidah-aqidah dan
keyakinan-keyakinan (golongan, kelompok) yang lain itu berasal dari ramuan yang
dibuat oleh manusia atau ta’wil dan tahrif mereka (terhadap
teks-teks syar’i). Sungguh sangat jauh perbedaan antara dua sumber itu, apalagi
(jika dilihat dari kaidah) bahwa aqidah itu tauqifi (sangat terbatas
pada nash) dan bersifat ghaib, tidak ada pintu bagi ijtihad sebagaimana yang
telah dimaklumi.
·
Bebas dari kerancuan, kontradiksi
dan kesamaran: Aqidah Islam yang murni itu tidak ada kerancuan padanya, tidak
pula kontradiksi dan kesamaran. Hal itu karena ia ber-sumber dari wahyu,
kekuatan hubungan para penganutnya dengan Allah, realisasi ubudiyah
(penghambaan) hanya kepada-Nya semata, penuh tawakkal kepada-Nya semata,
kekokohan keyakinan mereka terhadap kebenaran (al-haq) yang mereka miliki dan
keterbebasan mereka dari kebingungan, kecemasan, keraguan dan syubhat di dalam
beragama. Berbeda halnya dengan para ahli bid’ah, tujuan dan sasaran mereka
tidak pernah lepas dari salah satu penyakit tersebut.
Sebagai contoh yang sangat jelas sekali adalah
keraguan, kegoncangan dan penyesalan yang terjadi pada para tokoh terkemuka
mutakallimin (Ahlul Kalam), tokoh filosof dan para tokoh sufi sebagai akibat
dari sikap mereka menjauhi aqidah salaf; dan kembalinya kebanyakan mereka
kepada taslim dan pengakuan terhadap Aqidah kaum salaf, terutama ketika usia
mere-ka makin senja atau ketika mereka akan menghadapi maut (kematian),
sebagaimana terjadi pada Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Beliau telah merujuk
(kembali) kepada Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (aqidah salaf) sebagaimana
dinyatakan di dalam karya monumentalnya “al-Ibanah ‘an Ushuliddiyanah”
setelah sebelumnya menganut aqidah mu’tazilah, kemudian talfiq (paduan
antara aqidah mu’tazilah dan aqidah salaf, pen.). Juga Imam al-Baqilani, wafat tahun
403 H, sebagaimana di-nyatakan di dalam kitab “at-Tamhid”, Abu Muhammad
al-Juwaini, wafat tahun 438 H. (ayah imam al-Haramain) sebagaimana dinyatakan
di dalam kitab “Risalatul Istiwa’ wal Fauqiyyah” dan Imam al-Haramain
(sendiri), wafat tahun 478 H, sebagaiman dinyatakan di dalam kitabnya: “ar-Risalah
an-Nizhamiyyah. Juga seperti Imam asy-Syihristani, wafat tahun 548 H,
sebagaimana dinya-takan di dalam kitab “Nihayatul Iqdam”, dan Imam
al-Fakhrurrazi, wafat tahun 606 H, sebagaimana dinyatakan di dalam kitab “Aqsamul
Ladzdzat”, dan banyak lagi tokoh terkemuka lainnya. [13]
Secara umum, para penganut Aqidah Ahlus Sun-nah wal
Jama’ah selamat dari ketidakjelasan terhadap masalah bid’ah, kesyirikan dan
dosa-dosa besar. Ahlus Sunnah secara umun merupakan kelompok yang paling
selamat, tidak terjerumus ke dalam lembah bid’ah, dan tidak terjadi kemusyrikan
(penyekutuan terhadap Allah) pada mereka. Adapun dosa-dosa kecil, perbuatan
mak-siat ataupun dosa besar adakalanya sebahagian dari mereka jatuh di dalamnya,
namun kuantitasnya lebih sedikit dibandingkan dengan madzhab lainnya. Sedangkan
selain Ahlus Sunnah tidak ada yang selamat dari salah satu virus bid’ah-bid’ah
dan kesyirikan, sebagai-mana kemaksiatan dan dosa-dosa besar secara umum lebih
banyak terjadi pada kalangan Ahlul Iftiraq (Ahlul Bid’ah).
Kaum mutakallimin dari kalangan Mu’tazilah dan
tidak sedikit pula dari madzhab Asya’irah (Asy’ariyah) dan lainnya yang
berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu, mereka menyelami masalah yang ghaib
tanpa didasari ilmu. Kaum sufi, kaum pencinta kuburan dan seluruh ahli bid’ah
menyembah Allah Subhanahu wa ta'ala tidak berdasarkan syari’at yang telah Allah
tetapkan. Rafidhah (Syi’ah), kelompok kebatinan dan yang serupa dengan
mereka telah berbuat dusta dengan mengatasnamakan Allah Subhanahu wa ta'ala dan
mereka mengada-ada atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sehingga
kedustaan bagi mereka menjadi ajaran agama yang harus dipatuhi. Kaum Khawarij
pun demikian, mereka ekstrim di dalam memahami agama, maka Allah mempersulit
mereka.
·
Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
merupakan faktor utama bagi kemenangan dan kebahagiaan abadi di dunia dan
akhirat. Di antara ciri khas Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang paling
menonjol adalah:
Bahwa Aqidah Ahlus Sunnnah merupakan faktor utama
bagi terealisasinya kesuksesan, kemenangan dan keteguhan bagi siapa saja yang
menganutnya dan menyerukannya kepada umat manusia dengan penuh ketulusan,
kesungguhan dan kesabaran. Golongan yang berpegang teguh kepada aqidah ini,
Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan yang menang lagi diberi
pertolongan, golongan yang tidak terbahayakan oleh siapa saja yang tidak
menghiraukan ataupun memusuhinya hingga hari Kiamat kelak, sebagaimana
diberitakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melalui sabdanya:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى
الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ
كَذَلِكَ.
“Akan tetap ada segolongan dari umatku yang
berdiri di atas al-haq (kebenaran), tidak akan membahayakan mereka siapa yang
tidak menghiraukannya hingga perintah Allah tiba (hari Kiamat) dan mereka pun
tetap seperti itu.” [14]
·
Ia merupakan Aqidah al-Jama’ah dan
kesatuan: Hal itu, karena aqidah ini merupakan jalan yang paling agung
(efektif) untuk menyatukan kekuatan kaum muslimin, kesatuan barisan mereka dan
untuk memperbaiki apa-apa yang rusak dari urusan agama dan dunia mereka. Sebab,
aqidah Ahlus Sunnah (mampu) mengembalikan mereka kepada al-Qur’an, Sunnah
(hadits) dan sabilil mu’minin (jalan kaum muslimin). Ciri khas ini
selama-lamanya tidak mungkin terealisasi pada suatu golongan mana pun, atau
lembaga dakwah apapun atau organisasi apapun yang tidak menganut Aqidah ini.
Sejarah adalah saksi bagi kenyataan ini! Hanya negara-negara yang berpegang
teguh kepada sunnah (Aqidah Ahlus Sunnah, pen) sajalah yang dapat menyatukan
kekuatan kaum muslimin yang berserakan, hanya dengannyalah jihad serta amar
ma’ruf dan nahi munkar itu tegak, dan dengannya pula Islam menjadi mulia
(berwibawa di hadapan mata asing, pen) baik dahulu maupun sekarang, baik mulai
zaman para khulafa’ar-Rasyidin, kekuasaan Dinasti Umayyah, awal kekuasaan
Dinasti ‘Abbasiyah, pada awal kekuasaan Dinasti Utsmaniyah, pada masa kekuasaan
Shalahuddin al-Ayubi dan kekuasaan Daulah Islamiyah di Andalusia serta pada
masa Kerajaan Saudi Arabia di mana Sunnah dibela, tauhid dida’wahkan, segala
bentuk bid’ah dan perbuatan kesyirikan diperangi dan tanah-tanah suci disucikan
darinya. Dan hingga sekarang masih dalam kondisi sedemikian –Alhamdulillah-,
dan memang harus tetap seperti itu sepanjang kekuasaannya. Kebanyakan
negara-negara tersebut, ketika terjadi perpecahan di dalamnya dan bid’ah
merajalela, maka negara-negara itu pun rapuh dan pada akhirnya tumbang. Dan
negara-negara yang tidak berdiri di atas Sunnah maka (biasanya) ia menyebarkan
kekacauan, perpecahan dan bid’ah, mematikan jihad dan menyebarluaskan
kemungkaran, selalu dilanda kekalahan dan diliputi kebodohan terhadap ajaran
agama serta Sunnah pun lenyap. Hal itu terjadi seperti pada kekuasaan (negara)
Rafidhah (Syi’ah), Bathiniyah, Qaramithah dan Sufiyah; dan juga seperti pada
kekuasan Dinasti Buwaih dan Fathimiyah yang mencerai-beraikan kaum muslimin dan
menyebarluaskan bid’ah dan berbagai macam perbuatan kesyirikan.
Dan ketika Mu’tazilah mempunyai kementerian dan
markaz-markaz kekuasaan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah timbullah
berbagai bid’ah Kalam, para pemuka Ahlus Sunnah dikepung dan dipenjara, bahkan
umat secara umum dilanda fitnah dan cobaan yang sangat berat di dalam
mempertahankan agama atau aqidah mereka, sampai menimpa para tokoh ulamanya.
·
Utuh, Kokoh Dan Tetap Langgeng. Di
antara ciri terpenting Aqidah Ahlus Sunnah adalah utuh, kokoh langgeng dan
selalu sama (tidak mengalami perbedaan). Jadi, Aqidah mereka di dalam masalah
yang prinsipil (ushuluddin) utuh dan sama sepanjang masa dan (akan tetap
seperti itu) hingga hari Kiamat kelak. Artinya adalah Aqidah Ahlus Sunnah itu
selalu sama, utuh dan terpelihara baik secara riwayat maupun keilmuannya,
kata-kata maupun maknanya. Ia diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya
tanpa mengalami perubahan, tahrif, talfiq (pencampur adukan) dan kerancuan, dan
tidak pernah mengalami penambahan maupun pengurangan. Sebabnya adalah karena
Aqidah Ahlus Sunah bersumber langsung dari al-Qur’an yang tidak datang kepadanya
kebatilan baik dari depan maupun dari belakang, dan bersumber dari Hadits atau
Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang tidak pernah berbicara
berdasarkan hawa nafsu. Aqidah ini telah dipelajari dan diterima oleh para
shahabat nabi, kemudian oleh para tabi’in, lalu para tabi’in generasi
berikutnya dan kemudian oleh para imam atau pemuka agama yang berpegang teguh
kepada tuntunan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sampai sekarang,
baik secara riwayat maupun secara keilmuannya dan baik secara pengajaran maupun
secara tulisan.
Sebagai contoh, keyakinan Ahlus Sunnah di dalam
masalah sifat Allah baik secara global maupun secara rinci masih tetap sama
tidak terjadi perbedaan, begitu pula di dalam masalah Kalamullah, al-Qur’an,
istiwa’ (Allah bersemayam di atas ‘Arasy), nuzul (Allah turun ke permukaan bumi
di sepertiga malam terakhir), ru’yah (melihat Allah di akhirat), dan keyakinan
mereka di dalam masalah taqdir (qadar), iman, syafa’at, tawassul dan
lain-lainnya. Semuanya masih tetap sama sebagaimana dinukil dari salaf dan
kurun ketiga pertama yang penuh berkah (al-qurun al-fadhilah). Ini adalah
merupakan jaminan Allah di dalam memelihara ajaran agama-Nya.
Berbeda halnya dengan golongan dan madzhab yang
lain. Katakanlah seperti madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah yang merupakan
madzhab yang paling dekat kepada Ahlus Sunnah. Mereka gamang di dalam
masalah-masalah yang mereka perselisihkan dengan Ulama Salaf (Aqidah salaf)
disebabkan ta’wil dan bid’ah yang mereka lakukan. [15] Di dalam aqidah
mereka terjadi banyak talfiq (ketidak pastian), kerancuan dan keragu-raguan
serta sikap tawaquf (abstain) di dalam masalah aqidah yang datang dari Allah
dan Rasul-Nya, dan mereka membuat lafazh-lafazh (istilah-istilah) dan
makna-makna baru yang tidak ada di dalam wahyu al-Qur’an dan Hadits Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam.
Catatan Kaki :
[1] Riwayat Imam Muslim di dalam Shahihnya, Kitabul Jannah wa Shifatu
Na’imiha wa Ahliha, Hadits No. 2865, Vol. 3, hal. 2197.
[2] Muttafaq Alaih, Shahih Al-Bukhari, Kitab Jana’iz, bab Idza Aslama
ash-Shobi (Fathulbari, juz 3, hal. 219); Shahih Muslim, Kitab al-Qadar, Vol.3,
hal. 1047, hadits no. 2651.
[3] Lihat Tafsir at-Thabari, juz.2. hal.194-195, Tafsir Ibnu Katsir,
vol.1. hal. 218 dan lihat pula buku “Da’watut tauhid, karya DR. Muhammad Khalil
Harras, hal. 106-119.
[4] Tathhirul I’tiqad, karya ash-Shan’ani, hal. 5.
[5] Shahih Bukhari: Kitabul Iman, bab :jika mereka bertobat dan
menegakkan shalat. (Fathul Bari, hadits ke 24, juz.1. hal.74, dan Shahih
Muslim: Kitabul Iman, bab: perintah memerangi manusia sehingga mereka
bersyahadat, Hadits. No. 22, juz.2. hal. 53. Hanya saja di dalam riwayat Muslim
tidak disebutkan ungkapan “kecuali dengan hak Islam”.
[6] Hadits riwayat Bukhari di dalam Shahih-nya: Kitabul Iman, hadits
no. 52. (Fathul Bari: vol.1. hal.126) dan Imam Muslim di dalam Shahih-nya:
Kitabul masaqat, bab :mengambil yang halal. Hadits no. 1599. vol. 3. hal. 122.
[7] Di antara mereka yang berpendapat seperti itu adalah Ibnu Suraih,
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hajar. Semoga Allah mencurahkan rahmatnya kepada mereka.
Lihat kitab: Jawabu Ahlil IImi wal Iman Bitahqiqi ma Akhbara bihir Rahman min
Anna “Qul Huwallahu Ahad” Ta’dilu Tsulutsal Qur’an, karya Ibnu Taimiyah di
dalam Majmu’ Fatawa; vol. 17. hal. 13, 101 dan 103. Lihat pula : Fathul Bari,
vol. 9. hal. 61.
[8] Hadits riwayat Imam Bukhari kitab Fadla-ilul Qur’an, Fathul Bari,
Vol.9, hal. 61 dan Imam Muslim kitab Shalatul Musafir hadits no. 811. Dan
redaksinya adalah menurut riwayat Muslim.
[9] I’tisham, karya asy-Syathibi, vol. 2, hal. 252.
