Sejarah Singkat Imam Malik
Dalam sebuah
kunjungan ke kota
Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu),
tertarik mengikuti ceramah al muwatta' (himpunan hadits) yang diadakan Imam
Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam. Namun Imam Malik
memberikan nasihat kepada Khalifah Harun, ''Rasyid, leluhur Anda selalu
melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah
Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi.
Manusia yang mencari ilmu,
sementara ilmu tidak akan mencari manusia.''
Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Imam Malik yang bernama lengkap Abu
Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin
Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat
tahun 796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi,
baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman,
namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah.
Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam
pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal.
Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.
Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma'mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ''Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.''
Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja'far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai'at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai'at kepada khalifah yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai'at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja'far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja'far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja'far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.
Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.
Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.
Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi' bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi'in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma'mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan berkata, ''Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.''
Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja'far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai'at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai'at kepada khalifah yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai'at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja'far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja'far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja'far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.
Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.
Dari Al Muwatta' Hingga Madzhab
Maliki
Al Muwatta' adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta' tak akan lahir bila Imam Malik tidak 'dipaksa' Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta'. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).
Dunia Islam mengakui Al Muwatta' sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta', Imam Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta', kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.
Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.
Sejarah Singkat Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah An-Nu’man
bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam
dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari
kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab. Di
kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi.
Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
Nasab dan Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
Perkembangannya
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Abu Hanifah itu tinggi
badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara,
suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu
memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam
pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang
tidak berguna.
Beliau disibukkan dengan
mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan
beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan
dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir
penyelesaiannya.
Beliau sempat bertemu
dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau
juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang
merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj
al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin
Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru
fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar,
dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu
dengan 7 sahabat.
Beliau pernah bercerita,
tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang yang bertanya
kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala diantara
mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas saya tidak mempunyai
jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah dengan Hamad sampai dia
meninggal, maka saya bersamanya selama 10 tahun.
Pada masa pemerintahan
Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh
salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim)
di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum
cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia
mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.
Adapun orang-orang yang
belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang
disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad
diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar
bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya
Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman
al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud
Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok,
Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani,
Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin
Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan
Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi,
Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub
Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu Yusuf,
dan lain-lain.
Penilaian para
ulama terhadap Abu Hanifah
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya bin Ma’in berkata,
“Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali
yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam
waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam
hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta,
orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.
2. Abdullah ibnul Mubarok
berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya melalui Abu
Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan
beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau
juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu
Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya
tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’ kemudian
beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak
menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku
datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah
orang yang paling wara’ di kota
Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata,
“Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam
Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang
paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih
dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi Abu Yusuf
berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara
tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”.
Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang
tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
4. Imam Syafii berkata,
“Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih
hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
5. Fudhail bin Iyadh
berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya,
termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu,
sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari
harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan
Fudhail bin Iyadh.
6. Yahya bin Sa’id
al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar
pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak
mengambil pendapatnya”.
7. Hafsh bin Ghiyats
berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada
syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.
8. Al-Khuroibi berkata,
“Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki
atau orang yang jahil”.
9. Sufyan bin Uyainah
berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang
yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
Beberapa penilaian
negatif yang ditujukan kepada Abu Hanifah
Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :
Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :
1. Imam Muslim bin Hajaj
berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam hadits,
tidak banyak hadits shahihnya”.
2. Abdul Karim bin Muhammad
bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit tidak kuat hafalan
haditsnya”.
3. Abdullah ibnul Mubarok
berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits”.
4. Sebagian ahlul ilmi
memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahi masalah iman.
Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada dalam hati dan diucapkan
dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman.
Dan telah dinukil dari Abu
Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari hakekat imam, akan tetapi
dia termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat seperti ini adalah Jumhur
Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi … dan menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu
Hadits … dan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa iman itu adalah
pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lesan tidak bertambah dan tidak
berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak bertambah dan berkurang” adalah
jumlah dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat, dak hal ini tidak menafikan
adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti ada yang kuat
dan ada yang lemah, ada yang jelas dan yang samar, dan yang semisalnya …
Dan dinukil pula oleh para
sahabatnya, mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifah berkata, ‘Orang yang
terjerumus dalam dosa besar maka urusannya diserahkan kepada Allah’,
sebagaimana yang termaktub dalam kitab “Fiqhul Akbar” karya Abu Hanifah, “Kami
tidak mengatakan bahwa orang yang beriman itu tidak membahayakan dosa-dosanya
terhadap keimanannya, dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa besar itu
masuk neraka dan kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, … akan
tetapi kami mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan memenuhi
syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang merusaknya, tidak
membatalakannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal maka Allah
tidak akan menyia-nyiakan amalannya, bahklan -insya Allah- akan menerimanya;
dan orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan kekufuran meskipun dia
belum bertaubat sampai dia meninggal dalam keadaan beriman, maka di berasa
dibawah kehendak Allah, kalau Dia menghendaki maka akan mengadzabnya dan kalau
tidak maka akan mengampuninya.”
5. Sebagian ahlul ilmi yang
lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat
Al-Qur’an itu makhluq.
Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq …,coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah …, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq …,coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah …, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
Dan di sana masih banyak
lagi bentuk-bentuk penilaian negatif dan celaan yang diberikan kepada beliau,
hal ini bisa dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13 dan juga kitab al-Jarh wa
at-Ta’dil Juz 8 hal 450.
Dan kalian akan mengetahui
riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian yang ditujukan kepada Abiu Hanifah
-dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh kami telah meneliti semua riwayat-riwayat
tersebut, ternyata riwayat-riwayat tersebut lemah dalam sanadnya dan mudhtharib
dalam maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa merupakan cela, aib untuk
ber-ashabiyyah madzhabiyyah, … dan betapa banyak dari para imam yang agung,
alim yang cerdas mereka bersikap inshaf (pertengahan ) secara haqiqi. Dan
apabila kalian menghendaki untuk mengetahui kedudukan riwayat-riwayat yang
berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka bacalah kitab al-Intiqo’
karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Jami’ul Masanid karya al-Khawaruzumi dan
Tadzkiratul Hufazh karya Imam Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr berkata, “Banyak
dari Ahlul Hadits – yakni yang menukil tentang Abu Hanifah dari al-Khatib
(Tarikh baghdad) – melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah, maka hal seperti
itu sungguh dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu Hanifah dari
orang-orang yang adil”
Beberapa nasehat
Imam Abu Hanifah
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat-nasehat beliau adalah:
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat-nasehat beliau adalah:
a. Apabila telah shahih
sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
b. Tidak halal bagi
seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui
dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram
bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dan
dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat
pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi
harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf),
janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka
sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku
tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan
aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.
Syaikh Al-Albani berkata,
“Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak mengetahui
dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap orang yang
mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan
pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? maka camkanlah kalimat ini! Dan
perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk itulah sebaigan
orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan kepada Abu
Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu Hanifah tidak
tahu dalil”!.