[10] Lihat: Syarhul ‘Aqidah ath-Thahawiyyah karya Ibnu Abil ‘Izz
al-Hanafi, hal. 140-141, dan kitab: Dar’u Ta’arudil ‘Aqli Ma’an Naqli, karya
Ibnu Taimiyah, vol. 1, hal: 88-280.
[11] Hal ini tidak boleh dipahami bahwa Islam mengekang akal,
menon-aktifkan fungsinya dan menghapus bakat berfikir yang ada pada manusia,
malah sebaliknya, Islam menyediakan bagi akal banyak sarana untuk mengetahui,
mengamati, berfikir dan berkarya, sesuatu yang cukup untuk merangsang keinginannya
terhadap ciptaan Allah, urusan kehidupan, cagar alam nan luas serta
keajaiban-keajaiban jiwa yang begitu banyak. Sesungguhnya sebagaimana yang
telah saya katakan bahwa Allah tidak membuat manusia tidak perlu lagi berfokus
ke arah yang tidak dapat di jangkaunya dari hal-hal yang gaib, hal itu sebagai
kasih sayangnya terhadap ajal yang menjaganya dari kelelahan dan keterlenaan di
dalam kesenangan-kesenangan yang tidak dapat ia selami kedalamnya –Wallahu
a’lam-.
[12] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah; vol.1, hal. 9.
[13] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, vol. 4, hal. 72-73; Dar’ut
Ta’arudh, vol. 1, hal. 157-170; Syarah ath-Thahawiyyah, karya Ibnu Abil ‘Izzi,
hal. 242-247; dan Pengantar Syu’aib al-Arna’uth terhadap kitab “Aqawiluts
Tsiqat”, karya Imam Mar’i bin Yusuf al-Karami (wafat: 1033). Hal. 14-22.
[14] Diriwayatkan oleh Imam Muslim kitab “al-Imarah” dan at-Turmudzi
kitab “al-Fitan” bersumber dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu. Imam at-Turmudzi
berkata hadits hasan shahih.
[15] Untuk lebih jauh, silahkan baca Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah, juz.
4, hal.1-30 dan hal. 50-97.
1. Ringkasan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Pertama: Beberapa Kaidah Umum : [1]
·
Sumber Referensi (Rujukan) Aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mengingat bahwa Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu
bersifat tauqifi (terbatas pada nash), maka ia berdiri di atas prinsip taslim
(pasrah dan menerima) kepada apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, tanpa tahrif
(mengubah makna atau lafazhnya), ta’wil (menginterpretasikannya dengan
makna lain), ta’thil (mengabaikan maknanya) ataupun tamtsil
(mengumpamakan, menyamakan).
Aqidah ini hanya mempunyai dua sumber, yaitu :
1. Al-Qur’anul Karim dan
2. Hadits-hadits Shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
1. Al-Qur’anul Karim dan
2. Hadits-hadits Shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sedangkan ijma yang diakui kredibilitasnya di dalam
penetapan aqidah adalah berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadits (Sunnah) juga,
atau kepada salah satunya.
Adapun fitrah yang suci dan akal sehat keduanya
menjadi pendukung dan penguat, tidak dapat berdiri sendiri di dalam menetapkan
rincian aqidah dan prinsip-prinsip agama (Ushuluddin). Keduanya selalu seiring
dengan al-Qur’an dan Hadits serta tidak menyalahinya.
Dan apabila ada semacam kontradiksi antara an-Naql
(Nash-nash al-Qur’an atau Hadits) dan akal, maka kita harus meyakini bahwa akal
kita yang kurang. Maka an-Naql yang bersifat tsabit (pasti) itu
harus dikedepankan dan dijadikan patokan hukum di dalam agama. Oleh karenanya,
lebih mengutamakan akal fikiran manusia dan pendapat mereka yang bersifat naif
daripada firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang
tidak akan datang kepadanya kebatilan (kepalsuan) baik dari depan maupun dari
belakang adalah merupakan kesesatan dan penyimpangan.
·
Hadits-hadits shahih Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam sekalipun Hadits Ahad wajib diterima (sebagai
sumber aqidah, pen.). [2]
·
Apa saja yang diperselisihkan di
dalam masalah agama maka wajib dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya
(al-Qur’an dan Hadits) [3] sebagaimana difahami oleh para shahabat nabi,
para tabi’in dan para tabi’it tabi’in dari kalangan para pemuka ulama.
Jadi, sandaran di dalam memahami nash-nash aqidah
yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah (Hadits) adalah para shahabat, para
tabi’in dan orang-orang yang menelusuri jejak keberagamaan mereka, yaitu para
pemuka ulama yang perpegang teguh kepada petunjuk dan agama. Siapa pun yang
menyalahi mereka maka tidak perlu dihiraukan, sebab itu berarti ia menyalahi
jalan kaum mukminin.
·
Prinsip-prinsip agama dan masalah
aqidah adalah tauqifiyah. Semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dengan al-Qur’an dan hadits-haditsnya.
Maka segala perkara baru (yang diada-adakan) di
dalam urusan agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, sebagaimana
ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits
shahihnya.
Tidak ada hak bagi siapapun untuk mengada-adakan
suatu perkara di dalam masalah agama, (apalagi) dengan anggapan bahwa perkara
yang diada-adakannya itu wajib dipatuhi atau diyakini, sebab Allah Subhaanahu
Wata'ala telah menyempurnakan agama-Nya, wahyu telah terputus dan kenabian
telah ditutup, sebagaimana Allah tegaskan:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu
agamamu”. (al-Ma’idah: 3).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah
bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ
فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang mengada-adakan (membuat) di
dalam perkara (agama) ini sesuatu yang bukan berasal darinya, maka ditolak.”
[4]
Hadits di atas merupakan salah satu kaidah dasar di
dalam masalah agama dan merupakan salah satu prinsip (ajaran pokok) di dalam
aqidah.
Dan barangsiapa yang berkeyakinan bahwa boleh
baginya keluar dari ajaran yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam baik berupa syari’at (hukum) ataupun dien (aqidah), maka berarti ia
telah menanggalkan ikatan Islam dari lehernya (baca: murtad, pen.).
·
Wajib perpegang teguh dan komitmen
kepada kata-kata atau istilah-istilah yang ada di dalam al-Qur’an dan Sunnah di
dalam masalah aqidah, dan menghindari istilah-istilah baru yang dibuat oleh
para mutakallimin, kaum filosof dan lain-lainnya, karena masalah aqidah itu
bersifat tauqifi dan merupakan perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah
Subhaanahu Wata'ala.
·
Masalah-masalah Aqidah itu ghaib
dan dasarnya adalah tunduk dan meyakini apa yang datang dari Allah Subhaanahu
Wata'ala dan Rasul-Nya, lahir dan batin, apakah ia bisa diterima oleh akal kita
ataupun tidak. Maka siapa saja yang tidak tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya di
dalam masalah aqidah ini, agamanya tidak akan pernah lurus. [5]
Berserah diri dan tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya
itu direalisasikan dalam bentuk pasrah dan tunduk kepada al-Qur’an dan Sunnah
(hadits). [6]
·
Tidak boleh menyelami lebih jauh,
memperdebatkan dan mempertentangkan masalah aqidah dan nash-nash-nya. Sebab,
aqidah itu merupakan masalah ghaib. Kita diperbolehkan hanya sebatas memberikan
penjelasan dan menegakkan hujjah (argumen) dengan tetap berpegang teguh kepada
manhaj (metodologi) ulama salaf di dalam masalah ini. [7]
·
Tidak boleh melakukan ta’wil
terhadap nash-nash ‘Aqidah [8], atau mengalihkan makna lahirnya kepada
pengertian yang lain tanpa didukung oleh dalil syar’i yang kuat yang bersumber
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [9]
·
Di antara keharusan dan tuntutan
aqidah adalah mengamalkan syari’ah. Mengamalkan hukum, selain yang diajarkan
oleh Allah Subhaanahu Wata'ala adalah bertentangan dengan tauhid dan sikap
berserah diri kepada Allah Subhaanahu Wata'ala dan Rasul-Nya. Oleh karenanya,
mematuhi dan berpegang kepada selain syari’at (aturan) Allah Subhaanahu
Wata'ala, berpaling jauh (secara utuh) darinya atau memperbolehkan pemberlakuan
hukum selain yang diajarkan oleh Allah adalah kufur akbar! Adapun berpaling
dari syari’at Allah di dalam suatu peristiwa tertentu karena hawa nafsu atau
karena terpaksa, namun tetap berpegang teguh kepada syari’at Allah (di dalam
hal-hal yang lain) adalah kufur ashghar (kecil), kefasikan atau kezaliman.
Kedua: Beberapa kaidah secara rinci :
Aqidah Ahlus Sunnah itu dapat diringkas secara global dalam uraian berikut
ini:
·
Aqidah mereka tentang nama dan
sifat Allah Subhaanahu Wata'ala.
Yaitu menetapkan dan meyakini apa yang ditetapkan
oleh Allah bagi-Nya dan apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya bagi-Nya, dan
menafikan apa yang dinafikan oleh Allah dari-Nya dan apa yang dinafikan oleh
Rasul-Nya dari-Nya, tanpa tamtsil (mengumpamakan), takyif (menanyakan bagaimana
hakikatnya), tasybih (menyerupakan), tahrif (mengubah dan mengganti arti),
ta’wil (mengalihkan maknanya yang hakiki kepada makna yang lain) ataupun
ta’thil (mengabaikan maknanya). Sebagaimana ditegaskan oleh Allah:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupaiNya,
dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (asy-Syura: 11)
Allah Subhaanahu Wata'ala menyatakan diri-Nya dan
begitu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwasanya Allah
itu Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Berbicara, Maha Hidup, Maha
Berkehendak dan bahwasanya Allah bersemayam (istawa) di atas ‘arasy, di atas
hamba-hamba-Nya, dan Allah Subhaanahu Wata'ala itu meridhai, murka, mencintai
dan membenci, datang dan turun; tertawa dan kagum sesuai dengan kebesaran dan
keagungan-Nya (dengan pasti menafikan tasybih) sebagaimana diungkapkan dan
dinyatakan oleh Allah tentang diri-Nya dan sebagaimana dinyatakan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Dia, (bahwasanya Allah itu
mempunyai) wajah, tangan (yadd), mata dan lain-lainnya yang dijelaskan oleh
al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.
Ahlus Sunnah menetapkan dan meyakini sifat-sifat
Allah sebagaimana Allah ungkapkan mengenai Diri-Nya dan sebagaimana pula
diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa tasybih, takyif,
tamtsil, ta’thil dan tidak juga ta’wil. [10]
·
Aqidah mereka di dalam
masalah-masalah keimanan dan seluruh ghaibiyyat, di antaranya:
Pertama: Di antara prinsip aqidah Ahlus
Sunnah adalah bahwa iman itu adalah qaul (keyakinan hati dan ucapan
lisan) dan amal (amalan batin dan amalan lahir), dapat bertambah dan berkurang.
[11] Hal ini meliputi beriman kepada setiap apa saja yang diberitakan
oleh Allah di dalam al-Qur’an atau diberitakan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tentang masalah-masalah yang ghaib dan yang tampak, baik
secara global maupun secara terperinci, seperti:
- Beriman kepada Allah Subhaanahu Wata'ala
mengesakan rububiyyah-Nya, Uluhiyyah-Nya dan nama dan sifat-sifat-Nya. [12]
- Beriman kepada malaikat, mereka adalah
hamba-hamba yang dimuliakan, tidak pernah durhaka kepada Allah atas apa yang
diperintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. Mereka diberi tugas beribadah kepada Allah Subhaanahu Wata'ala.
Di antara mereka ada yang mempunyai tugas dan pekerjaan-pekerjaan yang lain,
seperti menurunkan wahyu, mencatat amal perbuatan manusia, taqdir, mencabut
ruh, memberikan pertolongan kepada orang-orang beriman, memperjalankan awan,
menurunkan hujan. Dan ada pula yang bertugas sebagai pemikul ‘Arasy
(singgasana) dan seterusnya. [13]
- Beriman kepada Kitab-kitab suci yang diturunkan
dari Allah Subhaanahu Wata'ala kepada para rasul-Nya sebagai petunjuk bagi umat
manusia. Di antaranya adalah kitab Zabur, kitab Taurat, kitab Injil dan kitab
al-Qur’an yang merupakan kitab suci yang paling sempurna lagi menghapus
(nasikh) kitab-kitab suci sebelumnya. [14]
- Beriman kepada para nabi dan utusan Allah secara
keseluruhan. Siapa saja yang disebutkan (nama-namanya) di dalam al-Qur’an dan
hadits-hadits shahih maka wajib beriman kepadanya secara khusus, dan bahwa
sesungguhnya mereka semuanya telah menyampaikan risalah Allah kepada umat
mereka dan menyeru (mereka) untuk bertauhid kepada-Nya serta melarang mereka
dari perbuatan syirik (menyekutukan Allah). [15] “Sembahlah Allah dan
jauhilah thaghut”. (an-Nahl: 36) (Dan beriman sepenuh hati) bahwa
sesungguhnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling
utama, penutup para rasul yang diutus oleh Allah kepada seluruh umat manusia,
dengan wafatnya, wahyu terputus (tidak diturunkan lagi untuk selama-lamanya.
pen.) dan dengannya Allah telah menyempurnakan agama. [16]
- Beriman kepada hari kemudian, dan bahwa
sesungguhnya kematian itu haq (benar), dan beriman kepada adanya kenikmatan di
dalam kubur dan siksaan di dalamnya, kebangkitan dan ditiupnya sangkakala,
penghimpunan (di padang Mahsyar) dan dihadapkan (kepada Allah), Hisab
(perhitungan amal) dan pembalasan, catatan amal dan timbangannya, jembatan
menuju surga dan telaga, surga dengan segala kenikmatannya dan neraka dengan
segala adzabnya, dan seterusnya. [17]
- Beriman kepada Kiamat dan ciri-cirinya yang di
antaranya adalah munculnya Dajjal, turunnya Nabi Isa ‘alaihis salam, munculnya
Imam Mahdi, Ya’juj dan Ma’juj, terbitnya matahari dari tempat terbenamnya,
keluarnya binatang melata (yang berbicara) [18] dan tanda-tanda yang
lain sebagaimana diterangkan di dalam hadits-hadits shahih.
- Beriman kepada taqdir (ketetapan Allah) yang baik
maupun yang buruk, dan bahwasanya Allah telah mengetahui segala sesuatu sebelum
terjadi dan telah mencatatnya di dalam Lauh Mahfuzh, dan bahwasannya apa
saja yang dikendaki Allah pasti terjadi dan apa saja yang tidak Dia kehendaki
maka pasti tidak akan terjadi, Allah adalah pencipta segala sesuatu. Dia telah
menetapkan rizki dan ajal (setiap makhluk-Nya), kebahagiaan dan kesengsaraan,
petunjuk dan kesesatan, dan bahwasanya Allah Subhaanahu Wata'ala melakukan apa
saja yang Dia kehendaki, dan bahwasanya Allah telah mengambil sumpah (janji)
atas manusia dan telah mempersaksikan kepada mereka bahwasanya Dia adalah Tuhan
mereka. [19]
Kedua : al-Qur’an.