Berkata Asy-sya’roni dalam
kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut, “Keyakinan kami dan
keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu Hanifah,
bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat, setelah para
penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh pelosok penjuru
dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan
semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya
sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab lainnya dengan penisbahan
kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah-pesah pada zamannya dan juga
pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpencar-pencar disana-sini. Maka
banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalaudibanding dengan para
ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang
diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para imam yang lainnya, …”. Kemudian syaikh
Al-Albani mengomentari pernyataan tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila
demikian halnya, hal itu merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia
menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia sengaja – dan ini merupakan
udzur yang diterima, karena Allah tidak membebani manusia yang tidak
dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan
sebagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah
satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini.
…”.
c. Apabila saya mengatakan
sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih,
maka tinggalkan perkataanku.
Wafatnya
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara. Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara. Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
(diambil dari
majalah Fatawa)
Daftar Pustaka:
1. Tarikhul Baghdad karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
2. Siyarul A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi cetakan ke - 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
3. Tadzkiratul Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
4. Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
5. Kitabul Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad Ar-Razi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
6. Shifatu Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif Riyadh
1. Tarikhul Baghdad karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
2. Siyarul A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi cetakan ke - 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
3. Tadzkiratul Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
4. Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
5. Kitabul Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad Ar-Razi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
6. Shifatu Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif Riyadh
Sejarah Singkat Imam Syafi'i
Beliau bernama Muhammad
dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin
Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu
Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau
bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan
begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung
keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris,
berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju
ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu
berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi
pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di
sana. Syafi‘,
kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau
(Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi.
As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki
kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh
musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri
dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta
ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni.
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan
nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka
membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan
Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy
secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat
perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih
keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan
seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu
Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita
yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang
faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada
tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh
al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang
yang ditekuninya.
Tentang tempat
kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda.
Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota
yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah
Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota
Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan
penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan
bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan.
Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur
dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari
kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke
Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i
dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada
seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang
guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya
dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat
menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan
murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya
menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal
bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan
segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain)
jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah
berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal
Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk
menghadiri majelis-majelis ilmu di sana.
Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu.
Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang
unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh
dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah
bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi
berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat
berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya
Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam
Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik
mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk
tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan
dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari
sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh
syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian
banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan
yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya.
Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid
az-Zanji -mufti kota
Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka
beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan
pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan
menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud
bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung
paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu
Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah
ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik.
Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda
sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan
dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena
sasaran.
Setelah mendapat izin dari
para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke
Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi
di sana ada
Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di
hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di
Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani
mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat
pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama
Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf
bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah,
beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin
Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman
inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama,
sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena
sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu
sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang
kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun
ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama
orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah,
Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang
berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah
dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari
kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam
memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara
mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang
mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara
khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang
mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya,
beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa
rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya
merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya
dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali
berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak
keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu
Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini
kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah
kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran
maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas
membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang
diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya
ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad
dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah.
Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun
ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit.
Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal
kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan
penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan
dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan
Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau
meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan
bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali
pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu
Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan.
Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan
lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke
Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat
dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke
Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan,
bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal
luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya
sampai ke kota Baghdad,
Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat
kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi
khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat
Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun
mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua
kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan
kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena
sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan
bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat
sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa
hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak
selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar
madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari
lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat
lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik.
Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak
dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah
orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan
ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di
dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam
menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah,
menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal
juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka
kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya.
Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama
ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika
dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham
Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak
dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan
itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati
kecilnya menolak pergi ke sana,
tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau
mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau
berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi
kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang
mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah
terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai
landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari
keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari
kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah
Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang
lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau
mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar
tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj
beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim)
dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi
jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad
berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits,
maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak
tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.”
Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam
dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i
membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu
kalam.”
Ketidaksukaan beliau sampai
pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul
dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring
berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah
hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya
berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu
mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya
beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari
terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah
memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa
dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau,
“Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau
menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan
pada diriku mutiara-mutiara yang halus”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya
hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk
mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab.
Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy
mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi
mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh
Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber :
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon.
Sejarah Singkat Imam Hanbali
"Ia murid paling cendekia yang
pernah saya jumpai selama di Baghdad.
Sikapnya menghadapi sidang pengadilan dan menanggung petaka akibat tekanan
khalifah Abbasiyyah selama 15 tahun karena menolak doktrin resmi Mu'tazilah
merupakan saksi hidup watak agung dan kegigihan yang mengabdikannya sebagai
tokoh besar sepanjang masa." Penilaian ini diungkapkan oleh Imam Syafi'i,
yang tak lain adalah guru Imam Hanbali. Menurut Syafi'i, perjuangan
mempertahankan keyakinan yang tak sesuai dengan pemikiran seseorang, selalu
menghadapi risiko antara hidup dan mati. Dan Imam Hanbali membuktikan hal itu.
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh sahabat, sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang.
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan datang begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hanbali belajar Al-Qur'an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad.
Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua pelajaran dengan baik.
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40 tahun.
Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hanbali menikah untuk terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita bernama Husinah. Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, dan Said.
Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan Imam Hanbali. ''Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,'' katanya.
Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih, berkata, ''Aku pernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, 'Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu.'''
Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya, aliran Mu'tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan penganut Mu'tazilah adalah paham Al-Qur'an merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan itu.
Imam Hanbali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun dipenjara dan disiksa oleh Mu'tasim, putra Al Ma'mun. Setiap hari ia didera dan dipukul. Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan ayahnya, Mu'tasim. Siksaan tersebut makin meneguhkan sikap Hanbali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu membuat umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak kendati ia mendekam dalam penjara.
Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara kebebasan. Al Mutawakkil, sang pengganti, membebaskan Imam Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin terkenal dan banyaklah ulama dari berbagai pelosok belajar kepadanya. Para ulama yang belajar kepadanya antara lain Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur'ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram.
Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi'i, Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik) ritual, khususnya dalam masalah fikih. Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam Hanbali memberikan perhatian khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama yang bersumber pada Sunnah.
Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa madzhab Hanbali. Pertama, nash (Al-Qur'an dan Sunnah). Jika ia menemukan nash, maka ia akan berfatwa dengan Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak berpaling pada sumber lainnya. Kedua, fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya.
Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Jika ternyata pendapat yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah, maka ia tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi mengambil sikap diam atau meriwayatkan kedua-duanya.
Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak disebutkan nama perawinya), dan hadits dhaif (hadits yang lemah, namun bukan 'maudu', atau hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif didahulukan daripada qias. Dan kelima adalah qias, atau analogi. Qias digunakan bila tidak ditemukan dasar hukum dari keempat sumber di atas.
Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada abad ke-6 H, madzhab ini berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11 dan ke-12 H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H). Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak orang untuk memberikan perhatian pada fikih madzhab Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab tersebut banyak dianut umat Islam di kawasan Timur Tengah.
Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan keagamaan. Beberapa kitab yang sampai kini jadi kajian antara lain Tafsir Al-Qur'an, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur'an, At Tarikh, Taat ar Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin Hanbal.
Imam Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Hadits sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh sahabat, sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang.
Kepandaian Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan datang begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya, karena sang ayah meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hanbali belajar Al-Qur'an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad.
Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua pelajaran dengan baik.
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40 tahun.
Pertama kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hanbali menikah untuk terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita bernama Husinah. Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad, dan Said.
Tak hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan Imam Hanbali. ''Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,'' katanya.
Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih, berkata, ''Aku pernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, 'Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu.'''
Imam Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya, aliran Mu'tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan penganut Mu'tazilah adalah paham Al-Qur'an merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan itu.
Imam Hanbali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun dipenjara dan disiksa oleh Mu'tasim, putra Al Ma'mun. Setiap hari ia didera dan dipukul. Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan ayahnya, Mu'tasim. Siksaan tersebut makin meneguhkan sikap Hanbali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu membuat umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak kendati ia mendekam dalam penjara.
Sepeninggal Al Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara kebebasan. Al Mutawakkil, sang pengganti, membebaskan Imam Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin terkenal dan banyaklah ulama dari berbagai pelosok belajar kepadanya. Para ulama yang belajar kepadanya antara lain Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur'ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram.
Sebagaimana ketiga Imam lainnya; Syafi'i, Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik) ritual, khususnya dalam masalah fikih. Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam Hanbali memberikan perhatian khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama yang bersumber pada Sunnah.
Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa madzhab Hanbali. Pertama, nash (Al-Qur'an dan Sunnah). Jika ia menemukan nash, maka ia akan berfatwa dengan Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak berpaling pada sumber lainnya. Kedua, fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya.
Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Jika ternyata pendapat yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah, maka ia tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi mengambil sikap diam atau meriwayatkan kedua-duanya.
Keempat, mengambil hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak disebutkan nama perawinya), dan hadits dhaif (hadits yang lemah, namun bukan 'maudu', atau hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif didahulukan daripada qias. Dan kelima adalah qias, atau analogi. Qias digunakan bila tidak ditemukan dasar hukum dari keempat sumber di atas.
Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada abad ke-6 H, madzhab ini berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11 dan ke-12 H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H). Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak orang untuk memberikan perhatian pada fikih madzhab Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab tersebut banyak dianut umat Islam di kawasan Timur Tengah.
Hasil karya Imam Hanbali tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan keagamaan. Beberapa kitab yang sampai kini jadi kajian antara lain Tafsir Al-Qur'an, An Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur'an, At Tarikh, Taat ar Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin Hanbal.
Sejarah Singkat Imam Bukhari
Imam Bukhari (semoga Allah
merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan,
Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju'fiy Al Bukhari, namun beliau lebih
dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada
tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan
Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk
Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari
penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat
melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya
tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo'a untuk kesembuhan beliau.
Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya
sembuh secara total.
Imam Bukhari adalah ahli hadits
yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan
Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan
dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang
tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits
(Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua
ulama di dunia merujuk kepadanya.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya "Islam in the Sivyet Union" (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya "Islam in the Sivyet Union" (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.
Keluarga dan Guru Imam Bukhari
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara' dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Perhatiannya kepada ilmu hadits
yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16
tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti "al-Mubarak"
dan "al-Waki". Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli
hadits yang masyhur di Bukhara.
Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota
suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota
suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18
tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya "Qudhaya as Shahabah wat
Tabi’ien" (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau
menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits
yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits.
Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain
adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma'in, Muhammad bin
Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan
Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam
kitab Shahih-nya.
Kejeniusan Imam Bukhari
Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli
hadits yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama
tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja "diputar-balikkan"
untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari
mengulang kembali secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu
mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan
seluruh hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan
urutan penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya.
Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal
hanya dalam waktu satu kali dengar.
Selain terkenal sebagai seorang
ahli hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni
olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan
sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya
dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan
menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang
lainnya.
Karya-karya Imam Bukhari
Karyanya yang pertama berjudul
"Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien" (Peristiwa-peristiwa Hukum di
zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18
tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke
Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah
beliau menulis kitab "At-Tarikh" (sejarah) yang terkenal itu. Beliau
pernah berkata, "Saya menulis buku "At-Tarikh" di atas makam
Nabi Muhammad SAW di waktu malam bulan purnama".
Karya Imam Bukhari lainnya antara
lain adalah kitab Al-Jami' ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as
Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad
al Kabir, Kitab al 'Ilal, Raf'ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad
Du'afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang
paling monumental adalah kitab Al-Jami' as-Shahih yang lebih dikenal dengan
nama Shahih Bukhari.
Dalam sebuah riwayat diceritakan,
Imam Bukhari berkata: "Aku bermimpi melihat Rasulullah saw., seolah-olah
aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk
menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta'bir, ia
menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari
hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk
melahirkan kitab Al-Jami' As-Sahih."
Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: "Aku susun kitab Al Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun."
Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: "Aku susun kitab Al Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun."
Banyak para ahli hadits yang
berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi,
Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih
Muslim). Imam Muslim menceritakan : "Ketika Muhammad bin Ismail
(Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala
daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa
yang mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga
marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam
Bukhari) berkata : "Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin
Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya."
Penelitian Hadits
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi
hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi
berbagai kota
guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya.
Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz
(Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad
sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan
ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu
dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu
juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami' as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, "perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu" sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan "Haditsnya diingkari". Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata "Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan".
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits."
Disela-sela kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.
Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami' as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, "perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu" sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan "Haditsnya diingkari". Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata "Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan".
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits."
Disela-sela kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.
Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits
Sebagai intelektual muslim yang
berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang
produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga
ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu
menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil
(ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu,
sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.
Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.
Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami' as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab "Al-Jami 'as-Shahih".
Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. "Saya susun kitab Al-Jami' as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih". Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.
Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.
Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. "Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih", katanya suatu saat.
Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami' as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.
Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu'allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.
Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.
Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami' as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab "Al-Jami 'as-Shahih".
Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. "Saya susun kitab Al-Jami' as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih". Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.
Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.
Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. "Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih", katanya suatu saat.
Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami' as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.
Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu'allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.
Terjadinya Fitnah
Muhammad bin Yahya Az-Zihli
berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang
diberikannya. Ia berkata: "Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh
itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya." Namun tak lama kemudian ia
mendapat fitnah dari orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai
orang yang berpendapat bahwa "Al-Qur'an adalah makhluk".
Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli : "Barang siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid'ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: "Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur'an, makhluk ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.
Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid'ah." Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah." Di lain kesempatan, ia berkata: "Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta."
Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli : "Barang siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid'ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: "Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur'an, makhluk ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.
Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid'ah." Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah." Di lain kesempatan, ia berkata: "Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta."
Wafatnya Imam Bukhari
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.
Sejarah Singkat Imam Muslim
Imam Muslim dilahirkan di Naisabur
pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain
Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur,
yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk
dalam sebutan Maa Wara'a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di
sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid,
Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150
tahun. Seperti halnya Baghdad di abad
pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat
peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.
Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas 'Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.
Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan hadits-hadits Nabi SAW.
Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu' dan wara' dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta'dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. "Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim," komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.
Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas 'Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.
Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan hadits-hadits Nabi SAW.
Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu' dan wara' dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta'dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. "Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim," komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.
Reputasinya mengikuti gurunya Imam Bukhari
Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya
dalam bidang ilmu hadits, nama Imam Muslim begitu monumental, setara dengan
gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih
dikenal dengan nama Imam Bukhari. Sejarah Islam sangat berhutang jasa
kepadanya, karena prestasinya di bidang ilmu hadits, serta karya ilmiahnya yang
luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam, setelah al-Qur’an. Dua kitab hadits
shahih karya Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi
akidah, syariah dan tasawwuf dalam dunia Islam.
Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-Jami’ ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih Bukhari, kitab tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa.
Pengembaraan ( rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan tersendiri, dan amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya, ketika menuju kota Makkah dalam rangka perjalanan haji. Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan Mesir.
Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. "Biarkan aku mencium kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits," pintanya, ketika di sebuah pertemuan antara Bukhari dan Muslim.
Disamping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah, sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya — sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi — dengan sebutan muhsin dari Naisabur.
Maslamah bin Qasim menegaskan, "Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam)." Senada pula, ungkapan ahli hadits dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, " Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits."
Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-Jami’ ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih Bukhari, kitab tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa.
Pengembaraan ( rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan tersendiri, dan amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya, ketika menuju kota Makkah dalam rangka perjalanan haji. Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan Mesir.
Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. "Biarkan aku mencium kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits," pintanya, ketika di sebuah pertemuan antara Bukhari dan Muslim.
Disamping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah, sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya — sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi — dengan sebutan muhsin dari Naisabur.
Maslamah bin Qasim menegaskan, "Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam)." Senada pula, ungkapan ahli hadits dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, " Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits."
Kitab Shahih Muslim
Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.
Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat di bawah al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.
Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.
Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033 hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.
Antara al-Bukhari dan Muslim
Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature, mengambil keuntungan dari Shahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri, yang tentu saja secara metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari.
Antara al-Bukhari dan Muslim, dalam dunia hadits memiliki kesetaraan dalam keshahihan hadits, walaupun hadits al-Bukhari dinilai memiliki keunggulan setingkat. Namun, kedua kitab hadits tersebut mendapatkan gelar sebagai as-Shahihain.
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya saja, serta perbandingan antara tema dan isinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan "kemungkinan" bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.
Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsaqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan — sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar —, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan lainnya.
Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam Shahih Muslim.
Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.
Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.
Wafatnya Imam Muslim
Imam Muslim wafat pada Ahad sore,
pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT merahmatinya, mengampuni segala
kesalahannya, serta menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh.
Amiin.
Sejarah Singkat Imam Tirmizi
Khazanah keilmuan Islam klasik
mencatat sosok Imam Tirmizi sebagai salah satu periwayat dan ahli Hadits utama,
selain Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan sederet nama lainnya.
Karyanya, Kitab Al Jami', atau biasa dikenal dengan kitab Jami' Tirmizi,
menjadi salah satu rujukan penting berkaitan masalah Hadits dan ilmunya, serta
termasuk dalam Kutubus Sittah (enam kitab pokok di bidang Hadits) dan
ensiklopedia Hadits terkenal. Sosok penuh tawadhu' dan ahli ibadah ini tak lain
adalah Imam Tirmizi.
Dilahirkan pada 279 H di kota Tirmiz, Imam Tirmizi bernama lengkap Imam Al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmizi. Sejak kecil, Imam Tirmizi gemar belajar ilmu dan mencari Hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri, antara lain Hijaz, Irak, Khurasan, dan lain-lain.
Dalam lawatannya itu, ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru Hadits untuk mendengar Hadits dan kemudian dihafal dan dicatatnya dengan baik. Di antara gurunya adalah; Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud. Selain itu, ia juga belajar pada Imam Ishak bin Musa, Mahmud bin Gailan, Said bin Abdurrahman, Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni', dan lainnya.
Perjalanan panjang pengembaraannya mencari ilmu, bertukar pikiran, dan mengumpulkan Hadits itu mengantarkan dirinya sebagai ulama Hadits yang sangat disegani kalangan ulama semasanya. Kendati demikian, takdir menggariskan lain. Daya upaya mulianya itu pula yang pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra. Dalam kondisi seperti inilah, Imam Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada usia 70 tahun.
Di kemudian hari, kumpulan Hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama, di antaranya; Makhul ibnul-Fadl, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, Abd bin Muhammad An-Nasfiyyun, Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf An-Nasafi, Abul-Abbas Muhammad bin Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami' daripadanya, dan lain-lain. Mereka ini pula murid-murid Imam Tirmizi.
Banyak kalangan ulama dan ahli Hadits mengakui kekuatan dan kelebihan dalam diri Imam Tirmizi. Selain itu, kesalehan dan ketakwaannya pun tak dapat diragukan lagi. Salah satu ulama itu, Ibnu Hibban Al-Busti, pakar Hadits, mengakui kemampuan Tirmizi dalam menghafal, menghimpun, menyusun, dan meneliti Hadits, sehingga menjadikan dirinya sumber pengambilan Hadits para ulama terkenal, termasuk Imam Bukhari.
Sementara kalangan ulama lainnya mengungkapkan, Imam Tirmizi adalah sosok yang dapat dipercaya, amanah, dan sangat teliti. Kisah yang dikemukakan Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib At-Tahzibnya, dari Ahmad bin Abdullah bin Abu Dawud, berikut adalah salah satu bukti kelebihan sang Imam :
Saya mendengar Abu Isa At-Tirmizi berkata, "Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Mekkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid buku berisi Hadits-hadits berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Dia mengira bahwa 'dua jilid kitab' itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya bertemu dengannya, saya memohon kepadanya untuk mendengar Hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan Hadits yang telah dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang ternyata masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Melihat kenyataan itu, ia berkata, 'Tidakkah engkau malu kepadaku?' Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. 'Coba bacakan!' perintahnya. Aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi, 'Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?' Aku menjawab, 'Tidak.' Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan Hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan 40 Hadits yang tergolong Hadits-hadits sulit atau gharib lalu berkata, 'Coba ulangi apa yang kubacakan tadi!' Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai, dan ia berkomentar, 'Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.' "
Selain dikenal sebagai ahli dan penghafal Hadits, mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, Imam Tirmizi juga dikenal sebagai ahli fiqh dengan wawasan dan pandangan luas. Pandangan-pandangan tentang fiqh itu misalnya, dapat ditemukan dalam kitabnya Al-Jami'.
Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh ini pula mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Sebagai tamsil, penjelasannya terhadap sebuah Hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut: "Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami. Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi Az-Zunad, dari Al-Arai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: Penangguhan membayar utang (yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya."