Di antara prisip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
adalah bahwasanya al-Qur’an adalah firman Allah (Kalamullah) yang diturunkan,
ia bukan makhluk. Dan siapa saja yang beranggapan bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk maka kafirlah ia. [20]
Ketiga: Ru’yah (melihat Allah).
Berkeyakinan bahwa orang-orang yang beriman akan
melihat Tuhannya pada hari kiamat kelak dengan mata tanpa takyif dan
tidak pula ihathah (melihat segala-galanya).
Keempat: Syafa’at.
Beriman dan meyakini seluruh bentuk syafa’at yang
ditegaskan di dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih dengan segala
persyaratannya pada hari Kiamat kelak, dan syafa’at yang paling agung adalah
syafa’at agung nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sebahagian
umatnya pada hari Kiamat, dan syafa’atnya kepada para pelaku dosa besar dari
umatnya dan bentuk-bentuk syafa’atnya yang lain serta syafa’at-syafa’at selain
beliau, seperti syafa’at malaikat, para nabi, kaum beriman dan lain-lain,
sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits shahih. [21]
Kelima: Isra’ dan mi’raj.
Beriman kepada isra’ (perjalanan di malam hari yang
dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) ke Baitul Maqdis dan mi’raj
(naik) beliau ke langit ketujuh dan Sidratul Muntaha. Itu benar-benar
terjadi dan dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana
dinyatakan oleh ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits shahih. [22]
·
Aqidah mereka di dalam
prinsip-prinsip dan hukum teologis lainnya:
Pertama: Termasuk prinsip agama menurut
Ahlus Sunnah adalah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga
melebihi cinta kepada diri sendiri, anak dan seluruh manusia. Lalu berikutnya
adalah mencintai para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seluruh
istri-istri beliau Ummahatul mu’minin, memohon ridha Allah bagi mereka
dan meyakini bahwasanya mereka adalah umat yang paling utama. Ahlus Sunnah
menahan diri dari membicarakan secara mendalam pertikaian yang terjadi di
antara mereka (para shahabat), membenci sebahagian atau mencela salah seorang
dari mereka adalah kesesatan dan kemunafikan. [23]
Yang paling utama di antara para shahabat itu ialah
Abu Bakar, lalu Umar, lalu Utsman, lalu Ali [24] dan sepuluh shahabat
lainnya yang telah diberitakan pasti masuk surga. [25]
Ahlus Sunnah juga mencintai Ahli Bait
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bersikap baik terhadap mereka dan
selalu memelihara hak-hak mereka sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam perintahkan. [26]
Kedua: Menjauh dari Ahli bid’ah dan
orang-orang munafik. Juga menjauh dari Ahlul kalam, membenci mereka dan
memberikan peringatan kepada umat akan bahaya mereka, seperti Sekte Syi’ah
(Rafidhah), Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, Qadariyah, Sekte Murji’ah ekstrem,
Kelompok sufi ekstrem, kaum filosof dan seluruh sempalan pemikiran lainnya [27]
yang menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. [28]
Ketiga: Selalu komitmen kepada jama’ah,
bersatu dan berpegang teguh kepada tali Allah (al-Qur’an dan Sunnah), karena
memisahkan diri dari Ahlul haq adalah kerancuan, kebinasaan dan kesesatan. [29]
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman: “Berpegang teguhlah kamu kepada tali Allah dan jangan berpecah-belah”. (Ali Imran: 103)
Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman: “Berpegang teguhlah kamu kepada tali Allah dan jangan berpecah-belah”. (Ali Imran: 103)
Keempat: Wajib patuh dan ta’at kepada
ulil-amri (penguasa dan ulama) dengan cara yang ma’ruf, selagi tidak memerintah
kepada maksiat. Dan tidak boleh membelot dari mereka sekalipun mereka berbuat
zhalim, kecuali jika mereka melakukan kekufuran yang nyata, menurut dalil
syar’i. [30]
Kelima: Wajib memberikan nasihat untuk Allah
dan Rasul-Nya, kemudian bagi segenap para pemimpin kaum muslimin (Para ulama
dan penguasa) dan masyarakat awam. [31]
Keenam: Berjihad bersama pemimpin
(penguasa), apakah ia seorang yang shalih ataupun seorang yang zhalim. Jihad
merupakan salah satu syi’ar Islam yang paling agung, merupakan ujung tombak
Islam dan ia tetap berlaku hingga hari Kiamat. [32]
Ketujuh: Amar ma’ruf dan nahi munkar itu
merupakan salah satu prinsip ajaran Islam dan merupakan syi’ar Islam yang
mulia, dan hukumnya wajib sesuai kemampuan. [33]
Kedelapan: Hukum-hukum yang berkaitan dengan
kaum muslimin dan hak-hak mereka:
- Barangsiapa yang telah bersaksi bahwasanya “tiada
tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”,
melakukan shalat yang kita lakukan (lima waktu), dan menghadap ke kiblat kita
(Ka’bah) dan menampakkan syi’ar-syi’ar Islam, maka dia adalah seorang muslim
yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslimin lainnya, darah,
harta dan kehormatannya haram dinodai, sedangkan masalah batinnya kita serahkan
kepada Allah. [34] Dan menganggapnya sebagai orang yang tidak dikenal
kepribadiannya, berburuk sangka terhadapnya atau meragukan keislamannya adalah
bi’dah dan merupakan sikap berlebihan di dalam beragama.
- Tidak boleh mengkafirkan seseorang dari Ahlul
Qiblat (kaum muslimin) karena suatu dosa yang dilakukannya, kecuali orang yang
telah dinyatakan kafir oleh Al-Qur’an dan Sunnah (hadits), hujjah (argumentasi)
telah ditegakkan terhadapnya, tidak ada unsur paksaan baginya atau kebodohan
atau karena ta’wil (yang ia lakukan). Juga tidak boleh meragukan kekafiran
orang yang telah dinyatakan kafir oleh Allah Subhaanahu Wata'ala dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dari kaum musyrikin, yahudi dan kaum nasrani serta
lain-lainnya. [35]
- Kita tidak (boleh) memastikan seseorang masuk
surga atau neraka, kecuali bagi orang-orang yang telah dinyatakan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [36]
- Pelaku dosa besar di dunia adalah fasik dan
durhaka, sedangkan di akhirat berada di bawah otoritas masyi’ah
(kehendak) Allah. Jika Allah hendak menyiksanya, maka itu adalah hak-Nya dan
jika Dia mengampuninya maka itu pula hak-Nya. Ia tidak kekal di neraka (jika
dimasukkan di dalamnya), namun kita berharap ampunan-Nya bagi yang berbuat baik
dan kita khawatir tidak selamat orang yang berbuat buruk. [37]
- Tetap melakukan shalat berjama’ah berma’mum
kepada pemimpin kaum muslimin, apakah mereka orang yang shalih atau orang yang
jahat. [38]
- Wajib mencintai karena Allah dan membenci karena
Allah. Termasuk dalam hal ini adalah bersikap loyal (wala’) kepada kaum
muslimin yang shalih dan berlepas diri (bara’) dari kaum musyrikin, orang-orang
kafir dan orang-orang munafiq. Setiap muslim mempunyai hak berloyal menurut
kadar keimanan dan kepatuhannya kepada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan juga berhak untuk di-bara’ (dibenci) menurut kadar kefasikan dan
kedurhakaan yang ada padanya. [39]
- Karamah para wali itu benar adanya. Namun tidak
semua bentuk karamah itu menunjukkan keshalihan dan kebaikan, kecuali bagi
orang yang berpegang teguh kepada petunjuk dan Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam secara lahir dan batin. Karamah itu juga bisa menjadi sebagai
ujian. Dan tidak semua peristiwa luar biasa itu karamah. [40] Wallahu
a’lam.
2. Berpegang Teguh Kepada Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah Adalah Keniscayaan
Oleh karena Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersumber dari al-Qur’an dan
Sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka itu berarti Aqidah
ini yang paling selamat, paling berilmu dan paling bijaksana, dan ini juga
berarti bahwa Aqidah Ahlus Sunnah –secara pasti- yang lebih berhak untuk dianut
dan berpegang teguh padanya adalah merupakan keniscayaan, karena aqidah inilah
yang haq, sedangkan yang haq (benar) itu lebih berhak diikuti (dianut), dialah
buhul (ikatan) yang paling kokoh, agama yang suci dan jalan yang lurus. Dan
aqidah inilah yang menjadi wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
aqidah ini pulalah sabilul mu’minin (jalan kaum beriman). Allah pun telah
mengancam siapa saja yang menyalahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
menempuh jalan selain jalan orang-orang mu’min, seraya berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ
جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam; dan Jahannam itu seburuk-buruk tempatnya kembali.”
(an-Nisa’: 115)
Sabilul mu’minin (jalan kaum beriman) dimaksud, tidak diragukan lagi
adalah jalan yang ditempuh oleh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, para tabi’in dan generasi yang utama di dalam Islam, yaitu mereka
yang mendapat pujian dari Allah dan sanjungan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan diperintahkan kepada kita untuk mencontoh mereka
(mengikutinya). Menyalahi jalan kaum beriman (sabilul mu’minin) adalah tindakan
menentang Allah Subhaanahu Wata'ala dan Rasul-Nya, sebagaimana ditegaskan di
dalam ayat di atas.
Jika begitu adanya, maka berpegang teguh kepada aqidah yang hak ini, yaitu
Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah merupakan perkara yang pasti (niscaya)
secara syar’i. Berdasarkan perintah Allah Subhaanahu Wata'ala dan Rasul-Nya,
sebagaimana firman-Nya:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ
“Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian”.
(al-A’raf: 3)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah menjelaskan bahwa
sepeninggalnya nanti akan terjadi banyak perselisihan dan perpecahan dan bahwa
al-haq (kebenaran) itu berada pada orang-orang yang berpegang teguh kepada
sunnah beliau dan sunnah para Khulafa’ ur Rasyidin, seraya bersabda,
اِتَّقُوا اللهَ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا
حَبَشِيًّا، وَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرى اخْتِلاَفًا
كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ
اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Bertaqwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian selalu patuh dan
ta’at (kepada pemimpin kalian-pen) sekalipun dia adalah seorang hamba dari
ethiopia (berkulit hitam-pen), karena sesungguhnya barangsiapa di antara kalian
hidup sepeninggalku nanti niscaya melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah
kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin yang
adil, dan peganglah dengan gerahammu, dan hindarilah hal-hal baru yang
diada-adakan (jalan agama), karena setiap bid’ah (yang diadakan) itu adalah
kesesatan”. [41]
Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah para khulafa’ur rasyidin dan
menjauhkan diri dari berbagai bentuk bid’ah mereka adalah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً فَلاَ تَخْتَلِفُوْا
بَعْدِيْ.
“Aku telah membawanya kepada kalian dengan terang benderang, maka
janganlah kalian berselisih sepeninggalanku”. [42]
Dan sabda beliau,
لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاءِ، لَيْلُهَا
كَنَهَارِهَا، لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ.
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian di atas hujjah yang terang
benderang, malamnya seperti siangnya, tiada seorang pun yang menyimpang darinya
melainkan pasti binasa.” [43]
Al-Baidha’ (putih bersih atau terang benderang) yang dimaksud di
dalam hadits adalah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan seluruh ajaran yang
telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berupa syariat dan
ajaran agama, tidak pernah berubah semenjak masa generasi yang mulia (salaf)
hingga saat ini, lafazh (kata) maupun sanad-sanadnya, sebagaimana tertera di
dalam al-Qur’an dan Sunnah dan sebagaimana di-lafazh-kan oleh para pemuka
ulama. (Ini sangat) berbeda dengan ‘aqidah dan keyakinan kaum mutakallimin dari
golongan Mu’tazilah, Asya’irah, Maturidiyah, Kullabiyah dan lain-lainnya,
karena pembaca akan mendapatkan banyak sekali lafazh (ucapan) dan aqidah mereka
yang lafazh dan maknanya tidak sesuai dengan (aqidah) yang diriwayatkan dari
para pemuka ulama salaf pada qurun yang penuh kemuliaan, kecuali amat sedikit
sekali, dan pembaca akan amat jarang menemukan kebanyakan apa yang mereka
yakini bersumber kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para shahabat
beliau dan kaum tabi’in, terutama di dalam masalah sifat-sifat Allah dan
taqdir. Bahkan pembaca tidak akan menemukan mereka, sepakat pada satu kata
(lafazh) ataupun makna di dalam masalah-masalah yang mereka buat. Rujukilah
buku-buku (literatur) mereka, di situ pembaca pasti menemukan kebenaran apa
yang penulis ungkapkan.
3. Hakikat Afiliasi (Intisab) Jama’ah-jama’ah Kontemporer Kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Sesungguhnya jika kita perhatikan realitas (jama’ah-jama’ah) dakwah dan
pergerakan-pergerakan keislaman (harakat islamiyah) yang ada di masa sekarang
ini, mayoritas mengklaim berafiliasi (intima’) kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Klaim yang sarat propaganda ini bisa dilakukan oleh siapa saja, orang jujur
ataupun pendusta. Juga diklaim pula oleh orang yang tidak mengerti arti Ahlus Sunnah
wal Jama’ah; dan ini yang lebih banyak. Ini adalah seperti klaim sebagai
pemeluk Islam yang dilakukan oleh seluruh kelompok atau golongan (sekte) yang
menyempal dari Islam, dulu ataupun sekarang. Seperti sekte Rafidhah (Syi’ah)
yang mengklaim diri sebagai Islam, padahal Islam bebas dari mereka. Juga sekte
Jahmiyah, Khawarij, Kebatinan, golongan Sufi ekstrem, kelompok Filosof ekstrem,
Qadyanisme (Ahmadiyah), Bahaisme, Barilawisme, Baharisme, Nushairisme,
Ismailisme dan lain-lainnya. Mereka semua mengaku Islam, bahkan ada sebahagian
yang mengklaim bahwa kelompoknya sajalah yang pantas mengklaim Islam.
Klaim afiliasi (intisab) kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah pun terjadi pada
banyak kalangan aktivis dakwah dan kelompok pergerakan (dakwah) kontemporer
dengan perbedaan di dalam bentuk klaim tersebut.