Bagaimana penjelasan sang Imam? Berikut ini komentar beliau, "Sebagian ahli ilmu berkata: 'Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.' Sementara sebagian ahli lainnya mengatakan: 'Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal 'alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil). Alasannya adalah, tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim. Menurut Ibnu Ishak, perkataan 'Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim' ini adalah 'Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu'." demikian penjelasan Imam Tirmizi.
Ini adalah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Imam Tirmizi dalam memahami nash-nash Hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu. Hingga meninggalnya, Imam Tirmizi telah menulis puluhan kitab, diantaranya: Kitab Al-Jami', terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmizi, Kitab Al-'Ilal, Kitab At-Tarikh, Kitab Asy-Syama'il an-Nabawiyyah, Kitab Az-Zuhd, dan Kitab Al-Asma' wal-Kuna.
Selain dikenal dengan sebutan Kitab Jami' Tirmizi, kitab ini juga dikenal dengan nama Sunan At-Tirmizi. Di kalangan muhaddisin (ahli Hadits), kitab ini menjadi rujukan utama, selain kitab-kitab hadits lainnya dari Imam Bukhari maupun Imam Muslim.
Kitab Sunan Tirmizi dianggap sangat penting lantaran kitab ini betul-betul memperhatikan ta'lil (penentuan nilai) Hadits dengan menyebutkan secara eksplisit Hadits yang sahih. Itu sebabnya, kitab ini menduduki peringkat ke-4 dalam urutan Kutubus Sittah, atau menurut penulis buku Kasyf Az Zunuun, Hajji Khalfah (w. 1657), kedudukan Sunan Tirmizi berada pada tingkat ke-3 dalam hierarki Kutubus Sittah.
Tidak seperti kitab Hadits Imam Bukhari, atau yang ditulis Imam Muslim dan lainnya, kitab Sunan Tirmizi dapat dipahami oleh siapa saja, yang memahami bahasa Arab tentunya. Dalam menyeleksi Hadits untuk kitabnya itu, Imam Tirmizi bertolak pada dasar apakah Hadits itu dipakai oleh fuqaha (ahli fikih) sebagai hujjah (dalil) atau tidak. Sebaliknya, Tirmizi tidak menyaring Hadits dari aspek Hadits itu dhaif atau tidak. Itu sebabnya, ia selalu memberikan uraian tentang nilai Hadits, bahkan uraian perbandingan dan kesimpulannya.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: "Semua Hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua Hadits, yaitu: Pertama, yang artinya: "Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Dhuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab takut dan dalam perjalanan.'' Juga Hadits, "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia." Hadits mengenai hukuman untuk peminum khamar ini adalah mansukh (terhapus) dan ijma' ulama pun menunjukkan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh hukumnya melakukan shalat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli Hadits juga Ibn Munzir.
Beberapa keistimewaan Kitab Jami' atau Sunan Tirmizi adalah, pencantuman riwayat dari sahabat lain mengenai masalah yang dibahas dalam Hadits pokok (Hadits al Bab), baik isinya yang semakna maupun yang berbeda, bahkan yang bertentangan sama sekali secara langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, keistimewaan yang langsung kaitannya dengan ulum al Hadits (ilmu-ilmu Hadits) adalah masalah ta'lil Hadits. Hadits-hadits yang dimuat disebutkan nilainya dengan jelas, bahkan nilai rawinya yang dianggap penting. Kitab ini dinilai positif karena dapat digunakan untuk penerapan praktis kaidah-kaidah ilmu Hadits, khususnya ta'lil Hadits tersebut.
Dilahirkan pada 279 H di kota Tirmiz, Imam Tirmizi bernama lengkap Imam Al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmizi. Sejak kecil, Imam Tirmizi gemar belajar ilmu dan mencari Hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri, antara lain Hijaz, Irak, Khurasan, dan lain-lain.
Dalam lawatannya itu, ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru Hadits untuk mendengar Hadits dan kemudian dihafal dan dicatatnya dengan baik. Di antara gurunya adalah; Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud. Selain itu, ia juga belajar pada Imam Ishak bin Musa, Mahmud bin Gailan, Said bin Abdurrahman, Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni', dan lainnya.
Perjalanan panjang pengembaraannya mencari ilmu, bertukar pikiran, dan mengumpulkan Hadits itu mengantarkan dirinya sebagai ulama Hadits yang sangat disegani kalangan ulama semasanya. Kendati demikian, takdir menggariskan lain. Daya upaya mulianya itu pula yang pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra. Dalam kondisi seperti inilah, Imam Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada usia 70 tahun.
Di kemudian hari, kumpulan Hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama, di antaranya; Makhul ibnul-Fadl, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, Abd bin Muhammad An-Nasfiyyun, Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf An-Nasafi, Abul-Abbas Muhammad bin Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami' daripadanya, dan lain-lain. Mereka ini pula murid-murid Imam Tirmizi.
Banyak kalangan ulama dan ahli Hadits mengakui kekuatan dan kelebihan dalam diri Imam Tirmizi. Selain itu, kesalehan dan ketakwaannya pun tak dapat diragukan lagi. Salah satu ulama itu, Ibnu Hibban Al-Busti, pakar Hadits, mengakui kemampuan Tirmizi dalam menghafal, menghimpun, menyusun, dan meneliti Hadits, sehingga menjadikan dirinya sumber pengambilan Hadits para ulama terkenal, termasuk Imam Bukhari.
Sementara kalangan ulama lainnya mengungkapkan, Imam Tirmizi adalah sosok yang dapat dipercaya, amanah, dan sangat teliti. Kisah yang dikemukakan Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib At-Tahzibnya, dari Ahmad bin Abdullah bin Abu Dawud, berikut adalah salah satu bukti kelebihan sang Imam :
Saya mendengar Abu Isa At-Tirmizi berkata, "Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Mekkah, dan ketika itu saya telah menulis dua jilid buku berisi Hadits-hadits berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Dia mengira bahwa 'dua jilid kitab' itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya bertemu dengannya, saya memohon kepadanya untuk mendengar Hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan Hadits yang telah dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang ternyata masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Melihat kenyataan itu, ia berkata, 'Tidakkah engkau malu kepadaku?' Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. 'Coba bacakan!' perintahnya. Aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi, 'Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?' Aku menjawab, 'Tidak.' Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan Hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan 40 Hadits yang tergolong Hadits-hadits sulit atau gharib lalu berkata, 'Coba ulangi apa yang kubacakan tadi!' Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai, dan ia berkomentar, 'Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.' "
Selain dikenal sebagai ahli dan penghafal Hadits, mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, Imam Tirmizi juga dikenal sebagai ahli fiqh dengan wawasan dan pandangan luas. Pandangan-pandangan tentang fiqh itu misalnya, dapat ditemukan dalam kitabnya Al-Jami'.
Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh ini pula mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Sebagai tamsil, penjelasannya terhadap sebuah Hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut: "Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami. Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi Az-Zunad, dari Al-Arai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: Penangguhan membayar utang (yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya."
Bagaimana penjelasan sang Imam? Berikut ini komentar beliau, "Sebagian ahli ilmu berkata: 'Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.' Sementara sebagian ahli lainnya mengatakan: 'Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal 'alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil). Alasannya adalah, tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim. Menurut Ibnu Ishak, perkataan 'Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim' ini adalah 'Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu'." demikian penjelasan Imam Tirmizi.