Ya. Tidak diragukan lagi bahwa ada di antaranya -di antara kelompok-kelompok
dakwah dan pergerakan kontemporer ini- yang memang layak berafiliasi atau
ber-intima’ kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun ada pula yang sangat jauh
sekali dari Ahlussunnah wal Jama’ah. Dan ada pula orang yang mengartikan Ahlus
Sunnah itu adalah Asya’irah dan Maturidiyah [44] dan lain-lainnya dari
kelompok keagamaan yang secara umum lebih dekat kepada Ahlus Sunnah. Ada pula
kelompok yang sama sekali tidak tahu, dan ada pula yang tidak peduli kepada
aqidah kelompok mana yang ia anut.
Berikut ini akan penulis jelaskan beberapa konsekwensi berafiliasi kepada
Ahlus Sunnah wal Jama’ah:
- Di antara keharusan yang paling penting bagi orang yang berintima’ kepada
Ahlus Sunnah, apalagi jika dia adalah seorang da’i, mempelajari aqidah mereka,
memantapkan diri dengannya dan menguasai prinsip-prinsipnya secara umum,
menuntut ilmu syar’i (ilmu agama) dan mendalami pemahaman agama kepada para
ulama dan masyayikh (para syaikh), sehingga bisa berdakwah berdasarkan ilmu dan
petunjuk yang benar, mengarahkan para pengikutnya untuk mempelajari ilmu syar’i
kepada masyayikh dan ulama.
- Dan setelah itu, ia harus menyeru kepada Aqidah Ahlus Sunnah dan menjelaskannya
kepada manusia serta membelanya, karena aqidah inilah yang haq (benar).
- Adalah merupakan kewajiban pula bagi orang yang ber¬intima’ kepada Aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah sedangkan ia berstatus sebagai da’i, memperlihatkan
pengaruhnya di dalam pemikiran, tujuan, ucapan dan tulisan-tulisannya. Bahkan
pada perbuatan dan tindakannya di mana ia menguasai segala rincian Aqidah Ahlus
Sunnah terutama masalah prinsip-prinsipnya [45], seperti masalah iman,
tauhid, asma’ wa shifat, takdir dan hak-hak para shahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Dan seharusnya ia berpegang teguh kepada sunnah-sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akhlak mulia dan petunjuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam serta ciri ulama salaf.
- Seorang da’i wajib menempuh manhaj (metodologi) Ahlus Sunnah wal Jama’ah
di dalam berdakwah, beramar ma’ruf dan bernahi munkar, memberikan nasihat
kepada para penguasa dan masyarakat awam dan mendidik para da’i yang
berkecimpung di dunia dakwah kepada aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah dengan
segala potensi dan kesungguhan.
- Orang yang ber-intima’ kepada Ahlus Sunnah harus bersikap loyal kepada
dakwah mereka, para da’inya dan para tokoh-tokoh mereka, baik yang dahulu
maupun yang sekarang, seperti Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan siapa
saja yang sejalan dengan beliau baik kelompok maupun individu. Dan (gerakan
dakwah beliau) ini merupakan gerakan dakwah masa kini yang paling menonjol yang
menempuh jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, baik aqidah ataupun prilakunya. Oleh
karena itu, harus dibela dan didukung oleh setiap orang yang mengaku pengikut
Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
4. Beberapa Contoh Realitas (Sikap) Gerakan-gerakan Dakwah Kontemporer Terhadap Aqidah Ahlus Sunnah
Oleh karena konsekwensi tersebut butuh implementasi (tathbiq) dalam realita
sehingga maksudnya menjadi jelas, maka penulis akan mengetengahkan beberapa
contoh penyimpangan nyata kebanyakan kelompok dakwah dan kelompok pergerakan
keislaman secara umum dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah baik dalam hal aqidah,
manhaj (metode) maupun prilaku.
Karena penulis khawatir dituduh menyebarkan keburukan orang lain dan mencela
mereka, maka penulis hanya akan menyebutkan beberapa kesalahan saja tanpa
menyebut nama (orang atau kelompok tertentu) dan tema-temanya, sebagai
pengamalan terhadap kaidah [46] “ما بال أقوام “
Penulis juga akan mengetengahkan beberapa pertanyaan seputar realita
kelompok-kelompok dakwah dan sikapnya terhadap perkara yang sangat agung ini
(aqidah). Maka penulis katakan:
- Bagaimana orang yang menta’wil sifat-sifat Allah berafiliasi (intima’)
kepada Ahlus Sunnah, berbicara atas nama Allah tanpa dasar ilmu, terjerumus di
dalam apa yang diperingatkan oleh para ulama salaf, yaitu lebih mengutamakan
rasio (akal) daripada firman Allah Subhaanahu Wata'ala dan sabda Rasul-Nya di
dalam masalah sifat-sifat Allah, masalah taqdir dan semua perkara ghaib?!
Sesungguhnya sebahagian kelompok dakwah yang ada berdiri di atas prinsip ini dan mengklaim bahwa dirinya adalah Ahlus Sunnah. [47]
Sesungguhnya sebahagian kelompok dakwah yang ada berdiri di atas prinsip ini dan mengklaim bahwa dirinya adalah Ahlus Sunnah. [47]
- Lalu bagaimana berintima’ kepada Ahlus Sunnah orang yang berpandangan
bahwa tarekat-tarekat sufi yang bid’ah itu adalah manhaj (metode) yang benar
bagi dakwah?!
- Yang lebih sangat mengherankan adanya orang yang berintima’ kepada Ahlus
Sunnah dari kalangan da’i, padahal ia membela bid’ah bahkan mempromosikannya,
atau berpandangan bahwa masalah bid’ah itu sepele, bukan termasuk dalam masalah
penting dalam agama, seperti bid’ah merayakan maulid Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, dan merayakan hari-hari besar bid’ah keagamaan (seperti:
isra’ mi’raj, nuzulul qur’an dll. Pen). Di mana posisi orang semacam ini dari
aqidah salaf? Bahkan di antara da’i itu ada da’i yang mengerjakan bid’ah-bid’ah
tersebut, dan ada pula yang menganggapnya remeh dan menyepelekan bahayanya.
- Dan yang lebih parah lagi adalah adanya beberapa tokoh da’i yang
berafiliasi kepada Harakah Islamiyah yang cukup populer mengusap-usap kuburan,
para wali yang sudah mati dan yang masih hidup dan meminta (berdo’a) kepada
mereka supaya dilepaskan dari marabahaya dan diberi manfa’at serta bersandar
(berlindung dan berserah diri) kepada mereka di waktu bahagia dan di waktu
sengsara!!
- Bagaimana mengklaim mengibarkan syi’ar Ahlus Sunnah orang yang
memberanikan dirinya untuk berdakwah padahal ia tidak mengetahui Aqidah Ahlus
Sunnah (salaf). Bahkan barang kali ia ditanya tentang masalah aqidah yang
sederhana, lalu tidak bisa menjawab dan kalaupun menjawab maka jawabannya kabur
(tidak jelas)!!
- Apakah termasuk Ahlus Sunnah orang yang tidak menahan lisannya juga
penanya dari pelecehan, makian dan tuduhan keji terhadap para shahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, juga terhadap para tabi’in dan para pemuka agama
yang terkenal serta para generasi salaf terdahulu, terutama para ulama sunnah
dan hadits??
- Di sana juga, sungguh sangat menyedihkan, ada orang dari kalangan tokoh
da’i atau orang yang mengaku bahwa dirinya adalah da’i, menunda shalat wajib
dari waktunya tanpa alasan yang benar, atau bahkan tidak memperhatikan shalat
berjama’ah. Bahkan ada pula yang menghalalkan riba, menghalalkan lagu-lagu dan
musik, atau memelihara (menyimpan) gambar makhluk hidup atau merokok. Ada pula
di antara mereka yang mencukur jenggotnya tanpa alasan yang benar [48],
atau meniru-niru (menyerupai) orang-orang kafir di dalam cara berpakaian dan
berpenampilan bahkan di seluruh prilaku kehidupannya. Dan di antara mereka ada
pula orang yang tidak memperhatikan hijab syar’i (jilbab) bagi kaum wanita atau
menyetujui adanya ikhtilath (pembauran) haram antara laki-laki dengan wanita
dan ia meridhainya, dan lain-lain dari perkara-perkara yang merendahkan
martabat agama atau menodai ‘adalah (keadilan dan kewibawaan-ed), atau
berlawanan dengan kemuliaan dan tidak boleh terjadi dari orang yang menjadikan
dirinya dalam deretan da’i dan sebagai teladan.
- Apakah pantas mengklaim diri sebagai pengikut Ahlus Sunnah orang yang
tidak menjadikan tujuan dan target dakwahnya adalah belajar dan mengajarkan
Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mengibarkan panjinya, menyeru manusia
kepadanya dan mempertahankannya?! Padahal Aqidah Ahlus Sunnah adalah jalan yang
lurus dan benar.
- Bagaimana menjadi (pengikut) Ahlus Sunnah orang yang tujuannya adalah
pura-pura atau asal-asalan beraqidah dengan Aqidah Ahlus Sunnah dan
mengesampingkan sanggahan terhadap sekte dan golongan yang menyalahi (Aqidah
Ahlus Sunah), mengesampingkan sanggahan terhadap berbagai bid’ah para ahli
bid’ah karena berdalih “tidak ingin memprovokasi perbedaan-perbedaan di antara
kaum muslimin”.
- Di antara para da’i itu juga ada da’i yang berupaya menyatukan kaum
muslimin bukan dengan dasar kalimatun sawa’ (Aqidah tauhid), melainkan
dengan dasar perbedaan keyakinan, kesesatan dan bid’ah yang ada pada
masing-masing kelompok. Ini benar-benar seperti pengumpul kayu bakar di malam
hari yang gelap!!!
Memang tidak syak lagi bahwa menyatukan kekuatan kaum muslimin itu merupakan tujuan yang sangat mulia, bahkan merupakan bagian dari prinsip agama yang paling agung, tidak mengingkari tujuan ini kecuali seorang yang sesat atau bodoh. Akan tetapi menghimpun dan menyatukan kaum muslimin harus dan wajib berdasarkan al-haq (kebenaran), berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah serta berpegang teguh kepada tali Allah (aqidah shahihah- pen) bukan berdasarkan kepada sekedar syi’ar-syi’ar Islam yang kosong dan kering dari aqidah yang benar.
Memang tidak syak lagi bahwa menyatukan kekuatan kaum muslimin itu merupakan tujuan yang sangat mulia, bahkan merupakan bagian dari prinsip agama yang paling agung, tidak mengingkari tujuan ini kecuali seorang yang sesat atau bodoh. Akan tetapi menghimpun dan menyatukan kaum muslimin harus dan wajib berdasarkan al-haq (kebenaran), berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah serta berpegang teguh kepada tali Allah (aqidah shahihah- pen) bukan berdasarkan kepada sekedar syi’ar-syi’ar Islam yang kosong dan kering dari aqidah yang benar.
- Dan di antara mereka ada yang meremehkan amar ma’ruf dan nahi munkar,
menyepelekan nasihat kepada para umara dengan anggapan bahwa masalah seperti
ini adalah masalah kulit (tidak substansial). Ini tentu sangat bertentangan
dengan manhaj (metode dan jalan dakwah) Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan
prinsip-prinsip ajaran mereka, sebagaimana telah diuraikan di atas.
Dan terakhir,.......
Sesungguhnya masalah-masalah yang penulis singgung tadi di dalam realitas
dakwah bukan sekedar fenomena atau prilaku individu-individu, melainkan merupakan
ciri khas, sikap, metode, tujuan (target) dan etika umum sebahagian kelompok
(jama’ah), pergerakan dan da’i.
Penulis merasa bahwa kewajiban memberikan nasihat (kritik) mengharuskan
penulis untuk menguraikan lebih jauh tentang masalah ini, dan menuntut agar
penulis memberikan argumentasi atas apa yang penulis kemukakan ini. Hanya saja
tidak bisa penulis lakukan pada kesempatan ini. Sekalipun begitu, penulis tetap
bertekad –dengan izin Allah- akan melakukannya.
Sekalipun penulis yakin bahwa di sana-sini ada orang yang lebih mampu dan
lebih pantas dari pada penulis melakukan hal ini, namun penulis merasa hal ini
tidak menjadi penghalang bagi penulis untuk andil dan ambil bagian menurut
kemampuan yang ada. Wallahul Muwaffiq.
5. Antara Ahlus Sunnah dan Asya’irah
Di sana terdapat ketidakjelasan yang besar yang terjadi pada sebahagian
orang, dahulu dan sekarang, yaitu klaim (golongan) Asya’irah bahwa merekalah
Ahlus Sunnah, dan kadang kala kelompok lain pun menyebut mereka (Asya’irah)
seperti itu. Ini adalah klaim yang penuh dengan ketidakjelasan, di dalamnya
terdapat banyak kekaburan dan kerancuan. Untuk lebih jelasnya –secara rinci-
membutuhkan pembahasan panjang, namun penulis akan berupaya menjelaskan
berdasarkan pengetahuan yang ada dengan (penjelasan) yang sangat singkat
sebagai berikut:
Pertama: Ahlus Sunnah wal Jama’ah disebut demikian, karena mereka
adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, dan merekalah Jama’ah yang telah disebutkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. [49] Maka dengan demikian Ahlus Sunnah itu
adalah para shahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, para tabi’in
dan orang-orang yang ikut dan menelusuri jejak mereka (di dalam beragama)
hingga hari kiamat kelak, tidak melakukan perbuatan bid’ah ataupun mengubah
ajaran agama ini. Maka siapapun yang melakukan perbuatan bid’ah, mengganti
ajaran agama atau mengadakan ajaran baru yang bukan dari ajaran agama ini dan
bukan dari aqidah dan sunnah yang dipegang oleh generasi awal (salaf), maka ia
bukan dari golongan Ahlus Sunnah di dalam hal yang ia ganti atau ubah itu.
Kedua: Asya’irah (atau yang lebih dikenal dengan julukan
Asy’ariyah-pen) adalah kelompok teologis (kalamiyah) yang datang kemudian.
Mereka lahir sesudah tiga qurun utama [50]. Kelompok ini dinisbatkan
kepada Imam Abul Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari (W.324 H) rahimahullah,
seorang tokoh yang dahulunya menganut aliran Mu’tazilah, kemudian meninggalkan
aqidah Mu’tazilahnya kira-kira tahun 300 H. Dan semenjak itu beliau memberikan
sanggahan dan kritikan tajam terhadap penganut aqidah Mu’tazilah dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan kalam (teologis) dari satu sisi dan
pendekatan nash-nash al-Qur’an dan Sunnah dari sisi yang lain. Dan dengan
begitu ia bersama orang yang sejalan dengannya benar-benar membabat dan
menentang habis kelompok Mu’tazilah [51], hingga benar-benar ia
pojokkan. Ini adalah merupakan perbuatan mulia dan ia pantas mendapat pujian.