Ini adalah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Imam Tirmizi dalam memahami nash-nash Hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu. Hingga meninggalnya, Imam Tirmizi telah menulis puluhan kitab, diantaranya: Kitab Al-Jami', terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmizi, Kitab Al-'Ilal, Kitab At-Tarikh, Kitab Asy-Syama'il an-Nabawiyyah, Kitab Az-Zuhd, dan Kitab Al-Asma' wal-Kuna.
Selain dikenal dengan sebutan Kitab Jami' Tirmizi, kitab ini juga dikenal dengan nama Sunan At-Tirmizi. Di kalangan muhaddisin (ahli Hadits), kitab ini menjadi rujukan utama, selain kitab-kitab hadits lainnya dari Imam Bukhari maupun Imam Muslim.
Kitab Sunan Tirmizi dianggap sangat penting lantaran kitab ini betul-betul memperhatikan ta'lil (penentuan nilai) Hadits dengan menyebutkan secara eksplisit Hadits yang sahih. Itu sebabnya, kitab ini menduduki peringkat ke-4 dalam urutan Kutubus Sittah, atau menurut penulis buku Kasyf Az Zunuun, Hajji Khalfah (w. 1657), kedudukan Sunan Tirmizi berada pada tingkat ke-3 dalam hierarki Kutubus Sittah.
Tidak seperti kitab Hadits Imam Bukhari, atau yang ditulis Imam Muslim dan lainnya, kitab Sunan Tirmizi dapat dipahami oleh siapa saja, yang memahami bahasa Arab tentunya. Dalam menyeleksi Hadits untuk kitabnya itu, Imam Tirmizi bertolak pada dasar apakah Hadits itu dipakai oleh fuqaha (ahli fikih) sebagai hujjah (dalil) atau tidak. Sebaliknya, Tirmizi tidak menyaring Hadits dari aspek Hadits itu dhaif atau tidak. Itu sebabnya, ia selalu memberikan uraian tentang nilai Hadits, bahkan uraian perbandingan dan kesimpulannya.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: "Semua Hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua Hadits, yaitu: Pertama, yang artinya: "Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak shalat Dhuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab takut dan dalam perjalanan.'' Juga Hadits, "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia." Hadits mengenai hukuman untuk peminum khamar ini adalah mansukh (terhapus) dan ijma' ulama pun menunjukkan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh hukumnya melakukan shalat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli Hadits juga Ibn Munzir.
Beberapa keistimewaan Kitab Jami' atau Sunan Tirmizi adalah, pencantuman riwayat dari sahabat lain mengenai masalah yang dibahas dalam Hadits pokok (Hadits al Bab), baik isinya yang semakna maupun yang berbeda, bahkan yang bertentangan sama sekali secara langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, keistimewaan yang langsung kaitannya dengan ulum al Hadits (ilmu-ilmu Hadits) adalah masalah ta'lil Hadits. Hadits-hadits yang dimuat disebutkan nilainya dengan jelas, bahkan nilai rawinya yang dianggap penting. Kitab ini dinilai positif karena dapat digunakan untuk penerapan praktis kaidah-kaidah ilmu Hadits, khususnya ta'lil Hadits tersebut.
Sejarah Singkat Imam Al Baihaqi
Imam Al Baihaqi, yang bernama
lengkap Imam Al-Hafith Al-Mutaqin Abu Bakr Ahmed ibn Al-Hussein ibn Ali ibn
Musa Al Khusrujardi Al-Baihaqi, adalah seorang ulama besar dari Khurasan (desa
kecil di pinggiran kota Baihaq) dan penulis banyak buku terkenal.
Masa pendidikannya dijalani bersama sejumlah ulama terkenal dari berbagai negara, di antaranya Iman Abul Hassan Muhammed ibn Al-Hussein Al Alawi, Abu Tahir Al-Ziyadi, Abu Abdullah Al-Hakim, penulis kitab "Al Mustadrik of Sahih Muslim and Sahih Al-Bukhari", Abu Abdur-Rahman Al-Sulami, Abu Bakr ibn Furik, Abu Ali Al-Ruthabari of Khusran, Halal ibn Muhammed Al-Hafaar, dan Ibn Busran.
Para ulama itu tinggal di berbagai tempat terpencar. Oleh karenanya, Imam Baihaqi harus menempuh jarak cukup jauh dan menghabiskan banyak waktu untuk bisa bermajelis dengan mereka. Namun, semua itu dijalani dengan senang hati, demi memuaskan dahaga batinnya terhadap ilmu Islam.
As-Sabki menyatakan: "Imam Baihaqi merupakan satu di antara sekian banyak imam terkemuka dan memberi petunjuk bagi umat Muslim. Dialah pula yang sering kita sebut sebagai 'Tali Allah' dan memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, fikih serta penghapal hadits."
Abdul-Ghaffar Al-Farsi Al-Naisabouri dalam bukunya "Thail Tareekh Naisabouri": Abu Bakr Al-Baihaqi Al Hafith, Al Usuli Din, menghabiskan waktunya untuk mempelajari beragam ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya. Dia belajar ilmu aqidah dan bepergian ke Irak serta Hijaz (Arab Saudi) kemudian banyak menulis buku.
Imam Baihaqi juga mengumpulkan Hadits-hadits dari beragam sumber terpercaya. Pemimpin Islam memintanya pindah dari Nihiya ke Naisabor untuk tujuan mendengarkan penjelasannya langsung dan mengadakan bedah buku. Maka di tahun 441, para pemimpin Islam itu membentuk sebuah majelis guna mendengarkan penjelasan mengenai buku 'Al Ma'rifa'. Banyak imam terkemuka turut hadir.
Imam Baihaqi hidup ketika kekacauan sedang marak di berbagai negeri Islam. Saat itu kaum muslim terpecah-belah berdasarkan politik, fikih, dan pemikiran. Antara kelompok yang satu dengan yang lain berusaha saling menyalahkan dan menjatuhkan, sehingga mempermudah musuh dari luar, yakni bangsa Romawi, untuk menceraiberaikan mereka. Dalam masa krisis ini, Imam Baihaqi hadir sebagai pribadi yang berkomitmen terhadap ajaran agama. Dia memberikan teladan bagaimana seharusnya menerjemahkan ajaran Islam dalam perilaku keseharian.
Sementara itu, dalam Wafiyatul A'yam, Ibnu Khalkan menulis, "Dia hidup zuhud, banyak beribadah, wara', dan mencontoh para salafus shalih."
Beliau terkenal sebagai seorang yang memiliki kecintaan besar terhadap hadits dan fikih. Dari situlah kemudian Imam Baihaqi populer sebagai pakar ilmu hadits dan fikih.
Setelah sekian lama menuntut ilmu kepada para ulama senior di berbagai negeri Islam, Imam Baihaqi kembali lagi ke tempat asalnya, kota Baihaq. Di sana, dia mulai menyebarkan berbagai ilmu yang telah didapatnya selama mengembara ke berbagai negeri Islam. Ia mulai banyak mengajar.