Di dalam suasana seperti ini muncul aliran teologis baru yang bersifat
campuran (talfiqi), bukan aliran murni sunni dan bukan pula murni kalam
rasional, sehingga angin topan pertikaian reda dan kekalahan berada di pihak
Mu’tazilah. Di sini Imam Abul Hasan al-Asy’ari benar-benar telah mendapat ujian
berat dan keluar sebagai pemenang melawan Mu’tazilah dan Jahmiyah serta
kelompok-kelompok kalam lainnya. [52] Di sinilah Abul Hasan al-Asy’ari
menemukan kebenaran dan mengetahui bahwa ia menang karena ia kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan karena
pembelaannya kepada Sunnah dan ahlinya serta karena ia bergandeng tangan dengan
para tokoh ulama salaf lainnya.
Kemudian beliau meninggalkan pemikiran-pemikirannya di dalam masalah
sifat-sifat Allah dan beberapa masalah lainnya di mana di situ beliau menempuh
cara ta’wil dan bersandar kepada akal dan kalam di dalam perkara-perkara ghaib,
sifat-sifat Allah dan qadar (taqdir). Lalu beliau memutuskan untuk menempuh
jejak Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan beliau pun menyatakannya di dalam kitab
monumentalnya “al-Ibanah” [53]. Di sini Allah telah memberinya taufiq
hingga terlepas dari jeratan talfiq teologis, seraya ia berkata:
“......Keyakinan yang kami yakini dan agama yang kami anut adalah
berpegang teguh kepada Kitab suci Tuhan kami (al-Qur’an) dan Sunnah nabi kami,
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan segala apa yang diriwayatkan dari
para shahabat, para tabi’in dan para pemuka Ahli Hadits. Kepada hal itu kami
berpegang teguh dan kepada apa yang diyakini oleh Abu Abdullah, Ahmad bin Hanbal
-semoga Allah mencerahkan wajahnya, meninggikan derajatnya, melipatgandakan
pahalanya- kami meyakininya, dan terhadap siapa saja yang menyalahinya kami
menjauhkan diri....”. [54]
Akan tetapi madzhab beliau yang kedua, yaitu madzhab perpindahan dari i’tizal
(aqidah mu’tazilah) ke (aqidah) yang diperoleh melalui cara Ibnu Kullab
al-Kalamiyah tetap menjadi madzhab aqidah yang diikuti (oleh kebanyakan orang)
hingga sekarang, karena dapat memenuhi harapan kaum filosof dan para
mutakallimin serta ahlut ta’wil.
Jadi aliran Asya’irah itu disandarkan kepada Imam Abul Hasan Ali al-Asy’ari
sebelum beliau beralih kepada keyakinan Ahlus Sunnah dan baru meninggalkan
aqidah mu’tazilah. Sekalipun beliau telah menanggalkan madzhab atau aliran
Asy’ariyah tersebut dan telah menulis (aqidah yang diyakininya dan berbeda
dengan sebelumnya-Pen) di dalam kitabnya “al-Ibanah” dan kitab “Maqalatul
Islamiyyin”, namun kaum Asya’irah (pengikut madzhab transisi Imam Abul Hasan
al-Asy’ari-Pen) tetap mengesampingkan aqidah akhir yang menjadi anutan beliau
itu.
Demikianlah riwayat lahirnya aliran Asya’irah. Jadi, Asya’irah itu adalah
aliran atau madzhab baru yang merupakan campuran (paduan) antara aqidah Ahlus
Sunnah dan aqidah Mu’tazilah. Oleh karenanya, penganut aliran ini (Asya’irah)
merupakan kelompok pemikiran teologis yang lebih dekat kepada Ahlus Sunnah.
Di sisi lain, aliran Asya’irah ini tumbuh dengan melalui beberapa periode
sejarah, yang pada setiap periode perselisihan di antara mereka dengan Ahlus
Sunnah makin melebar, terutama setelah para tokoh mereka berikutnya memasukkan
prinsip-prinsip dan i’tiqad-i’tiqad baru ke dalamnya, seperti filsafat,
tasawwuf, mantiq, kalam dan debat, sehingga aqidah Asya’irah itu merupakan
campuran dari semua itu.
Di antara tokoh mereka yang paling menonjol adalah al-Baqillani, wafat tahun
403 H., al-Qusyairi, wafat tahun 465 H., Abul Ma’ali al-Juwaini, wafat tahun
478 H., Ibnul ‘Arabi, wafat tahun 542 H., Imam Ghazali, wafat tahun 505 H.,
al-Fakhrur Razi, wafat tahun 606 H., al-Amidi, wafat tahun 682 H, dan
lain-lainnya. Semoga Allah mengampuni kita dan mereka semua. [55]
Jadi Aliran (Aqidah) Asya’irah yang ada sekarang ini adalah merupakan
campuran dan paduan dari berbagai sumber dan berbagai keyakinan, yaitu dari
Ahlus Sunnah, filsafat, tasawwuf dan ilmu kalam. Maka dari itulah kita dapatkan
mereka sebagai orang yang ber-intisab kepada sunnah yang lebih banyak
terjerumus di dalam penyimpangan aqidah dan ibadah (maksudnya: bid’ah aqidah
dan ibadah).
Yang demikian itu sangat berbeda halnya dengan Ahlus Sunnnah pada setiap
masa. Dan juga kita temukan bahwa kebanyakan penganut aliran Asya’irah masa
kini terhimpun di dalam berbagai tariqat sufi yang penuh bid’ah, di mana di
kalangan mereka banyak terjadi perbuatan bid’ah kubur, bid’ah tabarruk kepada
manusia (yang dianggap wali) dan benda-benda, bid’ah di dalam hal ibadah, do’a,
maulid nabi dan lain-lainnya. Bid’ah-bid’ah itulah pada saat ini yang
membedakan mereka dari Ahlus Sunnah secara jelas.
Pada kenyataannya kini jarang sekali pembaca melihat seseorang dari pengikut
aliran Asya’irah yang tidak mempunyai bid’ah atau kecenderungan kepadanya, atau
menganggap sederhana dan tidak peduli kepada masalah yang sangat berbahaya ini.
Dan sebaliknya, orang-orang yang benar-benar berintisab (berafilliasi) kepada
Ahlus Sunnah, anda akan sangat jarang menemukan seorang dari mereka yang
melakukan perbuatan bid’ah, kecuali karena kebodohan. Ini pun –alhamdulillah-
sangat jarang terjadi.
Karena itulah kaum Asya’irah masa kini, karena ikut-ikutan Syi’ah dan pengikut-pengikut
aliran lainnya, menjuluki Ahlus Sunnah yang ada di seluruh negeri dengan
julukan “Wahhabiyah”, sebagai nisbat kepada seorang da’i pembaharu, yaitu
Muhammad bin Abdul Wahhab, rahimahullah. Dan dahulu mereka menjuluki Ahlus
Sunnah dengan julukan “Hanabilah” sebagai nisbat kepada Imam Ahmad bin Hanbal,
rahimahullah. Mereka tidak mengetahui bahwa menjuluki mereka dengan julukan dua
tokoh terkemuka ini, yaitu Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Abdul Wahhab
adalah merupakan rekomendasi bagi mereka, dan merupakan kehormatan dan
kesaksian bagi mereka, bahwa merekalah orang-orang yang menelusurui jejak para
tokoh ulama Ahlus Sunnah.
Pendek kata, kaum Asya’irah sependapat dengan Ahlus Sunnah di dalam beberapa
masalah aqidah, namun mereka juga menyalahinya di dalam beberapa masalah yang
lain. Maka terhadap kesamaan antara mereka dengan Ahlus Sunnah di dalam
beberapa hal itu mereka boleh disebut Ahlus Sunnah, dilihat dari sudut
kepatuhan mereka kepada Sunnah di dalam masalah-masalah itu. Namun, mereka secara
global bila dilihat dari penyimpangan mereka dari Ahlus Sunnah di dalam
prinsip-prinsip yang lain yang jumlahnya tidak sedikit, maka mereka secara umum
tidak bisa disebut Ahlus Sunnah. Hal ini banyak yang tidak diketahui dan masih
samar bagi kebanyakan orang, karena kurangnya pengetahuan dan kajian mereka
terhadap ucapan-ucapan Ahlul ilmi (para ulama) di dalam masalah ini.
6. Beberapa Masalah yang Sangat Penting di Mana Asy’ariyah Menyalahi
Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Seolah-olah penulis di sini diminta oleh pembaca untuk menyebutkan hal-hal
apa saja yang diperselisihkan Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah di dalam masalah
prinsip-prinsip agama dan aqidah. Maka penulis katakan secara singkat, dengan
memohon taufiq kepada Allah :
·
Di antara masalah yang sangat
prinsipil di mana Asya’irah menyalahi Ahlus Sunnah adalah kelancangan mereka
terhadap sifat-sifat Allah Subhaanahu Wata'ala dengan melakukan ta’wil yang
dilarang oleh para ulama salaf, terutama sifat-sifat khabariyah yang dengan
sifat-sifat itu Allah mensifati diri-Nya, atau dengannya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mensifati Allah. Seperti sifat-sifat berikut: tangan (yad),
mata (‘ain), diri (nafs), wajah (wajh), bersemayan di ‘arasy (istawa ‘alal
‘arsy), turun (nuzul), datang (maji’), rela (ridha), murka (ghadhab), mencintai
(hubb), membenci (bughdhu) [56] dan sifat-sifat khabariyah lainnya yang
disebutkan oleh Allah Subhaanahu Wata'ala di dalam al-Qur’an atau diungkapkan
oleh Rasul-Nya di dalam hadits-hadits shahih. Mereka (Asya’irah) tidak mempercayainya
sebagaimana adanya dan sebagaimana diyakini oleh para ulama salaf. Mereka
menta’wilkannya dan memalingkan lafazh-lafzhnya dari (makna) lahirnya, karena
takut terperosok ke dalam syubhat tajsim dan tamtsil. Mereka telah melupakan
efek buruk dari perbuatan mereka men¬tahrif firman Allah, mengabaikan (ta’thil)
maknanya, mengatakan sesuatu atas nama Allah tanpa dasar ilmu dan hal lain yang
mengharuskan melakukan ta’wil dan bertentangan dengan prinsip taslim, patuh dan
tunduk kepada Allah Subhaanahu Wata'ala. Sebab, bagaimana bisa layak, kalau
Allah mengungkapkan tentang diri-Nya, dan Rasul-Nya mengungkapkan tentang-Nya
dengan sifat-sifat yang tidak layak! atau mengharuskan tasybih dan tajsim,
kemudian masalah ini tidak terungkap kecuali oleh para mutakallimun sesudah
abad ketiga hijriyah!!?
Bagaimana mungkin pemahaman ini tidak diketahui
oleh para shahabat, tabi’in dan para pemuka ulama salaf, lalu hanya diketahui
oleh para mutakallimun!! Ini benar-benar merupakan hal yang tidak pantas
dilakukan terhadap firman Allah (kalamullah) Subhaanahu Wata'ala dan sabda
Rasul-Nya, para shahabat, tabi’in dan para pemuka ulama terdahulu yang lebih
alim (mengetahui) dari pada mereka dan lebih bertaqwa kepada Allah! Padahal
Allah Subhaanahu Wata'ala ketika mensifati diri-Nya dengan sifat-sifat, seperti
dua tangan, wajah, diri, ridha, murka, datang, bersemayam, tinggi dan
sifat-sifat lainnya, Dia pun telah menutup rapat pintu syubhat tamtsil dan
ketidakjelasan berdasarkan firman-Nya:
“Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya.
Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Asy-Syura: 11)
Apakah orang-orang yang melakukan penta’wilan
terhadap sifat-sifat Allah itu lebih mengetahui tentang Allah daripada Allah
sendiri?!
Apakah mereka lebih mensucikan Allah dari pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam??
Dan apakah mereka yang lebih mengetahui maksud
Allah Subhaanahu Wata'ala dari pada para shahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan para pemuka ulama salaf, para tabi’in, tabi’it tabi’in dan
para pemuka ulama pembela petunjuk dan sunnah yang hidup dalam tiga qurun yang
mulia?! Yaitu mereka yang memahami sifat-sifat Allah dan perkara-perkara ghaib
yang lain yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya secara apa adanya baik lafazh
maupun makna menurut maksud Allah dan Rasul-Nya tanpa tasybih, tanpa ta’thil
dan tanpa ta’wil.
Kaum Mutakallimun, termasuk Asya’irah benar-benar
telah ditimpa bencana disebabkan ta’wil yang mereka lakukan terhadap
sifat-sifat Allah dan terhadap beberapa masalah aqidah lainnya. Yaitu bencana
memasukkan istilah-istilah, lafazh-lafazh dan dugaan-dugaan akal yang tidak
layak dikatakan di dalam hak Allah Subhaanahu Wata'ala, baik secara penafian
ataupun itsbat (penetapan).
Setidaknya itu merupakan ungkapan bid’ah (kalam
mubtada’) tidak bersumber dari Allah ataupun Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Maka menahan diri darinya adalah lebih selamat, dan masuk ke dalam
wilayah ini merupakan kelancangan terhadap Allah tanpa landasan ilmu, seperti
masalah hudud (batas), ghayat (batas sesuatu), jihat (arah), mahiyah (hakikat),
harakah (gerak), haiz (wilayah), ’aradh (accident), jauhar (substansi), huduts
(baru) dan qidam (dahulu, lebih dahulu).
Dan klaim kepastian (qath’iyah) akal dan
kezhanniyahan nash (naql).... Seperti ungkapan mereka tentang: tarkib
(tersusun, susunan) dan tab’idh (terbagi menjadi beberapa bagian). Dan juga
perkataan mereka tentang Allah Subhaanahu Wata'ala :”Dia tidak berada di dalam
alam semesta dan tidak pula di luarnya” [57], dan ungkapan-ungkapan lain
yang mereka buat mengenai Allah Subhaanahu Wata'ala, baik secara nafi maupun
itsbat dalam rangka penyesuaian diri dengan kaedah-kaedah teologis Mu’tazilah,
jahmiyah dan falsafat rasionalis konfrontalis.
Memang ungkapan-ungkapan mereka di dalam
masalah-masalah ini kadang mengandung sebahagian kebenaran, akan tetapi Allah
Subhaanahu Wata'ala telah melarang kita berbuat seperti mereka. Setidaknya
perbuatan seperti itu dapat dipastikan merupakan al-qaul ‘alallahi bighairi
‘ilm, ucapan terhadap Allah tanpa ilmu. Padahal Allah Subhaanahu Wata'ala
telah berfirman:
“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya”. (al-Isra’: 46)
Dan Dia juga berfirman:
“Hanya milik Allah Asma’ul Husna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya”.
(al-A’raf: 180)
(Maka berdasarkan firman Allah di atas) Ahlus
Sunnah tidak membicarakan masalah-masalah sifat-sifat ketuhanan kecuali dalam
rangka memberikan sanggahan, menegakkan Hujjah (argumentasi) dan hanya sebatas
kebutuhan. Jadi penyelisihan Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah di dalam masalah
sifat-sifat Allah adalah bukan masalah yang bersifat furu’iyah, karena
permasalahannya berkaitan dengan salah satu bagian dasar (prinsip) teragung
dari dasar-dasar agama, yaitu tauhid sifat-sifat yang berkaitan dengan Allah
Maha Pencipta.
Sekalipun begitu, Asya’irah tetap merupakan
kelompok aliran teologis yang lebih dekat kepada Ahlus Sunnah, karena maksud
mereka melakukan ta’wil itu adalah tanzih (mensucikan Allah), hanya saja tidak
berdasarkan petunjuk dan mengikuti tuntunan (para ulama salaf). Bahkan mereka
terperosok ke dalam apa yang diperingatkan oleh Ahlus Sunnah, yaitu haram
melakukan ta’wil, berdebat dan memberikan perumpamaan bagi Allah Subhaanahu
Wata'ala dan hal-hal yang serupa yang bertentangan dengan kewajiban tunduk dan
pasrah kepada nash-nash agama (syar’i). [58]
·
Prinsip dasar lain yang
diperselisihkan Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah adalah sandaran mereka kepada
akal, debat dan ilmu kalam (nazhor) di dalam masalah sifat-sifat Allah, masalah
qadar (taqdir) dan masalah-masalah ghaib. Mereka lebih mengutamakan akal, apa
yang mereka sebut al-qawathi’ al-’aqliyah, daripada an-naql (al-Qur’an
dan as-Sunnah) di dalam mengkaji masalah-masalah ghaib, aqidah, bahkan di dalam
masalah yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah Subhaanahu Wata'ala.
Kaidahnya menurut mereka, sebagaimana ditetapkan
oleh Fakhrur Razi, al-Juwaini dan lain-lain adalah “bahwa sesungguhnya dalil-dalil
naqli (al-Qur’an dan Hadits) itu tidak memberikan kepastian (keyakinan)” [59].
Dan “bahwasanya dalil-dalil naqli itu zhanniy (relatif), sedangkan dalil-dalil
aqli (rasional) itu qath’i (pasti); dan zhanni itu tidak bisa menentang yang
qath’i” [60]. Subhanallah!!
·
Tafsiran mereka terhadap tauhid
terbatas pada tauhid rububiyah saja. Mereka lupa akan tauhid uluhiyah dan
ibadah hanya kepada Allah Subhaanahu Wata'ala semata, padahal tauhid uluhiyah
ini merupakan tauhid yang karenanya para rasul diutus, sebagaimana firman Allah
Subhaanahu Wata'ala:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun
sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasannya tidak ada Tuhan
(yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah oleh kamu sekalian akan Aku”.
(al-Anbiya: 25)
Ia merupakan tauhid yang karenanya Allah
menciptakan manusia, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ
“Dan sekali-kali Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan agar mereka hanya beribadah kepada-Ku”. (adz-Dzariyat:56)
Oleh karena itu, kita dapatkan perbuatan bid’ah di
dalam berbagai bentuk ibadah dan terperosok di dalam perbuatan kesyirikan yang
cukup banyak sekali pada orang-orang yang berintisab kepada Asya’irah
muta’akhkhirin, disebabkan kelalaian mereka di dalam tauhid uluhiyah.
Ini tidak berarti bahwa Ahlus Sunnah menganggap
remeh masalah tauhid rububiyah, sekali-kali tidak begitu! Akan tetapi memulai
(dakwahnya) sesuai dengan dari mana Allah memulai dan dari mana pula Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam memulainya. Tauhid Rububiyah itu juga bersifat
fitri, hampir tidak ada yang mengingkarinya kecuali sangat jarang sekali. Dan
kebanyakan ayat-ayat yang berbicara tentang tauhid rububiyah itu dalam konteks
membicarakan konsekwensinya, yaitu tauhid ibadah dan ta’at (uluhiyah). Maka
dari itu tidak dikenal adanya suatu umat yang mengingkari tauhid Rububiyah.
Bahkan tidak ada satu golongan yang sepakat atas masalah ini sebenarnya; dan
sekiranya ada, niscaya Allah Subhaanahu Wata'ala menyebutkannya di dalam kisah-kisah
para nabi. Lain halnya dengan tauhid Uluhiyah, banyak sekali umat, golongan dan
kelompok yang tersesat darinya hingga saat ini.
Dari itu pula kita lihat bahwa para peneliti dan
pemuka Asya’irah memulai karya-karya mereka di dalam bidang aqidah dengan
masalah-masalah aqliyat, teori-teori, keyakinan-keyakinan dan
pandangan-pandangan, istilah-istilah teologis dan filosofis serta (ditegaskan)
bahwasanya dali-dalil naqli (sam’iyat, wahyu) tidak memberikan kepastian
(keyakinan)! Dan bahwasanya dalil-dalil aqli itu pasti dan meyakinkan. Lalu
dibicarakan pula masalah hudutsul’alam (alam ini baru), kepastian ada Pencipta
dan lain-lainnya (yang sangat sarat dengan) filsafat dan ilmu kalam, dan
kemudian diakhiri dengan pembahasan tauhid Rububiyah. [61]
Yang demikian itu sangat jauh berbeda dengan metode
yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah, bahkan berbeda dengan metode (manhaj)
al-Qur’an itu sendiri. Ayat-ayat yang datang untuk mengukuhkan tauhid Rububiyah
itu sedikit dibanding dengan ayat-ayat yang datang untuk mengukuhkan tauhid
Uluhiyyah, dan kebanyakan ayat-ayat yang berkenaan dengan tauhid Rububiyyah itu
datang untuk mempertegas tauhid Uluhiyyah (tauhid Ibadah), sebagaimana
dijelaskan di muka.
·
Mereka juga menyalahi Ahlus Sunnah
pada prinsip-prinsip yang lain, seperti dalam masalah al-Qur’an dan Kalamullah,
[62] Iman [63], Qadar [64] dan Nubuwwat (masalah kenabian)
[65] di mana mereka sangat terpengaruh dengan kaedah-kaedah kalam dan
filosofis di dalam pandangan mereka terhadap masalah-masalah tersebut. Maka aqidah
mereka lahir dalam bentuk campuran dari haq dan kebatilan, campuran antara
aqidah Ahlus Sunnah, Mu’tazilah dan kaum filosof. Oleh kerena itu, banyak kita
dapatkan mereka menggunakan istilah-istilah filosofis dialektis mengandung
makna haq dan batil dan berbeda jauh dengan lafazh (istilah-istilah) yang ada
dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Demikianlah... Sesungguhnya masalah-masalah yang diperselisihkan Asya’irah
terhadap Ahlus Sunnah tersebut di atas adalah merupakan prinsip-prinsip aqidah
dan furu’ (cabang)nya menuntut peneliti yang obyektif dikala melakukan
penelitian, agar memberikan penilaian –sebagaimana pendapat para Ahli dari
pemuka-pemuka Ahlus Sunnah [66]- bahwa sesungguhnya aliran (madzhab)
Asya’irah di dalam aqidah merupakan madzhab independen di dalam beberapa aspek
terpisah dari Ahlus Sunnah, mempunyai prinsip-prinsip, metodologi,
pandangan-pandangan, dan ketetapan-ketetapan tersendiri, terutama di dalam
masalah-masalah sifat-sifat Allah, iman, wahyu, nubuwwat, al-Qur’an, kalamullah
dan qadar atau taqdir. Maka, Asya’irah di dalam beberapa masalah sependapat
dengan Ahlussunnah, namun berselisih di dalam masalah-masalah yang lain.
Sesungguhnya tidak boleh kita membebani Salaf (Ahlus Sunnah wal Jama’ah)
dengan aqidah dan istilah-istilah yang dibuat oleh Asya’irah, seperti ilmu
kalam dan filsafat. Dan sesungguhnya merupakan tindakan tidak etis kalau kita
menisbatkan keyakinan-keyakinan dan istilah-istilah seperti itu kepada para
shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para tabi’in dan para pemuka ulama
sunnah yang ada dalam generasi mulia, padahal keyakinan-keyakinan dan
istilah-istilah itu lebih mendominasi di dalam aqidah Asya’irah, sebagaimana
penulis uraikan di muka.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang tidak melenceng dan tidak menambah madzhab
salaf hingga masa kini. Maka orang yang ber-intima’ dan ber-intisab
(berafiliasi) kepada Ahlus Sunnah harus meyakini dan beraqidahkan apa yang
telah dijadikan aqidah oleh Ahlus Sunnah di dalam masalah prinsip-prinsip
(ushul) agama, mengikuti apa yang telah mereka katakan dan telah mereka
tetapkan, bukan malah meyakini (apa) yang sesuai dengan kaidah-kaidah rasional
dan filosofis yang ia miliki, lantas kemudian menisbatkan keyakinannya dan
aqidahnya itu kepada Salaf, sebagaimana dilakukan oleh tidak sedikit dari para
pengkaji di kalangan Asya’irah.
Jika kita suguhkan keyakinan dan aqidah Asya’irah kepada keyakinan dan
aqidah yang kita nukil dari Salaf yang hidup pada qurun (generasi) yang mulia,
niscaya kita temukan perbedaan yang sangat menonjol. Kita akan temukan bahwa
Asya’irah telah melakukan bid’ah (hal baru) dan membuat beberapa keyakinan dan
istilah yang dilarang oleh para pemuka ulama Salaf seperti mengkaji masalah
sifat-sifat ketuhanan, perkara-perkara yang ghaib dengan meraba-raba dan
pendekatan-pendekatan bid’ah teologis. Sebagaimana telah kami sampaikan
contoh-contohnya di muka. [67]
Adalah haq dan adil kalau kita katakan: Sesungguhnya Asya’irah, secara umum,
merupakan aliran yang paling dekat kepada Ahlus Sunnah daripada aliran-aliran
teologis lainnya, dan di antara mereka (penganut aliran Asya’irah) itu sendiri
ada orang-orang yang lebih dekat kepada Sunnah dari pada yang lain, dan ada
pula dari pengikut aliran Asya’irah ini yang tergolong : Ahli hadits terkemuka,
ulama ahli tafsir terkenal, ahli fiqih, ahli bahasa Arab, dll. Ada di antara mereka yang mempunyai kedudukan
dan keutamaan tinggi di dalam ilmu dan agama. Bahkan ada di antara tokoh-tokoh
ulama Ahlul Hadits yang berintisab atau dinisbatkan kepada Asya’irah yang
secara umum di dalam aqidahnya tergolong Ahlus Sunnah, maka menisbatkan mereka
kepada Asya’irah membutuhkan kehati-hatian dan penelitian lebih jauh, terutama
seperti: Imam al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu ‘Asakir, Imam an-Nawawi dan Ibnu Hajar
al-’Asqalani serta para tokoh dan pemuka ulama sunnah dan hadits yang lain.
Mereka lebih dekat kepada Ahlussunnah daripada kepada kaum mutakallimin.
Orang yang alim dari Asya’irah, setiap kali ilmu mereka di dalam sunnah,
hadits dan atsar makin bertambah, maka kebanyakannya mereka makin lebih dekat
kepada Ahlus Sunnah di dalam aqidah.
Ada satu hal
lain yang layak disebut di sini adalah bahwa uraian di atas mengandung bukti
yang sangat kuat bahwa Asya’irah menyalahi Ahlus Sunnah di dalam beberapa
masalah besar prinsip aqidah, dan bahwasanya ketika mereka melakukan kajian dan
penelitian mendalam secara obyektif, maka mereka meninggalkan aqidah Asya’irah
dan kembali kepada aqidah Ahlus Sunnah. Bukti yang dimaksud adalah kembalinya
kebanyakan tokoh terkemuka Asya’irah dan para peneliti kawakan mereka kepada haribaan
aqidah Ahlus Sunnah, tunduk dan patuh kepadanya pada akhir petualangan mereka
atau di akhir usia mereka, sebagaimana terjadi pada Imam Abul Hasan Ali
al-Asy’ari itu sendiri, dimana beliau memastikan menganut Aqidah Salaf Ahlus
Sunnah di dalam kitabnya “al-Ibanah” [68], juga Imam Abul Ma’ali
al-Juwaini, Abu Muhammad al-Juwaini, Imam Fakhrurrazi, Imam Asy-Syahristani,
Imam Ghazali, Imam Ibnul Arabi dan lain-lain. [69]
Di antara mereka ada yang kembali kepada aqidah Ahlus Sunnah dan
meninggalkan ilmu kalam. Hal itu dijelaskan melalui tulisannya tentang aqidah
yang menjadi pegangannya. Dan di antara mereka ada pula yang memproklamirkan
keyakinannya kepada aqidah Ahlus Sunnah dengan gamblang sebelum wafat dan ia
tidak sempat untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. [70]
Penulis akan mengakhiri pembahasan ini dengan menjelaskan bahwa tampak jelas
bagi penulis bahwa kelompok Asya’irah masa kini (kontemporer) jauh dari Ahlus
Sunnah melebihi para pendahulu mereka, hal itu disebabkan minimnya pengetahuan
mereka tentang Aqidah Salaf, juga karena mereka telah terkontaminasi dengan
faham filsafat, ilmu kalam, berbagai bid’ah, khurafat dan kebanyakan mereka
bernaung di bawah payung tarikat-tarikat tasawwuf dan yang serupa dengannya. [71]
Semoga Allah memberi mereka petunjuk, membukakan mata hati kita dan mereka
semua bagi kebenaran dan jalan yang lurus.
Perlu disebutkan di sini bahwa apa yang telah
penulis uraikan di atas tentang menjauhnya Asya’irah dari Ahlus Sunnah di dalam
beberapa prinsip-prinsip aqidah tidak berarti penulis mengkafirkan atau
memandang mereka sesat. Penulis sama sekali tidak menyinggung masalah ini,
karena bagi penulis, masalah ini sangat besar lagi berbahaya, membutuhkan
uraian lebih lanjut dan bukan di sini tempatnya.
7. Di Mana Ahlus Sunnah Berada?
Pada bagian terdahulu telah penulis singgung mengenai definisi Ahlus Sunnah,
ciri dan karakteristik aqidah mereka, dan telah penulis jelaskan bahwa
Asya’irah, mazhab yang paling banyak tersebar di hampir seluruh dunia Islam,
mereka bukan Ahlus Sunnah. Maka adalah benar kalau seseorang bertanya-tanya:
Kalau begitu di mana Ahlus Sunnah? Bagaimana kita dapat mengenal mereka di
tengah-tengah kaum muslimin?