Selain mengajar, dia juga aktif menulis buku. Dia termasuk dalam deretan para penulis buku yang produktif. Diperkirakan, buku-buku tulisannya mencapai seribu jilid. Tema yang dikajinya sangat beragam, mulai dari akidah, hadits, fikih, hingga tarikh. Banyak ulama yang hadir lebih kemudian, yang mengapresiasi karya-karyanya itu. Hal itu lantaran pembahasannya yang demikian luas dan mendalam.
Meski dipandang sebagai ahli hadits, namun banyak kalangan menilai Baihaqi tidak cukup mengenal karya-karya hadits dari Tirmizi, Nasa'i, dan Ibn Majah. Dia juga tidak pernah berjumpa dengan buku hadits atau Masnad Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali). Dia menggunakan Mustadrak al-Hakim karya Imam al-Hakim secara bebas.
Menurut ad-Dahabi, seorang ulama hadits, kajian Baihaqi dalam hadits tidak begitu besar, namun beliau mahir meriwayatkan hadits karena benar-benar mengetahui sub-sub bagian hadits dan para tokohnya yang telah muncul dalam isnad-isnad (sandaran atau rangkaian perawi hadits).
Di antara karya-karya Baihaqi, Kitab as-Sunnan al-Kubra yang terbit di Hyderabat, India, 10 jilid tahun 1344-1355, menjadi karya paling terkenal. Buku ini pernah mendapat penghargaan tertinggi.
Dari pernyataan as-Subki, ahli fikih, usul fikih serta hadits, tidak ada yang lebih baik dari kitab ini, baik dalam penyesuaian susunannya maupun mutunya.
Dalam karya tersebut ada catatan-catatan yang selalu ditambahkan mengenai nilai-nilai atau hal lainnya, seperti hadits-hadits dan para ahli hadits. Selain itu, setiap jilid cetakan Hyderabat itu memuat indeks yang berharga mengenai tokoh-tokoh dari tiga generasi pertama ahli-ahli hadits yang dijumpai dengan disertai petunjuk periwayatannya.
Itulah di antara sumbangsih dan peninggalan berharga dari Imam Baihaqi. Dia mewariskan ilmu-ilmunya untuk ditanamkan di dada para muridnya. Di samping telah pula mengabadikannya ke dalam berbagai bentuk karya tulis yang hingga sekarang pun tidak usai-usai juga dikaji orang.
Imam terkemuka ini meninggal dunia di Nisabur, Iran, tanggal 10 Jumadilawal 458 H (9 April 1066). Dia lantas dibawa ke tanah kelahirannya dan dimakamkan di sana. Penduduk kota Baihaq berpendapat, bahwa kota merekalah yang lebih patut sebagai tempat peristirahatan terakhir seorang pecinta hadits dan fikih, seperti Imam Baihaqi.
Sejumlah buku penting lain telah menjadi peninggalannya yang tidak ternilai. Antara lain buku "As-Sunnan Al Kubra", "Sheub Al Iman", "Tha La'il An Nabuwwa", "Al Asma wa As Sifat", dan "Ma'rifat As Sunnan cal Al Athaar".
Masa pendidikannya dijalani bersama sejumlah ulama terkenal dari berbagai negara, di antaranya Iman Abul Hassan Muhammed ibn Al-Hussein Al Alawi, Abu Tahir Al-Ziyadi, Abu Abdullah Al-Hakim, penulis kitab "Al Mustadrik of Sahih Muslim and Sahih Al-Bukhari", Abu Abdur-Rahman Al-Sulami, Abu Bakr ibn Furik, Abu Ali Al-Ruthabari of Khusran, Halal ibn Muhammed Al-Hafaar, dan Ibn Busran.
Para ulama itu tinggal di berbagai tempat terpencar. Oleh karenanya, Imam Baihaqi harus menempuh jarak cukup jauh dan menghabiskan banyak waktu untuk bisa bermajelis dengan mereka. Namun, semua itu dijalani dengan senang hati, demi memuaskan dahaga batinnya terhadap ilmu Islam.
As-Sabki menyatakan: "Imam Baihaqi merupakan satu di antara sekian banyak imam terkemuka dan memberi petunjuk bagi umat Muslim. Dialah pula yang sering kita sebut sebagai 'Tali Allah' dan memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, fikih serta penghapal hadits."
Abdul-Ghaffar Al-Farsi Al-Naisabouri dalam bukunya "Thail Tareekh Naisabouri": Abu Bakr Al-Baihaqi Al Hafith, Al Usuli Din, menghabiskan waktunya untuk mempelajari beragam ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya. Dia belajar ilmu aqidah dan bepergian ke Irak serta Hijaz (Arab Saudi) kemudian banyak menulis buku.
Imam Baihaqi juga mengumpulkan Hadits-hadits dari beragam sumber terpercaya. Pemimpin Islam memintanya pindah dari Nihiya ke Naisabor untuk tujuan mendengarkan penjelasannya langsung dan mengadakan bedah buku. Maka di tahun 441, para pemimpin Islam itu membentuk sebuah majelis guna mendengarkan penjelasan mengenai buku 'Al Ma'rifa'. Banyak imam terkemuka turut hadir.
Imam Baihaqi hidup ketika kekacauan sedang marak di berbagai negeri Islam. Saat itu kaum muslim terpecah-belah berdasarkan politik, fikih, dan pemikiran. Antara kelompok yang satu dengan yang lain berusaha saling menyalahkan dan menjatuhkan, sehingga mempermudah musuh dari luar, yakni bangsa Romawi, untuk menceraiberaikan mereka. Dalam masa krisis ini, Imam Baihaqi hadir sebagai pribadi yang berkomitmen terhadap ajaran agama. Dia memberikan teladan bagaimana seharusnya menerjemahkan ajaran Islam dalam perilaku keseharian.
Sementara itu, dalam Wafiyatul A'yam, Ibnu Khalkan menulis, "Dia hidup zuhud, banyak beribadah, wara', dan mencontoh para salafus shalih."
Beliau terkenal sebagai seorang yang memiliki kecintaan besar terhadap hadits dan fikih. Dari situlah kemudian Imam Baihaqi populer sebagai pakar ilmu hadits dan fikih.
Setelah sekian lama menuntut ilmu kepada para ulama senior di berbagai negeri Islam, Imam Baihaqi kembali lagi ke tempat asalnya, kota Baihaq. Di sana, dia mulai menyebarkan berbagai ilmu yang telah didapatnya selama mengembara ke berbagai negeri Islam. Ia mulai banyak mengajar.
Selain mengajar, dia juga aktif menulis buku. Dia termasuk dalam deretan para penulis buku yang produktif. Diperkirakan, buku-buku tulisannya mencapai seribu jilid. Tema yang dikajinya sangat beragam, mulai dari akidah, hadits, fikih, hingga tarikh. Banyak ulama yang hadir lebih kemudian, yang mengapresiasi karya-karyanya itu. Hal itu lantaran pembahasannya yang demikian luas dan mendalam.