Secara singkat, jawabannya menurut hemat penulis adalah sebagai berikut:
Bahwa sesungguhnya Ahlus Sunnah itu telah dijelaskan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah ditentukan sejelas-jelasnya hingga
tampak jelas seperti matahari, bagi orang yang diberi taufiq oleh Allah dan
selamat dari cengkeraman hawa nafsu, fanatisme dan taklid buta. Di antara sifat
dan ciri-ciri Ahlus Sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam itu ialah:
·
Mereka adalah orang-orang yang
konsisten dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik secara
penampilan, tutur kata, aqidah, prilaku maupun ibadah. Petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam itu telah dijelaskan sejelas-jelasnya oleh
Sunnah-nya.
Jadi, Ahlus Sunnah adalah tokoh-tokoh yang menonjol
lagi terkemuka dari generasi ke generasi semenjak generasi para shahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam hingga generasi kita sekarang ini, mereka dikenal
dengan sikap ittiba’, iqtida’ dan ihtida’ (patuh, meneladani Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam konsisten dan berpegang teguh kepada sunnah).
·
Mereka adalah orang-orang yang
berpegang teguh kepada aqidah salaf, yaitu para shahabat Nabi, para tabi’in dan
para tokoh pemuka agama yang ada pada tiga masa generasi yang utama. Aqidah
salaf itu diriwayatkan dan dikenal serta tercatat –alhamdulillah- di dalam
karya-karya para ulama terkemuka seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari,
Imam Ibnu Abi ‘Ashim, Imam Ad-Darimi, Imam Abdullah bin Ahmad, Imam Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Baththah, Ibnu Mandah, Imam al-Khallal, Imam al-Asy’ari [72]
setelah ia memproklamirkan aqidah salaf, Imam Isma’il as-Shabuni, Imam
ath-Thahawi, Imam Ibnu Taimiyah dan banyak lagi imam-imam lainnya, mereka
sangat dikenal oleh para ahli ilmu (ulama) dan oleh setiap orang yang mempunyai
keinginan untuk mengenal mereka.
·
Mereka adalah orang-orang yang
selamat (bebas), tidak tercemar oleh bid’ah, kesyirikan dan ajaran-ajaran
tarikat sufi. Anda tidak pernah melihat Ahlus Sunnah, kapan saja dan di mana
saja mengusap-usap kuburan, manusia, bebatuan, benda-benda peninggalan nenek
moyang dan patung-patung; mereka juga tidak berdo’a (memohon) kepada selain
Allah, tidak meminta keselamatan kepada orang-orang yang sudah mati, tidak
mendirikan bangunan atau kubah di atas kuburan, dan mereka tidak melakukan
perayaan-perayaan hari kelahiran (maulid) dan berbagai perkumpulan bid’ah
lainnya. Dan amat sangat jarang anda temukan seorang Ahlus Sunnah yang bernaung
di bawah asuhan tarekat sufi, kecuali karena kebodohan, keawaman, kelalaian
atau karena bertaqlid buta tidak berdasarkan pengetahuan, sebagaimana dilakukan
oleh sebahagian orang awam.
·
Mereka adalah orang-orang yang
berpegang teguh kepada syi’ar-syi’ar agama, yang lahir maupun yang batin,
sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan dijelaskan oleh Rasul-Nya. Maka mereka
selalu menegakkan shalat fardhu (secara berjama’ah), mengerjakan amalan-amalan
sunnah dan mengajak orang lain kepadanya, dan mereka meninggalkan dosa,
kemunkaran, hal-hal yang diharamkan dan segala bentuk bid’ah serta melarang
(manusia) melakukannya.
·
Mereka adalah orang-orang yang
lantang (tampil) di tengah-tengah mesyarakatnya menyuarakan kebenaran (al-haq),
beramar ma’ruf dan bernahi munkar, memberantas segala bentuk bid’ah dengan
tidak peduli terhadap celaan orang yang mencela mereka. Terkadang sifat atau
karekter ini berbeda-beda di satu negeri dari negeri-negeri muslim lainnya,
karena ada sebagian negeri dimana kaum muslimin yang tidak bisa menampakkan
syi’ar-syi’ar agama mereka di sana
atau melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Secara umum, Ahlus Sunnah itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Mereka
–alhamdulillah- berada di berbagai tempat dan di berbagai negeri; di suatu
negeri jumlah mereka sedikit, namun di negeri yang lain jumlah mereka banyak.
Jadi, mereka tersebar luas di bumi Allah yang luas ini sesuai dengan kondisi
masing-masing.
Jika anda perhatikan kondisi kaum muslimin saat ini, niscaya anda temukan
bahwa di antara Ahlus Sunnah itu mempunyai keunggulan tersendiri sesuai dengan
kondisi yang melingkupinya, banyak atau sedikit, kuat atau lemah. Anda temukan
mereka di Mesir dan di Sudan
kebanyakannya ada di dalam wadah gerakan Ansharus Sunnah al-Muhammadiyah, dan
sedikit sekali yang berada di gerakan-gerakan yang lain. Di negeri Syam (Suria,
Yordan, Palestina) mayoritas mereka terdapat pada kelompok Ahli hadits dan
atsar dan sedikit sekali yang ada pada kelompok yang lain, di India, Pakistan
dan Afganistan kebanyakan mereka terdapat pada Ahli hadits, kelompok-kelompok
dan ormas-ormas keagamaan salafiyah dari pada di tempat-tempat lainnya. [73]
Telah penulis singgung di muka bahwa di antara ciri khas Ahlus Sunnah yang
paling menonjol di negeri yang tidak banyak terdapat hal-hal bid’ah dan ajaran
tarekat sufi di dalamnya adalah cap Wahabiyah bagi mereka, yaitu nisbat kepada
dakwah yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, atau cap Hanabilah,
yaitu nisbat kepada Imam Ahmad bin Hanbal.
Da’wah yang diserukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab itu merupakan contoh
nyata yang hidup bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah, baik yang berupa aqidah maupun
berupa prilaku. Dengan da’wah yang beliau serukan itu sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam benar-benar menjadi kenyataan:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ
حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ.
“Akan tetap ada segolongan dari umatku yang tampil di atas kebenaran
hingga hari kiamat kelak”. [74] Dakwah beliau (Syaikh) ini masih
tampak sampai saat ini. Segala puji hanya bagi Allah.
Perlu diketahui pula bahwa awam kaum muslimin yang masih menegakkan
syi’ar-syi’ar agama, sedangkan mereka bersih dari perbuatan kesyirikan
(penyekutuan terhadap Allah), sesungguhnya mereka masih dalam kondisi fitrah
dan mereka tergolong dalam sawadul ummah dan Ahlus Sunnah di mana pun dan kapan
pun mereka berada.
Ahlus Sunnah (wallahu a’lam) di akhir zaman nanti tidak merupakan mayoritas
ummat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa mereka
adalah tha’ifah (segolongan atau sekelompok), mereka adalah orang-orang asing,
bahkan mereka adalah sekelompok kecil saja dan merupakan salah satu golongan
dari tujuh puluh tiga golongan yanga ada. [75]
Dengan demikian, gugurlah klaim sebahagian kaum Asya’irah dan Maturidiyah
akhir-akhir ini bahwa mereka adalah Ahlus Sunnah, dengan alasan karena mereka
merupakan kelompok mayoritas di berbagai negeri kaum muslimin. Jadi secara
kuantitas (mayority) itu sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai argumen atau
dalil yang cukup untuk kebenaran. Yang menjadi ukuran itu adalah ittiba’, patuh
dan ta’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berpegang teguh
kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, menelusuri jejak para shahabat,
para tabi’in dan para pemuka tokoh agama yang ada di dalam tiga generasi utama
dan meniti langkah orang-orang yang mengikuti jejaknya dengan tidak mengganti
atau mengubah (sedikitpun dari ajaran Rasulullah) hingga hari kiamat meskipun
jumlah mereka sedikit.
Dari sisi lain, perlu diketahui bahwa mayoritas
kaum muslimin saat ini adalah orang awam yang diliputi kebodohan, tidak
mengerti rincian ‘Aqidah Islam, dan kebanyakan mereka masih dalam kondisi
fitrah (tauhidnya masih murni), hati mereka masih bersih dan aqidah mereka masih
lurus. Jika demikian adanya, maka mereka masih tergolong dalam sawadul
muslimin, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dengan catatan: mereka belum diseret oleh
syetan-syetan bid’ah dan khurafat, syetan-syetan aliran sesat, tariqat-tariqat
sufi dan menyeru kepada kesesatan. Wallahu a’lam.
Catatan Kaki :
[1] Penulis menyimpulkan kaidah-kaidah tersebut dari hasil kajian
penulis terhadap sebagian literatur para tokoh agama. Di antara buku-buku yang
banyak memberikan pelajaran kepada saya di dalam menyimpulkan kaidah-kaidah
tersebut adalah:
1. Kitabul Iman, karya Qasim bin Sallam (wafat 224 H)
2. Ar- Raddu ‘alaz zanadiqah wal Jahmiyyah, karya Imam Ahmad (wafat 241 H)
3. Kitabul Iman, karya al-Hafizh al ‘Adani, (243)
4. Al-Ikhtilaf fil Lafzhi war Raddu alal Jahmiyyah wal Musyabbihah, karya Ibnu Qutaibah (276 H)
5. As Sunnah, karya Ibnu ‘Ashim (wafat 287 H)
6. Ar-Raddu alal Jahmiyah dan Ar-Raddu alal Murisi, karya Imam Ad-Darimi (wafat 280 H)
7. al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, karya Abul Hasan al-Asy’ari (324 H)
8. Asy-Syari’ah, karya al-Ajuri (wafat 360 H)
9. As-Sunnah, karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat 290)
10. Aqidatus Salaf Ash habil Hadits, karya Abu Ismail as Shabuni (wafat 449 H)
11. Asy-Syarh wal Ibanah, karya Ibnu Baththah (wafat 387 H)
12. Dzammut Ta’wil, karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi, (wafat 620)
13. Beberapa buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728) , terutama at-Tadmuriyah, al-Wasithiyah, Hamuwiyah, Majmu’ Fatawa (1-9), al-‘Aql wan Naql, Minhajus Sunnah, Naqdlut ta’sis, dan lain-lain.
14. Ash Shawa’iq al-mursalah ‘alal jahmiyah al-mu’aththilah, karya Ibnu Qayyim, (wafat 792 H)
15. Syarah al-Aqidah ath-Thawiyyah, karya Ibnu Abil ‘Izz, (wafat 792)
16. Syarah Kitabuttauhid dari Shahih Bukhari di dalam fathul Bari, karya Ibnu Hajar (wafat 852 H)
Syarah Kitabuttauhid min Shahihil Bukhari, karya Syekh Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman. Dll.
1. Kitabul Iman, karya Qasim bin Sallam (wafat 224 H)
2. Ar- Raddu ‘alaz zanadiqah wal Jahmiyyah, karya Imam Ahmad (wafat 241 H)
3. Kitabul Iman, karya al-Hafizh al ‘Adani, (243)
4. Al-Ikhtilaf fil Lafzhi war Raddu alal Jahmiyyah wal Musyabbihah, karya Ibnu Qutaibah (276 H)
5. As Sunnah, karya Ibnu ‘Ashim (wafat 287 H)
6. Ar-Raddu alal Jahmiyah dan Ar-Raddu alal Murisi, karya Imam Ad-Darimi (wafat 280 H)
7. al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, karya Abul Hasan al-Asy’ari (324 H)
8. Asy-Syari’ah, karya al-Ajuri (wafat 360 H)
9. As-Sunnah, karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat 290)
10. Aqidatus Salaf Ash habil Hadits, karya Abu Ismail as Shabuni (wafat 449 H)
11. Asy-Syarh wal Ibanah, karya Ibnu Baththah (wafat 387 H)
12. Dzammut Ta’wil, karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi, (wafat 620)
13. Beberapa buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728) , terutama at-Tadmuriyah, al-Wasithiyah, Hamuwiyah, Majmu’ Fatawa (1-9), al-‘Aql wan Naql, Minhajus Sunnah, Naqdlut ta’sis, dan lain-lain.
14. Ash Shawa’iq al-mursalah ‘alal jahmiyah al-mu’aththilah, karya Ibnu Qayyim, (wafat 792 H)
15. Syarah al-Aqidah ath-Thawiyyah, karya Ibnu Abil ‘Izz, (wafat 792)
16. Syarah Kitabuttauhid dari Shahih Bukhari di dalam fathul Bari, karya Ibnu Hajar (wafat 852 H)
Syarah Kitabuttauhid min Shahihil Bukhari, karya Syekh Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman. Dll.
[2] Mukhtashar ash-Shawa’iq al-Mursalah, karya Ibnu Al-Qayyim. Vol.
2, hal. 359-446. Diringkas oleh Muhammad bin al-Mushili.
[3] Al-I’tiqad wal Hidayah ila Sabilir Rasyad, karya Imam Al-Baihaqi,
hal. 227.
[4] Diriwayatkan oleh Bukhari kitab “ash Shulh” dan Muslim, kitab
al-Aqdhiyah.
[5] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, karya Ibnul Abi Al-‘Izzi
al-Hanafi, hal. 143.
[6] Ibid, hal.140.
[7] Asy-Syarah wal Ibanah, hal. 123-127; Syarah al-Asidiq
ath-Thahawiyyah, hal. 258; dan asy-Syari’ah, karya al-Ajurri, hal. 54-67.
[8] Ini berbeda dengan nash-nash yang berkenaan dengan hukum-hukum,
sebab ia boleh dita’wil dan dialihkan dari zhahirnya bila ada dasar syar’inya
dan memenuhi syarat-syarat yang disebutkan oleh para tokoh agama terpandang.
[9] Ash-Shawa’iq al-Mursalah, karya Ibnu Qayyim, hal. 10-90. Dzammut
Ta’wil, karya Muwaffiquddin Ibnu Qudamah al-Maqdisi, wafat 620 H.
[10] Silakan pembaca merujuk kepada As-Sunnah, karya Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal, vol 1, hal. 264-307. Di sana disebutkan perkataan para ulama
salaf dalam hal ini. Dan asy-Syarhul wal Ibanah, karya Ibnu Baththah,
hal.127-129 dan 213-218.
[11] As-Sunnah (opcit), vol.1/307, asy-Syarhul wal ibanah (opcit)
hal. 176-177., al-Itiqad, karya Imam Baihaqi, hal 174, al-Iman, karya Ibnu
Taimiyah, hal. 186-288, ‘Aqidatus Salaf, karya As-Shabuni, hal. 68 dan Syarhus
Sunnah, karya Imam al-Baghawi. Vol.1, hal. 33.
[12] Tauhid asma’ wa shifat maksudnya adalah menetapkan dan meyakini
nama dan sifat yang telah ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya atau ditetapkan
oleh Rasul-Nya, dan menafikan apa yang dinafikan oleh Allah dari diri-Nya dan
dinafikan oleh Rasul-Nya serta mensucikan Allah dari segala aib dan kekurangan.
[13] Asy-Syarhul wal Ibanah (opcit), hal. 210, dan Syarah al-Aqidah
ath-Thahawiyah (opcit) hal. 243-248.
[14] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, (opcit), hal. 257.
[15] Asy-Syarhu wal Ibanah (opcit), hal. 211 dan Syarah al-Aqidah
ath-Thahawiyah, hal 256-257.
[16] Syarah Aqidah Thahawiyah,, opcit, hal. 103-105 dan al-I’tiqad ,
opcit. hal. 255-305.
[17] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, opcit, hal. 344-353 dan 369,
Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits, opcit, hal.60-63 dan asy-Syarh wal Ibanah, opcit,
hal. 197-208, 219-223.
[18] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 447 dan Lum’atul i’tiqad
. opcit. hal. 30-31.
[19] Aqidatus Salaf, opcit, Hal. 75-82, asy Syarh wal Ibanah, opcit.
Hal. 192. , al-Ibanah, opcit, hal. 56, dan Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah,
opcit, hal. 185 dan 185. Lihat pula Tafsir Ibnu Katsir, hal. 227-229.
[20] As-Sunnah, karya Abdullah bin Ahmad, vol. 1 hal. 132, Lum’atul
I’tiqad, opcit, hal. 15-18, al-I’tiqad, opcit, hal. 94-110, asy-Syarhu wal
Ibanah, hal. 184-186, al-Ibanah, hal. 56. Syarah Thahawiyah, hal. 107-109 dan
Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits, hal. 7.
[21] As-sunnah, karya Ibnu Abi ‘Ashim, vol. 2, hal. 364, Syarah
ath-Thahawiyah, hal. 174, asy-Syari’ah, opcit, hal. 321-326, Lum’atul I’tiqad,
hal. 34, Majmu Fatawa, opcit, vol. 1, hal. 116-117.
[22] Syarah Al-Aqidah ath-Thahawiyah, opcit, hal. 167. Asy-Syari’ah,
opcit, karya al-Ajuri, hal. 481.
[23] Al-Ibanah, opcit, hal. 59; Lum’atul I’tiqad, opcit, karya
al-Maqdisi, hal. 36 asy-Syarh wal Ibanah, opcit, hal 159-170, 264-265, 271, dan
al-Washiyah al-Kubra, karya Ibnu Taimiyah, hal 55-58.
[24] Al-Washiyah al-Kubra, hal. 59-60; Asy-Syarh, wal Ibanah hal 414,
karya Ibnu Baththah, hal. 257-261; al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal 323;
al-Ibanah, karya al-Asy’ari, hal. 59; Aqidatus Salaf, karya al-Shabuni, hal.
86.
[25] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 413; al-I’tiqad, karya
al-Baihaqi, hal. 331-332; dan Aqidatus Salaf, karya ash-Shabuni, hal. 83.
[26] al-Washiyah al-Kubra, karya Ibnu, Taimiyah, hal. 58-59;
al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal. 324-330; Lam’ atul Itiqad, opcit, hal. 42.
[27] Termasuk di dalamnya aliran-aliran pemikiran, madzhab dan
isme-isme modern, seperti Komunisme, Qadyanisme, Bahaisme, dan demikian pula
Sosialisme, Sekulerisme dan segenap nasionalisme atau kebangsaan yang
berdasarkan Fanatisme kelompok.
[28] Al-Ibanah, karya Al-Asy’ari, hal. 64; Lum’atul I’tiqad, hal.
42-43; Aqidatus Salaf, karya ash-Shabuni, hal. 112; dan Syarhus Sunnah, karya
al-Baghawi, hal. 217-230.
[29] Yang dimaksud Jama’ah di sini adalah Ahlus Sunnah, yaitu mereka
yang konsisten mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para
shahabatnya, para tabi’in dan para pemuka agama terkemuka yang ada pada tiga
qurun (tiga generasi) yang utama serta orang-orang yang menempuh jalan mereka
hingga hari kiamat baik dalam beraqidah, ucapan maupun dalam beramal. (Lihat
pembahasan pertama dari kajian ini).
[30] Syarhus Sunnah, karya al-Baghawi, hal 189-209; al-Washiyyah
al-Kubra, karya Ibnu Taimiyah, hal. 74; Syarah al-Aqidah at-Thahawiyah, hal.
458; dan al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal. 242-246.
[31] Syarah al-Aqidah ash-Thahawiyah, hal. 327-330; Lum’atul I’tiqad,
al-Maqdisi, hal. 42; al-Ibanah, hal. 64; asy-Syarhu wal Ibanah, karya Ibnu
Baththah, hal. 277-280. dll.
[32] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 336; al-Aqidah
al-Wasithiyah, hal. 181; Aqidafus Salaf Ashabul Hadits, karya ash-Shabuni, hal.
92-93.
[33] Risalah fil Amri bil Ma’ruf, karya Ibnu Taimiyah.
[34] Lihat Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 258.
[35] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 258, 261-262; al-Ibanah,
karya Al-Asyari, hal. 57; Lum’atul I’tiqad, karya Maqdisi, hal. 39.
[36] Al-Ibanah, karya al-Asy’ari, hal. 58; Lum’atul I’tiqad, hal. 39.
[37] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 317; al-Ibanah, hal. 58.
[38] Syarah al-Aqidah ash-Thahawiyah, hal. 321-326; al-Ibanah, hal.
62-63; ‘Aqidatus Salaf, hal 92.
[39] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 331-332; Kitabul Iman,
karya al-Adani, hal. 128.
[40] Al-Furqan baina Auliyaui Rahman wa Auliyaisy Syaithan, karya
Ibnu Taimiyah, hal. 159-188; an-Nubuwwat, karya Ibnu Taimiyah, hal. 7-10;
Syarah al-Aqidah ash-Thahawiyyah, hal. 442-446.
[41] Hadits riwayat Abu ‘Ashim di dalam as-Sunnah dengan beberapa
sanad yang shahih. Lihat vol.1, hal. 29, hadits no. 54.
[42] Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah di dalam asy-Syarhu wal Ibanah,
hal. 407; dan hadits ini mempunyai banyak syawahid di dalam Musnad Ahmad: 2/338
dan 378; dan al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah: 2/270; dan Al-Albani menilai
hasan hadits tersebut di dalam Tarkhrijul Misykat, 1/63.
[43] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim di dalam As-Sunnah dengan
banyak sanad, dan dinilai shahih oleh Al-Albani (As-Sunnah: 1/26-27. Hadits no.
47, 48 dan 49. Ibnu Majid di dalam muqaddimahnya, hal. 16, hadits no. 43, 44.
[44] Klaim kelompok Asya’irah dan Maturidiyah beserta yang lainnya
bahwasanya mereka adalah Ahlus Sunnah atau termasuk Ahlus Sunnah adalah
merupakan klaim yang berlebihan, pengelabuan dan penga-buran. Maka dari itu
penulis akan membahas pasal tersendiri pada akhir kajian ini mengenai hal ini.
[45] Yang penulis maksud di sini adalah para da’i, penuntut ilmu dan
ulama. Adapun masyarakat awam, maka para ulama salaf berpandangan bahwa mereka
tidak dibebani tugas untuk mengetahui segala rincian masalah Aqidah. Cukup bagi
mereka mengetahuinya secara global saja. (Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal.
10-11 dan Dar’u Ta’arudhil ‘Aqli wan Naqli,Ibnu Taimiyah. Vol. 1, hal. 51.
[46] Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mencela
suatu perbuatan para shahabatnya tidak menyebut langsung nama pelakunya dan
tidak pula dimaksudkan untuk menyebarkan kesalahan orang itu. Beliau hanya
berkata: “Kenapa kok kaum ini...” sebagaimana pernah beliau ucapkan: “Kenapa
kok ada sekelompok orang yang enggan melakukan apa yang aku lakukan...”.
(Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari)
[47] Ini diarahkan kepada kelompok Asya’irah, karena pemikiran mereka
menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia Islam.
[48] Penulis katakan “tanpa alasan yang benar”, karena menurut
pengetahuan penulis ada sebahagian kaum muslimin yang hidup di beberapa negeri
muslim disiksa, diintimidasi dan dilecehkan hak-haknya karena mereka
memanjangkan jenggotnya. La haula wala quwwata illa billah.
[49] Lihat kajian pertama dari buku ini.
[50] Tepatnya pada akhir abad ketiga hijriyah, yaitu setelah Imam
Abul Hasan al-Asy’ari meninggalkan aqidah Mu’tazilah pada tahun 300 H.
[51] Tabyin Kadzibil Muftari, karya Ibnu Asakir, hal 38-45. Dan
Pengantar Syaikh Hammad al-Anshari pada kitab Al-Ibanah ‘an Ushulid diyanah,
karya Imam Al-Asy’ari, penerbit: Islamic Univercity in Madinah.
[52] Lihat kedua sumber sebelumnya (Ibid).
[53] Di dalam kitab tersebut Imam al-Asy’ari meyakini madzhab Ahlus
Sunnah wal-Jama’ah di dalam semua masalah prinsip aqidah. (Silakan merujuk
kitab tersebut karena sudah diterbitkan)
[54] Lihat al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, hal. 52.
[55] Berkat taufiq dari Allah kepada para tokoh terkemuka tersebut,
kebanyakan mereka meninggalkan seluruh keyakinan mereka di dalam ta’wil atau
sebahagiannya yang menyalahi Aqidah Ahlus Sunnah.
[56] Sebagai contoh, silahkan lihat di dalam kitab Asasut taqdis,
karya Fakhrurrazi, hal. 111-19, dan Al-Irsyad, karya Juwaini, hal. 146-154.
[57] Lihat Al-Iqtishad fil I’tiqad, karya al-Ghazali, hal. 12-135;
Al-Arbain fi Ushuludin, karya Al-Ghazali, hal. 13-16; Ushuludin, karya
Fakhrurrazi, hal. 19-55; Asasut Taqdis, karya fakhrurrazi, hal. 15-49;
At-Tauhid, karya Al-Baqlani, hal. 40-50; dan Syarhul Maqashid, karya
At-Taftazani, vol. 2, hal 57-68. Telah driwayatkan dari para Imam yang senior,
seperti Imam Ahmad, Ibnu Madini, Auzail, Bukhari, Abu Zur’ah, Abu Hatim dan
banyak lagi bahwa mereka memperingatkan dari perkataan debat, ta’wil dan ilmu
kalam, Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, karya Abi Qashim al-Lalakai,
vol. 1, hal. 151-186).
[58] Lihat Ushuludin, karya Fakhrurrazi, hal. 24, dan Al-Irsyad,
karya Juwaini, hal. 25-37.
[59] Ushuludin, karya Fakhrurrazi, hal. 24.
[60] Lihat permulaan kitab At-Tauhid dan kitab Lushaf, keduanya karya
Al-Baqlain; permulaan kitab Ushuluddin, karya Fakhrurrazi; permulaan kitab
Al-Iqtishad fil I’tiqad, karya Ghozali; permulaan kitab Ushuluddin, karya
Al-Baghdadi; permulaan kitab Al-Irsyad, karya Juwaini; permulaan kitab
Al-I’tiqad wal Hidayah ila Sabilir Rasyad, karya Al-Baihaqi; dan kitab-kitab
lain yang menjadi pegangan kaum Asya’irah, semuanya dimulai dengan pemikiran,
teori-teori akal, ilmu kalam, menetapkan kaidah-kaidah pemikiran akal dan
filsafat, hampir tidak disebutkan tauhid ibadah dan tujuan kecuali hanya sedikit
sekali, padahal umat yang dulu dan sekarang ini sangat membutuhkannya.
[61] Lihat Al-Inshaf, hal. 62-126; Ushuludin, hal. 63-67; Al-Arbain
fi Ushuluddin, hal. 27-28.
[62] Lihat kitab Al-Iman, karya Ibnu Taimiyah, hal. 100-102;
Ushuluddin, hal. 91-105; Al-Iqtishad, hal. 165-179.
[63] Lihat Al-Inshaf, hal. 39-44; Al-Arbain fi Ushuluddin hal. 16-27.
[64] Lihat An-Nubuwwat, karya Ibnu Taimiyah, hal. 100-102;
Ushuluddin, hal. 91-105; Al-Iqtishad, hal. 165-179.
[65] Di antara ulama yang banyak menjelaskan permasalahan ini juga
meletakan pundamennya adalah syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, silakan lihat
beberapa karyanya, di antaranya Al-Aqidah At-Tadmuriyah, Al-Fatwa Al-Hawariyah
Al-Kubra, Al-Aqidah Al-Wasithiyah dan lihat pula Majmu’ Fatawa, vol. 4 ha. 1-190.
[66] Lihat pembahasannya yang telah lalu.
[67] lihat kitabnya Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah.
[68] Lihat kitabnya Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah.
[69] Lihat pembahasan pada hal yang terdahulu.
[70] Syarh Ath-Thahawiyah, hal. 150-153.
[71] Ini sangat berbeda dengan tokoh-tokoh Aya’irah pertama, karena
mereka lebih dekat kepada Sunnah, mereka belum terkontaminasi dengan sufisme,
falsafat dan perdebatan (dialegtika), mereka adalah Ahlus Sunnah di dalam amal
dan peribadatannya. Sedangkan kaum Asya’irah masa kini, kebanyakan mereka
adalah pembela tarekat-tarekat sufi dan ahlu bid’ah di dalam masalah keyakinan
dan peribadatan. Yang demikian itu, karena sikap tasahul
(mengampang-gampangkan, kendor) di dalam masalah tauhid uluhiyah di dalam
prinsip-prinsip dasar aqidah kaum Asya’irah, sebagaimana telah penulis
ungkapkan di atas.
[72] Abul Hasan al-Asy’ari telah memproklamirkan kepatuhannya kepada
aqidah salaf di dalam kitabnya “al-Ibanah...”. Silahkan anda pelajari.
[73] Itu hanya sekedar contoh saja, tidak secara pasti, karena untuk
menetapkan ketetapan yang sesungguhnya membutuhkan studi yang lebih serius dan
secara teliti. Penulis dalam hal ini hanya memberikan contoh saja.
[74] Hadits ini bersumber dari sejumlah besar para shahabat nabi
diriwayatkan di dalam shahihain (Bukhari dan Muslim) dan lain-lain dengan
redaksi yang berbeda-beda. Lihat: Shahih Bukhari- Fathul Bari, kitab
al-Manaqib, bab ke 27 (6/632), Shahih Muslim, kitab: al-Imarat, bab 53. Hadits
no. 1920-1924.
[75] Lihat hadits terdahulu di dalam bahasan “Mengenal Ahlus Sunnah”.
terimakasih
BalasHapuspostingannya cukup membantu saya,
silahkan mampir ke blog saya http://ibah07.blogspot.com/