Meski dipandang sebagai ahli hadits, namun banyak kalangan menilai Baihaqi tidak cukup mengenal karya-karya hadits dari Tirmizi, Nasa'i, dan Ibn Majah. Dia juga tidak pernah berjumpa dengan buku hadits atau Masnad Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali). Dia menggunakan Mustadrak al-Hakim karya Imam al-Hakim secara bebas.
Menurut ad-Dahabi, seorang ulama hadits, kajian Baihaqi dalam hadits tidak begitu besar, namun beliau mahir meriwayatkan hadits karena benar-benar mengetahui sub-sub bagian hadits dan para tokohnya yang telah muncul dalam isnad-isnad (sandaran atau rangkaian perawi hadits).
Di antara karya-karya Baihaqi, Kitab as-Sunnan al-Kubra yang terbit di Hyderabat, India, 10 jilid tahun 1344-1355, menjadi karya paling terkenal. Buku ini pernah mendapat penghargaan tertinggi.
Dari pernyataan as-Subki, ahli fikih, usul fikih serta hadits, tidak ada yang lebih baik dari kitab ini, baik dalam penyesuaian susunannya maupun mutunya.
Dalam karya tersebut ada catatan-catatan yang selalu ditambahkan mengenai nilai-nilai atau hal lainnya, seperti hadits-hadits dan para ahli hadits. Selain itu, setiap jilid cetakan Hyderabat itu memuat indeks yang berharga mengenai tokoh-tokoh dari tiga generasi pertama ahli-ahli hadits yang dijumpai dengan disertai petunjuk periwayatannya.
Itulah di antara sumbangsih dan peninggalan berharga dari Imam Baihaqi. Dia mewariskan ilmu-ilmunya untuk ditanamkan di dada para muridnya. Di samping telah pula mengabadikannya ke dalam berbagai bentuk karya tulis yang hingga sekarang pun tidak usai-usai juga dikaji orang.
Imam terkemuka ini meninggal dunia di Nisabur, Iran, tanggal 10 Jumadilawal 458 H (9 April 1066). Dia lantas dibawa ke tanah kelahirannya dan dimakamkan di sana. Penduduk kota Baihaq berpendapat, bahwa kota merekalah yang lebih patut sebagai tempat peristirahatan terakhir seorang pecinta hadits dan fikih, seperti Imam Baihaqi.
Sejumlah buku penting lain telah menjadi peninggalannya yang tidak ternilai. Antara lain buku "As-Sunnan Al Kubra", "Sheub Al Iman", "Tha La'il An Nabuwwa", "Al Asma wa As Sifat", dan "Ma'rifat As Sunnan cal Al Athaar".
Sejarah Singkat Imam An-Nawawi
Disusun Oleh: Ustadz Anas Burhanuddin, Lc.
Beliau adalah Yahya bin
Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau
dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah
Dimasyq (Damascus)
yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh ayah beliau yang
terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di katatib
(tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum
menginjak usia baligh.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar.
An-Nawawi tinggal di Nawa
hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul
ilminya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah–halaqah ilmiah yang diadakan oleh
para ulama kota
tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah didekat Al-Jami’ Al-Umawiy.
Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia
menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak
hal. Iapun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata : “Dan aku menulis
segala yang berhubungan dengannya,baik penjelasan kalimat yang sulit maupun
pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam
waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].
Diantara syaikh beliau:
Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-Muradiy,
Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul
Firkah. Dan diantara murid beliau: Ibnul ‘Aththar Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj
Al-Mizziy, Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy,Abul ‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil
Hadi.
Pada tahun 651 H ia menunaikan
ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah dan menetap disana
selama satu setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq. Pada tahun 665 H ia
mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan menolak untuk mengambil
gaji.
Beliau digelari Muhyiddin
( yang menghidupkan agama ) dan membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau.
Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan
orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang
meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau berkata :”Aku
tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin”.
Imam An-Nawawi adalah
seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan
berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak
tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam.
Beliau menulis surat
berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali. Suatu ketika
beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa.
Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana. Raja pun
meremehkannya dan berkata: ”Tandatanganilah fatwa ini!!” Beliau membacanya dan
menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Raja marah dan berkata: ”Kenapa !?”
Beliau menjawab: ”Karena berisi kedhaliman yang nyata”. Raja semakin marah dan
berkata: ”Pecat ia dari semua jabatannya”. Para
pembantu raja berkata: ”Ia tidak punya jabatan sama sekali. Raja ingin
membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya: ”Kenapa tidak engkau bunuh
dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Rajapun menjawab: ”Demi
Allah, aku sangat segan padanya”.
Imam Nawawi meninggalkan
banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab,
diantaranya:
1. Dalam bidang hadits :
Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al- Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib wat
Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
2. Dalam bidang fiqih:
Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.
3. Dalam bidang bahasa:
Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
4. Dalam bidang akhlak:
At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.
Kitab-kitab ini dikenal
secara luas termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang besar sekali
untuk umat. Ini semua tidak lain karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian
keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam berjuang.
Secara umum beliau termasuk
salafi dan berpegang teguh pada manhaj ahlul hadits, tidak terjerumus dalam
filsafat dan berusaha meneladani generasi awal umat dan menulis bantahan untuk
ahlul bid’ah yang menyelisihi mereka. Namun beliau tidak ma’shum (terlepas dari
kesalahan) dan jatuh dalam kesalahan yang banyak terjadi pada uluma-ulama di
zaman beliau yaitu kesalahan dalam masalah sifat-sifat Allah Subhanah. Beliau
kadang menta’wil dan kadang–kadang tafwidh. Orang yang memperhatikan
kitab-kitab beliau akan mendapatkan bahwa beliau bukanlah muhaqqiq dalam bab
ini, tidak seperti dalam cabang ilmu yang lain. Dalam bab ini beliau banyak
mendasarkan pendapat beliau pada nukilan–nukilan dari para ulama tanpa
mengomentarinya.
Adapun memvonis Imam Nawawi
sebagai Asy’ari, itu tidak benar karena beliau banyak menyelisihi mereka
(orang-orang Asy’ari) dalam masalah-masalah aqidah yang lain seperti ziyadatul
iman dan khalqu af’alil ‘ibad. Karya-karya beliau tetap dianjurkan untuk dibaca
dan dipelajari, dengan berhati-hati terhadap kesalahan-kesalahan yang ada.
Tidak boleh bersikap seperti kaum Haddadiyyun yang membakar kitab-kitab karya
beliau karena adanya beberapa kesalahan didalamnya.
Komite Tetap untuk Riset
Ilmiah dan Fatwa kerajaan Saudi ditanya tentang aqidah beliau dan menjawab: ”Lahu
aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab
sifat-sifat Allah).
Imam Nawawi meninggal pada
24 Rajab 676 H -rahimahullah wa ghafarahu-.
Catatan: Lihat biografi beliau di
Tadzkiratul Huffazh 147, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra, Syadzaratudz Dzahab
5/354
Tidak ada komentar:
Posting Komentar